HIDUPKATOLIK.com – Ia selalu percaya, tangan Tuhan menuntun langkahnya dalam setiap tarikan nafas hidupnya hingga detik ini. Baginya, Tuhan selalu punya cara.
Sebuah mukjizat bagi Sekretaris Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik Kementerian Agama RI, Stefanus Aloma Sarumaha, saat diminta mendampingi Lukman Hakim Saifuddin, yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri Agama, menuju Vatikan.
Ia tak pernah membayangkan dapat berkunjung ke Takhta Suci bahkan menjadi saksi mata pelantikan Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignatius Suharyo menjadi kardinal pada Sabtu 5 Oktober 2019. “Kesempatan pergi ke Roma mungkin dengan event lain, seperti ziarah atau kegiatan dialog
kerukunan, tetapi akan berbeda maknanya dengan pelantikan Kardinal Suharyo. Bagi saya, pengalaman berharga yang terjadi sekali seumur hidup ini menambah kekuatan iman saya,” ungkapnya.
Berawal dari Guru
Tidak terlintas dipikiran Aloma, dirinya dapat bertahan hidup berawal dari merantau. Kelahiran Nias, 8 Desember 1964 ini meraih gelar sarjana dari Sekolah Tinggi Pastoral-Institut Pastoral Indonesia, Malang. Ia kemudian mengambil magister Ilmu Psikologi di Universitas Tarumanagara, Jakarta. Seakan haus ilmu, Aloma mengambil program doktor Antropologi di Universitas Indonesia. Pertengahan 2015, ia menuntaskan pendidikannya.
Tiga tahun kemudian, ia dilantik sebagai Direktur Urusan Agama Katolik Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik Kementerian Agama RI. Kemudian dalam hitungan bulan, ia
dipercaya sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik Kementerian Agama RI sampai sekarang.
Aloma berasal dari keluarga Katolik di Pulau Nias, Sumatera Utara. Bapak dan ibunya menganut Katolik tradisional. “Bahwa kemudian saya merantau, itu sebuah usaha manusia untuk bisa
mengembangkan kehidupan, mengikuti dinamika perkembangan zaman dan pengaruh kekatolikan dari iman keluarga, saya warisi sampai hari ini,” jelasnya.
Menurut Aloma, dalam Kitab Suci, cara Tuhan hanya dapat diyakini tetapi tidak selalu bisa dibuktikan, tidak selalu bisa ditebak atau prediksi karena ada sebuah ayat mengatakan bahwa jika saja ada iman sebiji sesawi, maka bisa memindahkan sebuah gunung. “Saya tidak bisa melihat rancangan Tuhan dalam hidup saya. Tapi tidak berarti saya bisa menjalani kehidupan dalam rancangan buta,” ujarnya.
Berpindahnya Aloma dari Teluk Dalam, Nias Selatan, Sumatera Utara ke Tanah Jawa tidak semudah membalikkan tangan. Teluk Dalam saat itu masih sebuah desa terpencil. Aloma penasaran dengan omongan warga kala itu, jika ada bisa
merantau ke Pulau Jawa adalah suatu hal yang luar biasa. Apalagi, jika seseorang pulang dari Jawa dan gelarnya guru yang akan kaya dengan ilmu pengetahuan.
Dalam bayangan Aloma, dirinya akan menjadi seorang sarjana hukum. Aloma suka berdebat. Melihat masyarakatnya yang kerap kali memposisikan diri sebagai orang yang tidak berdaya terhadap institusi atau oknum tertentu, tergerak hatinya ingin membela dan mengemukakan kebenaran. Namun, menurut Aloma, panggilannya adalah menjadi guru.
Setelah menyelesaikan sekolah, Aloma masuk pendidikan guru agama Katolik. “Singkat cerita, saya bekerja setahun. Tiga hari pertama di desa yang 10 km jaraknya, tiga hari berikutnya, harus menempuh 15 km. Dulu honornya lima belas ribu rupiah. Ini bukan soal honor, tetapi bagaimana
membuktikan bahwa guru muda mampu
mengeksplorasi pengetahuan dan pengalaman yang baik bersama murid,” jelasnya.
Dari situ, Aloma memikirkan untuk meng-upgrade dirinya lebih baik lagi, dan memutuskan untuk kuliah.
Pertolongan Ibu
Suatu ketika, Aloma diberi tugas oleh kepala sekolah untuk mengelola perpustakaan. Tiba-tiba, Aloma menemukan sebuah brosur yang diletakan di tong sampah. Diambilnya dan dibacanya. Tertera pada kertas usang itu sebuah institusi pastoral di Malang.
