HIDUPKATOLIK.COM-Pagabluk Covid-19 pada satu titik memunculkan teror dan ancaman. Namun pada titik lain menumbuhkan harapan dan peluang.
SYAHDAN revolusi industri 4.0 menjadikan disrupsi pada banyak sektor dalam bisnis. Inovasi tidak lagi sekadar mengubah fitur maupun desain sebuah produk (incremental innovation). Bukan pula inovasi mengubah fungsi dan kegunaan produk (radical innovation). Namun sudah berlari jauh, inovasi mengubah industri (disruptive innovation). Disrupsi menyebabkan produk (jasa) lama menjadi tidak relevan. Industri berubah, peta bisnis berganti. Pemain-pemain baru masuk ke gelanggang bisnis dan beberapa langsung menguasai pasar.
Ternyata disrupsi belum matang. Ketika mayoritas organisasi bisnis sedang mengubah model bisnis agar relevan dengan era 4.0, tiba-tiba muncul pandemi dengan aktor utamanya bernama pandemi (pagebluk) Covid-19. Tidak ada satupun otoritas yang meramalkan akan muncul pandemi dan menerjang semua negara di dunia. Tiba-tiba saja pada penghujung tahun 2019, Covid-19 muncul di Wuhan. Dengan isolasi total terhadap Kota Wuhan dan daerah sekitar, diramalkan Covid-19 akan takluk.
Sekali lagi, tiada satupun otoritas yang mampu menaklukkan Covid-19 dengan cepat. Justru terjadi kebalikan. Covid-19 menyebar super cepat dan menyebabkan dunia lumpuh. Sampai tulisan ini dibuat (minggu ketiga Juli 2020), belum muncul lampu hijau tentang takluknya Covid-19. Justru pada berbagai kota besar di dunia kembali melakukan isolasi diri (lockdown). Di Indonesia, kasus terkena Covid-19 juga ikut meningkat.
Pada tiga bulan pertama pandemi (sampai pertengahan Juni 2020), terjadi pembatasan gerak manusia. Bisnis mengalami pelambatan. Karena pergerakan manusia dibatasi dan perputaran uang tersumbat alhasil proses produksi dan konsumsi terjerembab. Bisnis secara keseluruhan melemah. Hanya beberapa sektor yang tetap bergerak. Ketika mulai di buka kembali berbagai lini kehidupan, bisnis sedikit banyak ikut menggeliat. Normal baru membuat proses produksi dan konsumsi bergulir, walaupun masih tertatih-tatih.
Pada linimasa media sosial dibanjiri tentang sektor bisnis yang terjun bebas maupun yang cemerlang selama wabah Covid-19. Disebutkan yang terjun bebas berturut-turut adalah bisnis pariwisata, penerbangan dan transportasi (kapal), otomotif, konstruksi dan perumahan, manufakturing, serta pendidikan. Sedangkan bisnis yang mengalami pertumbuhan adalah sektor alat kesehatan dan farmasi, pengolahan makanan dan ritel pangan, perawatan kesehatan pribadi, ICT (information and communications technology), perdagangan daring, serta pertanian. Sementara minyak dan gas berada ditengah-tengah.
Ramalan jangka pendek ini benar adanya. Memang selama serangan wabah Covid-19 sektor seperti disebut diatas ada yang berjaya ada pula yang terjerembab. Walaupun secara keseluruhan, bisnis mengalami kontraksi paling dalam melebihi era perang dunia kedua. Berbeda ketika terjadi krisis ekonomi 1998. Pada waktu itu yang mengalami krisis hanya sebagian negara (Asia Tenggara dan sebagian Asia lainnya). Negara lain – terutama negara makmur macam Amerika, Australia, dan Eropa Barat – tidak terkena krisis. Indonesia yang diterjang krisis 1998 mendapat “pertolongan” dari berbagai lembaga maupun negara.
Berbeda pula dengan krisis ekonomi 2008. Penyebabnya karena ada krisis keuangan di Amerika (kasus hipotek subprime) dan akhirnya menular ke beberapa negara di Eropa. Namun krisis 2008 tidak berdampak signifikan untuk Asia. Alhasil bisnis masih bisa bertumbuh dengan fokus pada pasar lokal dan regional (Asia dan Australia).
Belum ada kepastian kapan wabah Covid-19 berhenti. Mengikuti penganut aliran rasional diperkirakan akhir 2020 wabah baru bisa ditangani. Direktur Utama Bio Farma, Honesti Basyir menargetkan Indonesia dapat menemukan jenis vaksin virus corona akhir tahun 2020. Diharapkan pada 2021, Bio Farma dapat memproduksi massal vaksin anti Covid-19.
Mengikuti ramalan tersebut, bisnis dalam jangka pendek memang seperti digambarkan pada tulisan di atas. Sesudah wabah berakhir, pada jangka menengah, artinya mulai tahun 2021 bisnis baru akan normal kembali dan berlari kencang untuk menambal keterpurukan pada tahun 2020.
Ada banyak skenario bisnis sesudah wabah. Namun ada tiga yang paling dominan. Pertama, sektor-sektor yang terpuruk selama wabah akan mengganti model bisnisnya. Model bisnis ini akan fokus pada efisiensi, struktur organisasi yang tangkas (agile) dan penggunaan secara optimal teknologi 4.0. Alhasil karena ada model bisnis baru, maka perlu kompetensi baru yang selaras dengan model bisnis yang digunakan perusahaan. Pada satu sisi akan terjadi PHK. Pada sisi lain, perusahaan akan banyak merekrut tenaga baru dengan kompetensi baru. Dalam jangka menengah – panjang, tenaga kerja baru ini jumlahnya akan melebihi dari tenaga lama yang kena PHK.
Kedua, bisnis rintisan yang banyak mendisrupsi bisnis konvensional akan menjalankan prinsip-prinsip bisnis yang berlaku secara umum. Era membakar uang sudah selesai. Para investor selama wabah, uangnya tergerus sangat dalam. Bisnis rintisan tidak lagi dikucuri investor uang dalam jumlah tidak masuk akal untuk dibakar. Bisnis rintisan akan peduli dengan aliran uang (cash flow). Untung rugi menjadi rohnya.
Ketiga, muncul kolaborasi model baru antara bisnis konvensional dengan bisnis berbasis digital. Memang kolaborasi ini sudah terjadi seperti misal industri perbankan dengan fintek. Namun sesudah pandemi, kolaborasi akan semakin kuat dan menyebar luas. Selama pandemi ternyata bisnis konvensional tersumbat jalannya. Sementara bisnis berbasis digital terbatas pelayanannya. Akhirnya tercipta kolaborasi saling menguntungkan. Jenis dan cara kolaborasi ini akan semakin luas sesudah pandemi.
Pandemi pada satu titik memunculkan teror dan ancaman. Namun pada titik lain menumbuhkan harapan dan peluang. Mari bersama-sama kita raih harapan dan peluang itu untuk hidup yang lebih baik.
A.M. Lilik Agung, Kontributor/Trainer Bisnis