HIDUPKATOLIK.COM — Namanya Charmaine Margaret Dragun. Ia adalah presenter televisi berita berparas cantik di Network Ten, Sydney. Ia lulusan dari Australia’s Academy of Performing Arts. Menjadi Australia’s rising media Stars dan memenangkan berbagai penghargaan (lokal dan nasional) serta menjadi nominasi “Young Journalist of the Year” oleh National Youth Media Association. Aktif dalam kegiatan sosial. Namun siapa sangka, gadis cerdas dan cantik yang sedang mempersiapkan pernikahannya seiring usianya menjelang 30 tahun ini, mengakhiri hidupnya dengan melompat dari pinggir jurang di daerah GAP, di East Sydney’s Watson Bay District. Peristiwa itu terjadi 2 November 2007. Sontak semua orang terhenyak. Salah satu media nasional di Australia menulis, “She has everything to live for, but why she’s coming to suicide?”
Manusia dipenjara oleh apa yang dimilikinya! Semakin banyak yang melekat pada identitas seseorang, semakin banyak penjara yang dibawanya setiap saat. Jay Z menulis, “Identity is a prison. You can never escape!” Charmainer Margaret Dragun mungkin tidak menyadari hal ini. Popularitas, kekayaan, nama baik, kecerdasan, kecantikan, berubah menjadi penjajah baru yang menindas jiwa kita. Seperti penjajah, mereka merampas kemerdekaan sejati dan mengendalikan seluruh pikiran, perasaan, dan kesadaran kita.
Apa yang menempel di luar, itulah yang mendominasi di dalam. Rumah yang kita tempati, mobil yang kita kendarai, merek gadget yang kita genggam, merek baju yang kita pakai, level sosialita, jumlah follower dan like di media sosial, itu semua yang merekonstruksi tentang identitas kita, tentang “siapa aku.” Seorang filsuf mengajukan credo-nya: “Aku adalah milikku dan milikku adalah aku!” Sehingga saat seseorang menggores mobilku, ia melukai aku. Saat seseorang mengambil gadgetku, ia mengambil jiwaku. Saat seseorang menginjak tanahku tanpa permisi, ia menginjak harga diriku. Apapun yang menempel dalam identitas kita, akan menjadi penjara-penjara baru, dimana kita dengan ikhlas merelakan diri dipenjara olehnya, bukan untuk hitungan bulan atau tahun tetapi untuk sepanjang kehidupan kita di dunia ini. Orang akhirnya depresi, seperti Charmaine Margaret Dragun, karena keletihan yang teramat sangat menjaga si “aku palsu” yang bertebaran dimana-mana ini. Masalah demi masalah muncul karena si “aku palsu” ini dan ironisnya saat seseorang ingin menyelesaikan masalah-masalah itu, mereka tidak lagi bisa membedakan mana dirinya dan mana masalahnya. Antara dirinya dan masalahnya sudah saling mengikat dalam jeratan yang rumit, sehingga mereka pikir dengan membunuh dirinya dia membunuh masalahnya.
Kemerdekaan sejati memancar dari hati, dan itu bersumber dari dalam. Mereka yang mengikatkan dirinya dengan yang di luar, tertawan; Mereka yang mengikatkan dirinya dengan sesuatu di dalam, terbebaskan. Yang di luar adalah kefanaan dan kesementaraan; yang di dalam adalah keabadian dan kekekalan. Seorang peziarah rohani menuturkan, “Aku menemukan kemerdekaan sejati, saat aku mengikatkan diri dengan Sang Illahi.” Allah adalah Allah yang memerdekakan. Sementara Iblis adalah entitas yang memenjarakan. Yohanes 8:32 menuturkan, “dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” Kemerdekaan sejati mengalir dari hadirat Allah yang kita sentuh. Semakin dalam Anda bergaul dengan Allah, semakin merdeka jiwa Anda. Saat Anda berani mengikatkan diri dengan Allah, saat itu juga utas tali dorongan duniawi yang selama ini menjerat Anda, akan melonggar dengan sendirinya.
Seorang Guru menuturkan, “Yang menghalangi orang baik berjumpa dengan Tuhan adalah kebaikannya; orang benar adalah kebenarannya; orang suci, kesuciannya; orang populer, kepopulerannya; orang kaya, kekayaannya.” Di hadapan Sang Kebenaran Agung yang Maha Absolut, semua yang ada di dunia ini, termasuk identitas kita, adalah relatif. Maka kekayaan, nama baik, kebaikan, kesucian, ketenaran, adalah perahu-perahu yang kita gunakan untuk menyeberangi sungai-sungai menuju sebuah pulau tempat dimana kemerdekaan sejati berada. Perahu-perahu ini adalah sarana, bukan tujuan. Namun sebagian besar orang mengikat perahu-perahu ini dengan rantai baja yang kokoh ke tubuhnya, sehingga meskipun sudah sampai ke daratan, ke pulau-pulau yang memerdekakan itu, mereka tetap memikul perahu-perahunya dan bukannya menyandarkan serta meninggalkan perahu-perahu tersebut di dermaga.
Pater Anthony de Mello SJ menggambarkan kehidupan manusia seperti seekor topeng monyet. Topeng monyet melakukan berbagai atraksi lucu, seperti naik sepeda, membawa payung, naik tongkat dan lain sebagainya. Namun di leher monyet ini ada seutas tali yang diikatkan oleh seseorang. Saat orang itu menarik tali ke kiri maka monyet akan bergerak ke kiri, ke kanan maka monyet akan ke kanan. Demikianlah setiap gerakan monyet itu dikendalikan oleh sesuatu di luar dirinya. Monyet itu tak punya kemerdekaan. Seseorang di luar dirinya telah mengendalikannya. Dan monyet itu adalah gambaran tentang diri kita yang senantiasa dikendalikan oleh sesuatu, seseorang atau keadaan di luar diri kita dalam membuat setiap keputusan. Perilaku pasangan kitalah yang memutuskan apakah kita akan mencintainya atau tidak, bukan keputusan merdeka kita. Sikap seseorang kepada kitalah yang akan memutuskan apakah kita akan menolong mereka atau tidak, bukan keputusan kita. Pelayanan karyawan di sebuah restoranlah yang akan memutuskan apakah kita akan makan di tempat itu dengan gembira atau bersungut-sungut. Ya, bahkan untuk makan dengan gembirapun keputusan itu kita berikan kepada seorang pelayan restoran.
Tanpa kita sadari, setiap keputusan kita, yang besar dan kecil, dilakukan oleh orang lain, bukan oleh kita. Dan mari kita bertanya kepada diri sendiri; apakah aku sungguh-sungguh merdeka?
Yusuf Marwoto
Kontributor Tangerang, Broadcaster