HIDUPKATOLIK.COM Pada Perayaan Hari Komunikasi Sedunia tahun ini, Paus Fransiskus mengangkat tema “Hidup Menjadi Cerita”. Bagaimana membumikan pesan Paus untuk kalangan muda dan keluarga?
SETIAP bulan, media sosial selalu menciptakan tren (challenge). Di ma-sa karantina selama pandemi virus korona, salah satu yang muncul ada-lah #passthebrushchallenge. Tantangan ini se—derhana, setiap pengguna media -so-sial yang ikut, diminta melemparkan kuas make up secara bergilir. Tiap dari mereka yang memegang kuas akan mengalami pe-rubahan penampilan menjadi lebih menawan dari sebelumnya.
Begitu banyaknya challenge semacam ini, menginspirasi Komisi Komunikasi So-sial Konferensi Waligereja Indonesia (Komsos KWI) untuk “menyontek” gaya ini. Komsos KWI pun membuat “challenge” untuk membumikan pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-54, khususnya di kalangan orang muda Ka-tolik (OMK). Komsos KWI memilih menggunakan “Rosario” untuk menjadi alat perubahan itu. Bahkan, tantangan ini pun kemudian menjadi lomba yang di-a-dakan Komsos KWI, menyambut Hari Kemunikasi Sedunia tahun ini.
Menyentuh Generasi Muda
Ada 24 karya yang masuk untuk kategori lomba #RosaryChallenge dari seluruh In-donesia. Lomba ini menggunakan media sosial Instagram sebagai “locus” lomba. Da-ri karya itu terpilihlah tiga pemenang. Komsos Katedral Bogor, dengan akun Instagram @beritaumat meraih predikat juara favorit.
Bagian Divisi Digital Komsos Katedral Bogor yang seluruhnya terdiri dari orang muda ini, merasa tergerak untuk me-me-riahkan Pekan Komunikasi Sosial Nasional (PKSN) KWI. Salah satu ang-gota Komsos Katedral Bogor, Aloisius Johnsis membeberkan, PKSN KWI kali ini diakuinya mau menyentuh lebih banyak generasi muda, khususnya generasi Tik Tok yang memang sedang booming.
Konsep #Rosary Challenge yang dibuat Komsos Katedral Bogor mengusung pengoperan lilin bukan Rosario. Mereka memilih itu dengan filosofi lilin menyala sebagai pralambang cahaya Kristus yang harus dibagikan kepada banyak orang. Johnsis menjelaskan, setiap orang memiliki rosarionya sendiri dengan ciri khas masing-masing. Ciri rosario itu bisa menunjukkan kekhasan negara tertentu, se-perti Indonesia memiliki Rosario Me-rah Putih, atau Rosario Misioner yang juga menjadi ciri gerakan rohani ko-munitas tertentu. “Rosario boleh berbeda ciri, tetapi cahaya Kristus akan selalu sa-ma,” tuturnya.
Dalam video berdurasi 2:34 menit itu, terlihat ada 14 orang pegiat komsos yang terlibat. Uniknya, mereka juga melibatkan anggota keluarganya. Johnsis memandang, apa yang sudah dilakukan Komsos KWI dengan #Rosary Challenge ini setidaknya bisa memperkenalkan rosario secara lebih asyik kepada generasi muda. Harapannya, OMK mau lebih banyak menggali tentang kekayaan iman Gereja ini.
“Pandemi memang menjauhkan kita se-cara fisik, tetapi kami dan banyak pegiat kom-sos lainnya bisa sedikit berbangga dan bersyukur, karena bisa tetap menjahit cerita bagi umat yang sedang di rumah aja, agar senantiasa ber-satu dalam Misa, dan kegiatan keimanan lainnya,” ujarnya.
Cerita Kehidupan
Selain menjajaki dunia digital yang ken-tal dengan selera masa kini, PKSN KWI juga menyelenggarakan lomba di bidang jurnalistik. Salah satu lomba itu adalah menulis opini terkait pesan Paus dalam Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-54 dengan tema “Hidup menjadi cerita”. Tema ini mengambil inspirasi dari Kel 10:2, “Supaya engkau dapat menceritakan ke-pada anak cucumu”.
Salah satu pemenang lomba, Ro-ber–tus Sutriyono asal Keuskupan Pur-wokerto menuturkan, alasan di balik ke-ikutsertaannya adalah ingin belajar menulis opini. “Selama ini saya lebih ba-nyak menulis berita atau feature. Opini masih jarang. Maka, saya menantang diri sendiri untuk belajar menulis opini.”
