HIDUPKATOLIK.com – Seorang bocah bermandikan air kelapa tersungkur raga dengan mata mengais pilu. Begitu disaksikannya ikan-ikan sekarat tenang di ambang lautan, matanya bias, kakinya membatu. Dipeluknya debur sebening
permata.
/1/
Bangau terbang rendah menyambut subuh yang pasti asin. Padahal, cahaya masih buta, ketika Karina biasa merapal ayat sucinya, tiap hari, untuk memberi restu bagi Anoma, kekasihnya yang hendak melaut. Pun tidak lupa Karina membekali suaminya itu dengan sebotol tanggung berisikan air kelapa muda. “Supaya tangkapanmu hari ini buaanyak,” lalu kemudian mencium pipi Anoma
yang sulit merona. Lagi pula, Baruna tentu masih larut bersama mimpi kanak-kanaknya.
Tiba ketika mulai melangkahkan kakinya ke luar rumah, Anoma tersentak, menyadari Baruna memeluknya amat rekat. Di mata Baruna masih
tersimpan sisa mimpinya. Sayup bibirnya menyungging angin pagi, malu ia ingin berkata. “Sudah aku katakan, berkali-kali, kamu tidak usah melaut lagi,” sahut Karina dari bangku pojok meja makan dengan dagu bertakhta di tangannya.
Baruna belakangan ini memang terbiasa bangun subuh semenjak angin malam tiada lagi selembut kapas. Sering ketika bulan urung pamit, dentum mesin di sebrang rumahnya sudah mengoar ganas mengeruhkan segarnya embun pesisir. Tapi Baruna tidak tahu apa soalnya itu.
“Bapak cari udang dulu, tapi semoga dapet kerapu, baru nanti kita main layang-layang. Baruna bisa mengerti, kan.” Anoma terpaksa menundukkan
kepalanya yang teramat tegak seperti pinus, menjewer pelan pusar Baruna yang anom dan merah. Sedang di sudut sana, Karina masih membatu, hanya menautkan alisnya menatap keanehan anak dan bapak. Anoma jadi tak sabar
untuk berkata; “jemputlah ibumu di sudut sana, maka kamu akan tenang mendekap kalbu, Nak.” Giliran Baruna yang kemudian lebur dalam keengganannya menatap Karina, dan hanya mampu menatap kaku jemari kaki ayahnya.
“Rin, aku hendak melaut, kau tahu itu kan. Ayolah! Lekas Karina seolah sedang melamun, tapi malah menyulut sebatang kretek cap Tiga Dara. Asapnya
berjelaga di kawah mulutnya. Pantaslah Anoma langsung keras menghardik Karina, Begitupun Baruna menyambut kemeriahan kala itu dengan isak tangis.
/2/
Aku selalu membatin. “Apa yang paling menyakitkan. Kekalahan. Ataukah kebencian. Bagiku, Anomalah kemenangan itu. Ia teguh menjaga harkat keluarga ini, meski semua berawal dari rahasia cinta, yang tak luput dari goda sensualku. Penghakimannya menuntut
kesiapsedianku.”
Menatap Baruna sama saja mengigat kebatilanku dulu bersama Anoma, seorang taruna laut, alias nelayan tangguh yang kekar punggungnya. “Oh,
aku mendambamu Anoma, seperti tidak percaya ada sebulir embun di gurun panas,” begitu biasanya para belia seumuranku di seantero pesisir Kampung Lanula dulu menggodanya.
Mereka suka menggodanya waktu senja membiaskan jelaga daratan dan buih pantai mulai berkarat keemasan. Bahkan ketika aku sudah benar-benar jadi istrinya, mereka tidak abis kapok
menanti keberuntungan mendapatkan Anoma. Aku suka kretek, dan ini caraku merapatkan diri dengannya.
Semua jelas sudah. Anoma justru menyukai peringaiku. “Kamu manis sekaligus nakal, itu sempurna.” Bisiknya ketika waktu itu kami sedang berduet raga. Di kejauhan aku melihat banyak sampan terbalik dan luasnya lautan seperti cemburu padaku yang berhasil menaklukkan Anoma. “Tapi aku jauh lebih nakal dari yang kau kira. Mungkin aku tak mau kau menyesal.” Kata bernasku itu bersambut kilatan berkelip-kelip di mega, bersiap menumpahkan limpahan kesedihannya atas pengkhianatan dua raga terhadap keresaman luhur Lanula. Yang kuingat, aku lekas pingsan di pangkuan Anoma.
/3/
“Aku bisa mengerti ibu. Semoga saja bukan kebencian yang melompat girang di kepala kita. Toh, aku bisa melaut seperti bapak.”
Tiga bulan bapak tidak kembali ke rumah sudah bisa menanak hati jadi tak karuan. Aku dan ibu khawatir kalau bapak ditelan samudera. Tapi mungkihkan seorang yang jago melaut itu tumbang raga di lautan. Tapi semesta jangan diremehkan bisa meneror ketidakmungkinan pikiran manusia.
Ibu melarangku melaut. Katanya tubuhku terlampau kecil. “Apa standar untuk menguasai laut berkelindan dengan tampilan raga. Bukankah alam mengenali jiwa, bukan memaksa raga,” batinku dalam-dalam.
