HIDUPKATOLIK.COM – Ketika korban terpapar Covid-19 terus bertambah, ketika masyarakat berharap segera ditemukan vaksin antivirus, hari-hari ini dampak virus menjalar ke segala arah. Dampak positifnya, mulai dari perlombaan menemukan virus berikut saling mengkleim sebagai penemu pertama, hingga kleim-kleim herbal yang menawarkan hasil temuan. Dampak negatifnya, dengan optimisme segera ditemukannya vaksin antivirurs, euforia membuncah dengan melalaikan protokol kesehatan dan aturan PSBB. Padahal uji coba sedang dilakukan yang hasilnya baru diketahui paling cepat awal tahun depan, belum proses administratifnya, belum urusan produksi massalnya.
Herd immunity (kelompok kebal penyakit) tidak diwacanakan lagi sebagai bukan solusi mengatasi pandemi, tetapi WFH, hidup sehat dan penjarangan sosia serta penemuan vaksin antivirus. Harapan-harapan optimistis terus dihembuskan, utamanya dari kalangan pemimpin agama dengan keyakinan masing-masing tentang munculnya peradaban baru pasca-pandemi. Globalisasi dalam arti dunia tanpa batas (borderless world) menurut Thomas L. Friedman (The World is Flat) berlaku untuk semua hal, termasuk soal persebaran massif, cepat dan mencemaskan virus Corona-19.
Penyakit yang terpapar pada semua (pan) orang (demos), terjadi sejak Desember 2019 baru diumumkan sebagai pandemi (wabah, pageblug) pada awal Maret 2020. Perang melawan Covid-19, ditulis besar-besar dan mencolok di atas spanduk-spanduk yang bergantungan di pinggir jalan. Negara-negara yang warganya terpapar, menggeliatkan perang melawan Covid-19. Covid-19 harus dibasmi secepat mungkin. Tidak mudah karena musuh yang dihadapi tidak kasat mata. Lantas diintrodusir jargon tandingan, damai dengan Covid-19. Maksudnya mengurangi rasa takut berlebihan atau sindrom Covid-19 dengan akibat orang menghentikan atau mengurangi kegiatan.
Solidaritas Tumbuh Subur
Menyusul terus menjalarnya virus, perhatian dan tindakan dengan kosa kata mentereng solidaritas hidup, seolah-olah bangkit dan berkembang subur. Berkat usaha bertahan dan terus menemukan jalan keluar, diperkuat oleh para pemimpin agama-agama yang menstimulasi harapan, apa yang kita saksikan adalah bangkit kembali dan berkembangnya semangat gotong royong.
Tidak ada sikap saling menyalahkan, taruhlah menyalahkan China sebagai negara asal persebaran virus itu. Kondisi ini sebagai kondisi bersama. Dengan borderless world, kondisi ini taken for granted. Seluruh dunia terkena dampak, langsung maupun tidak. Pandemi Covid-19 mengubah dunia secara serentak dan ujug–ujug (tiba-tiba), termasuk sulitnya mengajak berdamai dengan Covid-19, sekalipun sudah dilengkapi undang-undang agar efektif.
Sepanjang sejarah manusia, selain pandemi Covid-19, ada empat pandemi lain yang pernah terjadi di bumi ini berdasarkan kriteria gradasi keluasan dan akibatnya. Pertama, Wabah Antoninus tahun 165—180 M yang menewaskan kaisar Romawi Lucius Verus dan salah satu pemangku raja Marcus Aurelius Antoninus yang namanya kemudian ditabalkan sebagai nama penyakit ini. Jumlah korban tewas penyakit yang diduga cacar ini sekitar lima juta jiwa.
Kedua, pada tahun 1347—1351 M, Maut Hitam atau Wabah Hitam—pandemi yang pertama kali melanda Eropa—sekarang disebut pes, menewaskan sekitar 75 juta jiwa dan diperkirakan menyebabkan kematian dua pertiga penduduk Eropa pada waktu itu.
Ketiga, Wabah Flu Spanyol (1918—1920) menyebabkan kematian 17-50 juta jiwa, yang disebabkan virus influenza. Penyakit yang menginfeksi 500 juta orang — sepertiga populasi dunia saat itu– disebut-sebut sebagai penyakit paling mematikan dalam sejarah manusia. Spanyol, negara yang netral dengan Perang Dunia I, menjadi tempat laporan ekstensif terjadinya wabah. Muncullah nama Flu Spanyol atau Pandemi Flu 1918.
