HIDUPKATOLIK.COM Kapal Ratu merupakan salah satu armada laut milik misi di Nusa Tenggara Timur. Kapal ini amat istimewa dan melegenda di hati banyak orang NTT.
KONDISI pelayaran menuju Pulau Papua kala itu tak seperti tahun-tahun sebelumnya. Perjalanan kali ini begitu mendebarkan. Laut sedang tak bersahabat. Gelombang di lepas pantai bak raksasa, besar dan tinggi. Situasi perairan yang tak ramah itu mengguncang badan Kapal Motor Ratu Rosari (selanjutnya disebut Kapal Ratu).
Petrus Pati Doren, satu dari 24 anak buah kapal (ABK) Ratu, mengingat jelas situasi masa itu. Posisi Kapal Ratu, kata Petrus, sudah sangat miring. Ia mengira, kapal buatan Jerman ini bakal segera tenggelam dalam perjalanan menuju “Bumi Cen-derawasih”. Dugaan Petrus meleset. Beberapa waktu kemudian, “ikan” berkulit baja itu kembali ke posisi normal dan melaju seperti sedia kala.
Lepas dari situasi genting tersebut, Petrus mendatangi Bruder Marianus Klein–Koerkamp, SVD. Kepada biarawan asal Belanda sekaligus arsitek kapal ter-sebut, ia bertanya, mengapa Kapal Ratu tak ambruk kendati diterjang ombak maha dahsyat tadi?
Beberapa Ujian
Panjang Kapal Ratu sekitar 50 meter, lebarnya 8,5 meter. Dari haluan hingga buritan, beber Petrus, terdapat delapan tangki ballast. Tangki-tangki ini menjaga stabilitas tubuh kapal ketika mengarungi lautan. Kapal buatan Schiffswerft JJ. Sietas Neuenfelde bei Hamburg juga telah lulus beberapa kali tes keseimbangan.
Bruder Marianus turun langsung ke galangan kapal dan memperhatikan secara detail pengerjaan dan uji kelayakan kapal tersebut, antara lain soal keseim-bangan. Karena itu, setelah melewati detik-detik menegangkan di laut Papua, Bruder Ma-rianus dengan yakin berkata kepada Pe-trus, bahwa Kapal Ratu sulit terbalik. Omongan Bruder Marianus terbukti. Pa-ling tidak, selama 30 tahun Petrus berlayar bersama Kapal Ratu, tak pernah kapal itu terbalik atau tenggelam.
Kapal Ratu juga pernah mengalami beberapa ujian lain. Ketika melintasi Tanjung Bunga, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, kapal ini kandas. Peristiwa itu terjadi pada malam hari, gelap gulita, hujan deras disertai gelombang tinggi. Tapi, kurang dari sejam, Kapal Ratu berhasil keluar dari kemelut itu.
Tahun 1975, lanjut Petrus, ketika akan bersandar di sebuah pulau di NTT, Kapal Ratu diberondong peluru. Namun, tak sebutir peluru pun yang berhasil menembus atau bahkan melukai lambung kapal. “Ternyata, kapal ini dilapisi baja,” kenang Petrus, saat dihubungi lewat telepon, Minggu, (17/5/2020).
Kapal Ratu juga memiliki sistem navi-gasi dan komunikasi nan canggih pada masa itu. Konon, satu-satunya kapal di wilayah Timur atau bahkan sarana transportasi yang bukan milik swasta atau pemerintah yang punya fasilitas “mewah”. Ini juga yang menjadi alasan tentara Indonesia memilih Kapal Ratu ketika menjalankan tugas negara di bagian Indonesia Timur.
Tujuan utama menghadirkan Kapal Ratu untuk melayani kebutuhan misi Gereja Katolik. Namun, kapal ini juga membuka pintunya untuk menyeberangkan masyarakat dari berbagai golongan ke pulau lain, mulai dari Papua, Timor, Lembata, Adonara, Flores, Sumba, hingga Jawa (Surabaya).
Kapal Ratu punya jasa besar bagi bangsa ini. Itu menjadi bukti rasa cintanya bagi masyarakat Indonesia. Tanda cinta terhadap Indonesia juga terpampang jelas, kata Petrus, meski kapal ini dibuat di “Negeri Panzer”, seluruh nama atau informasi di dalam kapal, termasuk mesin sekali pun, menggunakan bahasa Indonesia. “Ini juga menggambarkan perasaan Bruder Maria-nus. Bruder sangat mencintai bangsa ini,” puji pria asal Larantuka, NTT itu.
Seperti di Biara
Kapal Ratu merupakan kapal misi Gereja Katolik, milik para uskup se-Nusa Tenggara dan Serikat Sabda Allah secara khusus SVD Provinsi Ende. Lantaran milik “kaum berjubah”, nuansa dan ritme kehidupan di dalam kapal hampir seperi di biara. Di ujung haluan, ujar Petrus, terpancak salib besar dari besi plat putih, salib berukuran kecil juga tergantung di setiap ruangan, tak terkecuali kamar mesin.
