Minggu,14 Juni 2020, Hari Raya Tritunggal Mahakudus Kel 34:4b-6, 8-9; MT Dan 3:52, 53, 54, 55, 56; 2Kor 13:11-13; Yoh 3: 16-18
IMAN akan Tritunggal Mahakudus sering membuat kita merasa kurang siap jika ditanya, entah oleh teman-teman seiman, entah oleh pihak lain. Kepercayaan ini sulit dipahami, bahkan bisa menjadi batu sandungan bagi banyak orang.
Santo Agustinus yang berusaha memahami dengan akal budinya mengenai misteri Tritunggal sering digunakan sebagai acuan. Akal manusia yang terbatas, tidak mungkin menangkap secara jelas dan utuh, tentang Tritunggal yang tidak terbatas. Kenyataan menunjukkan, banyak realitas yang tidak bisa kita tangkap dan kenali secara penuh, misal sesama manusia yang paling dekat pun, seperti pasangan hidup atau anak-anak. Meski kita berusaha mengenal mereka, sampai akhir hayat tetap ada misteri yang tidak mampu kita kenali.
Dengan akal budi, manusia berusaha mengenal sebagian misteri Allah, seperti ditulis dalam Kitab Suci, melalui pewartaan para nabi, dan memuncak pada pribadi Kristus. Mengenai pemahaman akan Tritunggal, saya terkesan dengan ungkapan seorang umat. “Syukurlah, bahwa Allah yang kita percaya itu adalah Tritunggal Mahakudus, karena jika tidak demikian, kita akan mengenal Allah hanya sebatas keber-‘ada’-an-Nya, dan paling-paling karya penciptaan-Nya pada awal mula. Sedangkan kita mengenal dan mengalami Dia, sebagai Allah yang berkarya dari awal mula sampai pada akhir zaman.”
Allah itu, selain dipercaya keber-“ada”-an-Nya, juga karya-Nya, yaitu mencipta dan menata, bertindak menyelamatkan manusia dan menyertainya sampai akhir zaman. Allah yang bertindak dan menyelamatkan, digambarkan dalam bacaan pertama. Allah turun dalam awan, lalu berdiri di dekat Musa. Pada ayat selanjutnya, kita menemukan Allah yang berjanji melakukan perbuatan ajaib (Kel. 34:10). Allah memenuhi janji-Nya dengan berperang melawan bangsa-bangsa yang diam disekitar bangsa Israel demi mereka (Ul. 7:1). Sabda Tuhan melalui Injil Yohanes mengenai tindakan Allah menyelamatkan manusia juga sangat jelas. “Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal” (Yoh. 3:16a).
Pentakosta menegaskan, Roh Kudus meng-anugerahi para murid dan mengubah mereka secara radikal, sehingga mereka berani dan mampu memberi kesaksian tentang keselamatan dalam Kristus. Kita bersyukur atas pewahyuan diri Allah, yang kita terima dalam iman, sehingga kita sungguh percaya akan Tritunggal. Dalam Syahadat Para Rasul, kita percaya akan Allah, Bapa Mahakuasa pencipta langit dan bumi, akan Yesus Kritus, Allah Putra, yang datang ke dunia dan menjadi manusia, serta menebus dosa dunia. Sehingga manusia diselamatkan oleh-Nya, akan Roh Kudus, Tuhan yang menghidupkan yang bersama dengan Bapa dan Putra disembah dan dimuliakan.
Atas iman akan Tritunggal itu, kita percaya juga akan karya-Nya. Karena diciptakan sebagai gambar dan rupa Allah, kita mesti bertindak, mengambil bagian mewujudkan keselamatan dalam aneka bentuk dan wujud. Di mana pun, serta dalam situasi apapun, manusia mesti berkarya demi terwujudnya keselamatan itu. Pada masa pandemi Covid-19, dengan cara dan bentuk yang memungkinkan, kita mesti meningkatkan doa, bekerja lebih keras, dan solider kepada sesama.
Salah satu misteri yang paling sulit dipahami adalah ke-“esa”-an Allah dalam tiga pribadi. Karena kita percaya akan kesempurnaan Allah, tiga pribadi itu pun sempurna dalam kesatuan, sehingga disebut Tritunggal. Tiga pribadi namun tetap satu Allah. Kita mesti mengakui keterbatasan kita, karena hanya mampu menggunakan logika dan matematika, yang tidak mungkin menerangkan segala kebenaran. Andaikan kita mampu memahami Allah secara gamblang dan penuh, tentu kita bukan lagi manusia ciptaan-Nya, melainkan menyamakan diri kita dengan Allah. Jangankan memahami misteri Allah secara gamblang, memahami segala ciptaan-Nya pun, kita tidak mampu.
Allah telah mewahyukan Diri, dan dengan iman, kita tangkap pewahyuan diri-Nya, sehingga kita bisa lebih mengenal Dia, daripada seandainya Dia tidak memperkenalkan diri. Gambaran tentang tiga pribadi dalam kesatuan sempurna itu biasanya menjadi idaman hidup komunitas. Salah satunya terlihat dalam cara hidup Gereja Perdana, yang warganya hidup sehati sejiwa. Seperti harapan Paulus, untuk sehati sepikir dan hidup dalam damai sejahtera (bdk. 2 Kor 13:11b).
“Kita mesti mengakui keterbatasan kita, karena hanya mampu menggunakan logika dan matematika, ….”
HIDUP NO.23, 7 Juni 2020