Keempat, Wabah Flu Hong Kong (1968—1969) atau wabah influenza yang menewaskan sekitar satu juta orang di seluruh dunia. Dengan tingkat kematian yang rendah (di bawah 0,5 persen), penyakit ini dikelompokkan sebagai kategori 2. Sekitar 500.000 (15 persen dari populasi) penduduk Hong Kong terinfeksi, sehingga wabah ini disebut Wabah Flu Hong Kong.
Menyongsong Peradaban Baru
Pandemi Covid-19 mengingatkan kita penyakit sampar dalam novel La Peste (Sampar) karya Albert Camus yang terbit tahun 1947. Ia menggambarkan perjuangan manusia menghadapi absurditas (kesia-siaan) hidupnya. Pesan simbolisnya, wabah harus dilawan bersama, jangan ditunggu hilang sendiri. Ajakan menyikapi secara positif terus disuarakan terutama oleh kalangan pemimpin agama-agama, menyusul ajakan solidaritas sebelumnya. Bahwa pandemi harus diatasi bersama, saling mendukung, yang dalam hal ini tampak menonjol peranan pemerintah.
Sikap positif itu tidak dengan ramalan-ramalan spekulatif yang menakutkan, taruhlah misalnya armagedon atau kiamat, pun seperti yang disampaikan sejarawan Yuval Noah Harari dalam salah satu bukunya, 21 Lessons for the 21st Century (New York, 2018). Sikap positif bisa kita tarik dari kesaksian kebersamaan kita sehari-hari saat ini. Di antaranya sikap solidaritas semakin dihidupi sebagai bagian dari “tidak boleh tidak harus”. Keniscayaan masa depan manusia dan kemanusiaan, tidak hanya dengan sesama manusia tetapi juga dengan lingkungan hidup. Ensiklik Paus Fransiskus, Laudato Si yang futuristik itu memperoleh momentum. Untuk kelangsungan hidup alam ciptaan, manusia tidak bisa lagi berperi laku bak penguasa yang ganas memperlakukan alam lingkungan dengan pongah, tetapi hendaknya dengan lebih hormat dan santun.
Belajar dari kejadian setelah pandemi yang satu ke pandemi lainnya, kita catat selalu munculnya peradaban baru. Dalam segala bidang kehidupan, dan selalu dari yang kurang baik menjadi lebih baik, dalam konteks ini manusia saling memperlakukan sesama sebagai berada bersaudara, bukannya saling mengerkah.
Pandemi Covid-9 menjadi pelatuk menggetarkan dawai-dawai kebersamaan, seperti dengan semakin munculnya banyak filantrop. Keberagamaan tidak selesai dengan asyik-masyuk dalam peribadatan tetapi dalam perilaku tindakan bagi sesama utamanya yang kecil, miskin, menderita, terlalaikan (beriman tanpa perbuatan itu kosong). Kebijakan, sistem dan kehidupan perekonomian menjadi lebih berkeadilan, berebut kursi kekuasaan tidak lagi dengan adu kekuatan uang, kekerasan dan pemaksaan, sekadar contoh perikehidupan masyarakat manusia yang manusiawi. Yang disasar adalah kedamaian hidup bersama, atau “terpenuhinya Sejarah Keselamatan” dalam konteks kristiani.
Tidak kalah penting, peradaban baru adalah peralihan evolusioner dari homo sapiens – manusia berpikir (masa lalu perkembangan manusia) ke homo deus – manusia tuhan (masa depan manusia) menurut kategorisasi Yuval Harari, atau langsung sebagai homo digitalis – manusia digital menurut istilah Rafael Capurro (2017). Dengan pemerian tentang homo digitalis, filsuf teknologi dari Jerman itu, dimaksudkan satu pertanyaan mendasar: terjadinya perubahan pemahaman manusia tentang realitas, tentang dirinya dan tentang baik dan buruk (F. Budi Hardiman: 2017). HP smart telah menjadi ekstensi kapasitas pikiran kita. I think yang dirintis Decartes berubah menjadi I brouse (F. Budi Hardiman: 2018). Orang berpikir lewat internet.
Perubahan mendasar akan mengharuskan perubahan secara mendasar perilaku kehidupan manusia, dalam segala bidang kehidupan termasuk bidang keuangan. Diawali dengan e–commerce, digital menjadi masa depan teknologi finansial (Jakarta Post, 22 Agustus 2020) yang menggerakkan roda perekonomian, mulai dari warung kaki lima sampai industri besar. Persoalannya, mengapa manusia harus digertak dulu dengan kehancuran total baru muncul peradaban baru yang harapannya lebih manusiawi?
St. Sularto
Wartawan Senior