Sutriyono menyisihkan 87 peserta lom-ba lain. Dalam tulisannya, ia mengambil inspirasi dari cerita-cerita inspiratif karya An-thony de Mello. Selain itu, ia juga me-nyukai cerita-cerita jenaka Abu Nawas. Ke-tika melihat tema PKSN KWI mengenai “cerita”, ia pun tertarik. “Bagaimana hidup menjadi cerita yang perlu diceritakan pa-da anak cucu…berasa pas saja dengan pengalaman dan pergumulan saya,” se-but-nya.
Sutriyono lantas mengangkat dan men-ceritakan ulang kisah hidup Suku Tengger di Malang. Ia begitu terpikat dengan tradisi bercerita Suku Tengger, agar nilai dan ajaran suku mereka yang ada di Pawon tetap terjaga dan terus me-nerus diturunkan hingga ke anak cu-cu. Ia mengaku, penentuan ide itu diper-gumulkannya selama kurang lebih dua hingga tiga hari. “Saya hanya menempatkan diri mencoba mencari analogi dalam kon-teks budaya lokal terkait pesan Bapa Suci. Tu-juannya agar lebih dapat dipahami da-lam konteks Indonesia,” akunya pada hari Jumat, 29/5/2020.
Felicia Permata Hanggu
Merajut yang Terputus
SELAMA masa pandemi Covid-19, kehidupan keluarga bak hidup seorang seminaris. Ada waktu untuk doa, masak, makan, bahkan berkebun bersama. Pernyataan ini disampaikan oleh Ketua Vox Point Manado, Charles Ngangi dalam gelar wicara bertajuk “Pesan Paus Pada Hari Komunikasi ke-54 Bagi Karya Kerasulan Awam”. Diskusi ini dilaksanakan oleh Komsos KWI berkerja sama dengan Komsos Keuskupan Manado dan Radio Montini 106 FM Manado secara daring pada Jumat, 29/5/2020.
Dalam acara ini hadir Ketua Komisi Kerasulan Awam Keuskupan Manado, Pastor Kristianus Ludong, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Flora Kalalo, dan Ketua Komisi Keluarga Keuskupan Manado, Selvie Rumampuk. Para pembicara sepakat, pandemi Covid-19 telah membawa aspek kebaikan di dalam hidup, terutama merajut kembali hubungan yang sempat terputus, akibat kesibukan di dalam keluarga.
Selvie bersaksi, bahwa hidup doa keluarganya menjadi lebih baik. Ia bahagia, menyaksikan cucu-cucunya berlomba ingin memimpin doa Rosario. Cucunya yang baru berusia enam tahun, bahkan sering mengingatkan keluarga untuk berdoa Ratu Surga, sambil mendaraskannya tanpa membaca teks.
Flora punya cerita lain. Ia memiliki kesempatan pribadi untuk membenahi hidup doa, yang dulu kerap diabaikan akibat kesibukan bekerja. Sekarang dalam sehari, ia bisa mengikuti Misa atau novena daring sebanyak lima kali dari jaringan yang berbeda. “Ya selama pandemi ini, kita tidak hanya merajut cerita bersama keluarga tetapi juga bersama Tuhan,” ungkapnya.
Perombakan kebiasaan lama hingga memiliki kebiasaan baru di dalam keluarga juga diamati oleh Pastor Kristianus. Ia menekankan pesan Paus Fransiskus begitu penting bagi karya kerasulan awam, sebab kaum awam dengan caranya berperan untuk turut serta terlibat menata, merajut, atau menjahit apa saja yang terputus atau masih terbuang untuk disatukan.
Selain menenun cerita, Pastor Kris juga menilik cerita mampu berperan sebagai saringan untuk meniadakan cerita buruk tanpa arti dengan memberinya pembaharuan makna baik bagi kepentingan manusia. Cerita juga bisa membawa wajah “sakramen” tentang bagaimana manusia bisa merayakan keseluruhan kisahnya menjadi rangkaian cerita keselamatan. “Ini menjadi tugas kita yang indah dan mulia dari kaum awam untuk mengolah pengalaman hidup menjadi cerita sehingga anak cucu kita bisa menikmatinya dengan membawa perspektif Ilahi, di mana Allah selalu berkarya di tiap zaman,” pungkasnya.
Felicia Permata Hanggu
HIDUP NO.23, 7 Juni 2020