“Ibu melarang Baruna, karena terpikirkan terus soal bapak, toh?” Baru ketika ibu tidak jadi menyulut kretek, “Jangan kau nasehati ibumu ini. Sudah sepantasnya aku memikirkan bapamu.”
Dua kawanku sudah diboyong oleh masing-masing keluarganya, keluar dari kampung pesisir Lanula. Aku tidak tahu di mana Canaru yang periang dan Bubis yang jarang pakai celana berada. Mereka pasti ke daratan dalam. Toh, mereka memang bukan keturunan keluarga nelayan.
Dulu kami suka bermain sampan, mencari udang dan menjual babi laut. Maka ketika bapak ada di rumah atau tidak, itu sama saja. Sedang ibu, teramat cinta dengan koleksi kreteknya. Pada teman dan pantailah aku bernaung, meski itu sudah tidak utuh lagi kurasakan.
Seingatku, kami melabuh ke mana kami mau. Dengan sampan kami bermimpi bisa arungi dahsyatnya samudera dan menyimpan seluruh airnya ke dalam tempurung kelapa. Atau dengan
berlari ria di putihnya pasir, kami seakan ingin juga terbang menyusuri sambungan tiap pantai-pantai lainya.
Keberadaan Lanula yang tepat memotong khatulistiwa membuat daerah ini istimewa. Terumbu dan ubur-ubur suka berseri di lautan Lanula. Airnya sempat jernih sekali ketika Maret dan Mei.
“Aku mau ditelan laut. Melihat rahasia yang paling dalam itu, seperti Ayahku yang belum kembali dua bulan ini sejak terakhir kali berpamitan untuk melaut.”
Bubis menyambar tanganku, mengajak Canaru juga, untuk berjalan sedikit ke tengah ombak yang berbuih putih. Kakiku mulai bergetar. Tampak mega sedang menguning dan nyiur menyanyikan lagunya. Canaru yang sejak tadi berisik mengomentari para turis yang asik berswafoto diam bagai mati daya. Persis di hadapan kami melintas balok hitam raksasa mengambang tentram. Begitu tenang menyusuri kebesarannya yang ditarik hanya dengan sejenis kapal bermuatan 10 penumpang.
“Kalian mengerti apa itu?” kata Bubis dengan tatapan lurus ke depan.
Di kejauhan samar-samar terhempas suara keras tumpahan pasir. Angin membawa panasnya.
“Ya, itu kapal turis, bukan?”, spontan Canaru menggubris. “Tidak! Kemarin aku melihat meja kerja ayahku yang dipenuhi puluhan foto kapal hitam besar itu. Semuanya membawa semacam pasir hitam. Dari gambarnya terbayang begitu panas pasir itu. “Terumbu kita,” sambar Canaru lantang kemudian. “Semoga,” sahut Canaru. “Semoga apa! Katakanlah, cepat!, katakanlah!”
Aneh, seorang seperti Canaru menangis kali ini. Ia meraung tidak sabar menanti jawaban. Berlarilah ia kembali ke daratan. Dan, kulihat ia sempat tiga kali tersungkur di hamparan.
“Aku tahu kau sengaja tidak menjawab.” Bubis menoleh kepadaku, matanya tetap bulat tumpul, lalu menunduk pelan. “Tapi semua belum selesai, Bub! Angkatlah kepalamu. Aku rasa kau sudah tahu rahasia kedalaman itu. Ini saatnya Bub. Saat di mana anak Lanalu harus kuat seperti leluhurnya. Ibuku melarang melaut juga karena ia
tahu apa yang masih membahayakan untukku. Bulan depan kau juga akan ke Jawa, jadilah tetap anak Lanalu. Ingat semua mainan dan mimpi anak Lanalu tentang terumbu, ikan, kelapa, pasir dan sampan. Ingat Bub, Ingat!”
/4/
Ibu memanggilku penuh haru persis setelah lima bulan ketika bapak dulu berpamitan untuk melaut. “Bar, bapak tadi menelepon ibu!” katanya lirih. “Apa? Bapak! Bapak di mana bu?” “Ayo cepat ikut ibu ke kota. Panggil Paman Danu, suruh dia bantu antarkan kita dengan bentornya!”
Di jalan yang becek dan usang bentor melaju pelan. Gundukan pasir membuat perjalan memang agak meneganggkan. “Paman. Ayo lekas cepat lagi!” kata ibu. Aku malah bingung tak sempat Tanya. “Kenapa bapak ada di kantor polisi?”
“Mungkin sekarang kau perlu tahu, Bar. Jadi bapakmu belum mati ditelan laut. Bapak ikut melamar kerja di PLTU dengan banyak nelayan Lanalu. Sialnya, perusahaannya korup dan banyak
karyawan terlibat.”
Memang rahasia kedalaman itu belum ada yang berani menyusurinya, sekalipun nelayan gagah seperti bapak. Anak Lanalu, kita tentu masih berharap.
Beda Holy Septianno
HIDUP NO.05 2020, 2 Februari 2020