Kapal ini juga memiliki kapela. Perlengkapan Misa tersedia lengkap di sana. Setiap ada imam yang menumpang kapal tersebut digelar Misa. Penumpang dan para ABK berpadu di kapel. Jika jumlah penumpang melebihi kapasitas kapel, Misa akan di-pindahkan ke haluan kapal. Pemandangan tersebut seperti kisah Yesus mengajar para murid dari atas perahu.
Tiap pukul 12.00 dan 18.00, kapten atau mualim kapal, mengumumkan kepada seluruh “penghuni” kapal untuk berdoa Malaikat Tuhan (Angelus) atau Ratu Surga (Regina Caeli). Menurut Petrus, setiap aktivitas di dalam kapal selalu dimulai dengan doa. Itu dimulai sejak mesin kapal dihidupkan, sepanjang pelayaran, hingga tiba di pelabuhan tujuan.
Kehidupan rohani yang amat kental itulah yang menjadi alasan utama Petrus dan banyak ABK bertahan lama di atas Kapal Ratu. Konon, menurut Petrus, tradisi itu pula yang membuat seorang perwira Angkatan Laut, Markus Pontoh, meninggalkan karier militer dan berlayar bersama Kapal Ratu. Pria asal Manado, Sulawesi Utara itu membukukan namanya sebagai nahkoda pertama Kapal Ratu.
Simpy, salah satu penumpang Kapal Ratu yang kini berdomisili di Jakarta, mengamini pendapat Petrus. Masuk ke dalam Kapal Ratu, menurutnya, seperti me-nyusuri biara. Benda-benda rohani ba-nyak tergantung di dinding-dinding kapal itu. Pada jam-jam tertentu di kapal itu ada doa, ibadat, atau Misa. Kondisi kapal amat bersih dan rapi. “Hampir tiap jam saya lihat kapal itu disapu dan dipel oleh ABK,” ujar Simpy dalam sambungan telepon, Sabtu, 16/5/2020.
Kapal Ratu berjasa bagi Simpy. Kapal itu mengantarnya ke Flores usai pertemuan di Atambua, Timor, NTT. Saat itu, tak ada jadwal penerbangan atau pelayaran lain menuju Nusa Bunga. Hanya Kapal Ratu yang pas dengan jadwal keberangkatan-nya. Dengan demikian, ia bisa tiba di tujuan sesuai rencana.
Jeane Kabelen juga mengakui hal serupa. Kapal itulah yang membawanya pertama kali saat hendak kuliah di Pulau Jawa. Meski perdana, Jeane menganggap Kapal Ratu seperti rumah sendiri. Di sana, ia bertemu dengan saudara-saudara seasalnya. “Rasanya seperti di rumah sendiri karena 99% yang kerja di kapal ini adalah orang Flores Timur dan, tulis Jeane, mengomentari sebuah video tentang Kapal Ratu Rosari.
Ingin Realistis
Alex Puaq Wulohering juga punya kenangan mendalam dengan Kapal Ratu. Ka-pal itu menjadi andalannya ketika menuntut ilmu. Ketika di Seminari Menengah St. Dominggo Hokeng, Larantuka, Flores, Kapal Ratu-lah yang mengantar-jemput para seminaris asal Flores Timur dan Lembata ke kampung halaman dan kembali ke seminari saat libur usai.
Anak seminari, menurut Alex, sangat diistimewakan oleh misi. Selain selalu men-dapat prioritas untuk menumpang Kapal Ratu, mereka juga tak dipunggut bia-ya. Kapal Ratu juga menjadi pilihan utama Alex ketika hendak pergi kuliah di Ruteng dan berlibur di rumah. Selain lebih cepat sampai tujuan, perjalanan melalui laut le-bih aman dan nyaman dibandingkan jalur darat. “Kala itu, banyak orang menyebut (jalur darat) jalur neraka. Kondisi jalannya sangat buruk dan rawan longsor,” kenang alumnus Akademi Pendidikan Kateketik, Ruteng, Flores.
Alex memahami bila saat ini mayoritas masyarakat Flores atau Nusa Tenggara Timur menyimpan nostalgia mendalam terhadap Kapal Ratu. Saat video tentang Kapal Ratu beredar di Youtube dan Facebook, banyak orang menginginkan agar kapal itu bisa kembali ke Flores. Alex me-ngerti perasaan mereka. Namun, dirinya realistis. Membeli kembali kapal tersebut tentu membutuhkan dana besar. Itu belum termasuk biaya perawatannya.
Kapal Ratu sudah bukan milik misi. Kapal itu sudah beberapa kali berganti pemilik. Dalam video tersebut, Kapal Ratu kini milik penguasaha Halmahera. Sementara menurut keterangan salah satu mantan ABK kapal itu, dirinya mendapat informasi, Kapal Ratu sudah berada di Jakarta. Tubuhnya telah dipotong. Maka, yang tersisa pada Kapal Ratu kini tinggal nama dan kenangan di hati masyarakat NTT.
Yanuari Marwanto
HIDUP NO.22, 31 Mei 2020