HIDUPKATOLIK.COM-TEPAT tanggal 12 Januari 1912 Gubernur Jendral Belanda Idenburg memisahkan area misi Katolik dan Zending Protestan. Artinya, setiap kelompok hanya boleh menjalankan misinya di wilayah yang telah ditentukan. Itulah alasan saat pecah Perang Dunia I ada sekitar 90 orang Suku Marind menyatakan diri sebagai orang misi. Delapan wanita dan tiga anak perempuan ikut dibaptis untuk pertama kalinya dalam sejarah Gereja Irian Barat pada tanggal 7 Juni 1924.
Lima tahun berselang, Pastor Hermanus Tillemans, MSC membuka misi di Kokonao, Irian Barat bagian tengah. Ia adalah tokoh sentral dalam pembangunan sejarah Gereja di Irian Barat. Lewat tangannya, ekspedisi dan eksplorasi ke pedalaman untuk menanamkan iman Katolik dilakukan dengan merintis sekolah-sekolah di daerah Paniai terjadi.
Jejak Misi OFM
Namun cerita misi ini tak bisa lepas dari sepak terjang Ordo Fratrum Minorum (OFM). Kongregasi Propaganda Fide tahun 1936 yang mengutus Pater Nerius Louter, OFM dan Pater Ph.Tetteroo, OFM menjadi Fransiskan pertama yang menginjak Kaimana, Irian Barat.
Satu sumbangan mutiara imam-imam Saudara Dina di Irian Barat adalah ide untuk membuka isolasi orang-orang pedalaman dengan melakukan penerbangan dengan pesawat ke sana. Ide ini lahir berkat pengalaman Pastor Misael Kammerer, OFM. Ia melihat pentingnya sarana transportasi yang memadai guna melayani umat di pedalaman Irian Barat. Usaha ini akhirnya menghasilkan maskapai penerbangan pertama di Irian yang dimiliki oleh empat keuskupan, yakni Association Mission Aviation (AMA). Maskapai ini dimulai dengan sebuah pesawat hibah pada tahun 1956.
Peninggalan Karya MSC
Kehadiran MSC sangat peduli terhadap budaya masyarakat asli Papua. Tahun 1938, Pastor Drabbe MSC dari Uta dipindahkan ke Kokonao. Setahun setelah itu, ia mempelajarai bahasa Mimika. Tak lama, ia dipindahkan lagi ke daerah Mappi dan dalam beberapa bulan saja menyusun kamus kecil Bahasa Yakai. Berbekal kefasihan berbahasanya, ia menerjemahkan buku Katekismus, buku doa, sejumlah cerita dari Kitab Suci ke Bahasa Yakai.
Pastor MSC ini ikut mendorong tradisi mengukir hingga kita kenal karya asli Suku Asmat hingga kini. Gereja terus berkembang dengan membantu Program Seni Suku Asmat yang bahkan telah terkenal sampai ke Pesatuan Bangsa-Bangsa sejak tahun 1968. Tradisi ini terus berlanjut dengan perjuangan Uskup Agats-Asmat Mgr. Alphonsus Augustus Sowada OSC memulai pembangunan museum seni, budaya, dan perkembangan suku Asmat di Agats.
Ada refleksi terdalam terkait inkulturasi kebudayaan ini. Ada keyakinan bahwa Tuhan datang untuk semua orang dan orang-orang bukan Katolik pun berhak memperoleh keselamatan. Oleh karena itu, terdapat ruang rasa penghargaan yang lebih besar terhadap kebudayaan tradisional Papua dan kepercayaan tradisional mereka. Pola berpikir ini pula yang mengantarkan Gereja Katolik untuk selalu kembali kepada kecenderungan membantu orang-orang Papua.
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Papua, pihak MSC, OFM bahkan Ordo Salib Suci (OSC) dan Ordo Santo Agustinus (OSA) terus berbenah di dunia pendidikan. Mereka membangun sekolah-sekolah di lokasi-lokasi pusat dan secara bertahap mengenalkan pendidikan. Kesehatan juga menjadi perhatian utama dengan awal pemberantasan penyakit kelamin dan penyakit kulit (framboesia), bersama dengan gerakan untuk menggalakan kebersihan khususnya air minum.
Kini, umat Katolik boleh berbangga tetapi perjuangan Gereja lewat para misionaris harus dipertahankan. Dalam Buku, “Menjadi Gereja yang Terus Berjalan Bersama Papua,” Pastor A. Eddy Krisyanto OFM menulis bahwa karya pelayanan ini hendaknya dilihat dalam kacamata kasih. Semangat para misionaris hendaknya menjadi semangat umat Katolik hingga kini.
Yusti H. Wuarmanuk (Dari berbagai sumber)