Sementara, dulu kebanyakan para calon guru sekolah di Yogyakarta. Karena keingintahuannya yang besar, putra Nias ini mencari informasi soal sekolah tersebut. “Salah satu syarat waktu itu adalah surat rekomendasi dari pastor paroki,” kenangnya.
Tahun 1985, berangkatlah Aloma ke Pulau Jawa. Awalnya, Aloma naik kapal laut menuju Sibolga. Sampai di sana, ia mencari paroki setempat untuk
menetap beberapa hari, namun tidak membuahkan hasil. Ia pikir dengan dulu aktif menjadi misdinar, pastor paroki di tempat lain dapat mengenalnya. Aloma pun memutuskan menginap di pelabuhan.
Sempat bingung menuju Pulau Jawa, akhirnya Aloma naik bus dan memakan waktu selama tiga hari dua malam.
Begitu sampai di Jakarta, kegalauan menghadang Aloma. Ia bingung harus bertolak ke mana. Kondektur bus saat itu bertanya kepadanya, mau turun di mana. “Saya dengar penumpang bersuara Tanah Abang, akhirnya saya ikut turun di Tanah
Abang. Sampai situ, saya tetap bingung mau ke mana lagi,” tuturnya.
Aloma benar-benar asing dengan ramainya sebuah kota. Ia tidak pernah melihat lampu merah dan mengira semua yang berhenti itu sedang berkelahi. Akhirnya, dengan peluh, ia beranikan
diri untuk bertanya sana-sini dan membawannya menuju Stasiun Gambir.
Dengan membeli tiket menuju Malang seharga Rp 7500, Aloma memasuki peron. Di dalam gerbong, ia tidak mendapatkan tempat duduk. Tiba-tiba seorang ibu mendekati dan bertanya arah tujuannya. Ia ragu-ragu menjawab. “Teringat beberapa orang di kampung bilang, banyak copet
di Jakarta. Ada dua pemikiran, ibu ini jujur atau tidak. Tapi entah hati kecil saya berkata beliau baik,” tuturnya.
Aloma akhirnya memberitahu tujuan kepergiannya kepada sang ibu. Tidak disangka, sepanjang perjalanan ibu tersebut malah memberinya makan dan bergantian untuk duduk. Sampai Malang, ia memberi Aloma ongkos untuk naik becak. “Sayangnya, saya tidak minta nomornya. Saya berutang budi betul,” kenangnya.
Bagi Aloma dari perjalanan saat itu, dengan pengetahuan yang minim dan kecemasan, ia merasa bisa selamat. Perjalannanya itu membuktikan bahwa Tuhan bekerja. Aloma mengakui, banyak orang yang cemas dengan kehidupan, tetapi prinsipnya, jalani saja sejauh mana bisa ditempuh.
Campur Tangan Tuhan
Anak pertama dari sebelas bersaudara ini akhirnya menghabiskan masa kuliahnya di Malang dan menemukan tambatan hatinya. Mengukir waktu cukup lama di Kota Apel tersebut, tahun 1991 Aloma mencoba peruntungan menjadi pegawai di
Kementerian Agama yang menghantarkan sampai di posisi sekarang ini.
Perjalanan yang dialaminya, bagi Aloma sungguh luar biasa. Ia merasa ada campur tangan Tuhan dalam hidupnya. “Saya punya keyakinan dalam pikiran dan hati bahwa saya bisa mengambil berbagai macam keputusan. Tetapi keseluruhan
adalah cara Tuhan bekerja dalam hidup saya. Sehingga tantangan yang entah berat atau ringan, saya jadikan sebagai kekuatan untuk menemukan dan menghayati kehadiran Tuhan,” ungkapnnya.
Setelah direfleksikan, umat Paroki Trinitas Cengkareng, Jakarta Barat ini selalu menemui Tuhan dalam perjalanannya. Kalau secara manusiawi, Aloma menambahkan, perjalanan yang
dialami tidak mungkin berjalan mulus begitu saja. Tetapi ia yakin Tuhan punya cara kerja sendiri. “Ya memang orang ingin yang terbaik, tapi tidak perlu menggebu-gebu,” tuturnya.
Bapak beranak dua ini memang tidak mempunyai doa khusus, tetapi devosi pribadi kepada Yesus melalui perantara Bunda Maria selalu dilakukannya. Aloma selalu menanamkan dalam hidupnya, Tuhan tidak perlu dibuktikan, tetapi bisa diterima sebagai sebuah keyakinan. Sehingga, dengan kondisi sesulit apapun, baginya, pasti ada jalan. Meski tidak hari ini.
Karina Chrisyantia
HIDUP NO.05 2020, 2 Februari 2020