web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Anjing Kesayangan Jovita

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Saat hujan turun deras dua minggu  lalu, seekor anjing berambut cokelat melintas di depan rumah. Badannya agak kecil dan pendek. Ada bekas ikatan tali di lehernya. Aku yakin, anjing itu dulu memiliki tuan. Entah apa yang membuatnya terlepas dan berlari-lari sendiri. Aku dan Jovita, keponakanku, yang saat itu sedang berada di teras rumah, memanggil-manggil anjing itu.

Jovita memanggilnya “Molly”, aku memanggilnya “Asu”. Pintu pagar teras kami buka sambil terus memanggilnya, anjing itu mau masuk ke dalam walaupun malu-malu. Wajahnya tampak sedih, seperti berbeban berat. Jovita, yang sebelum hujan deras membeli bakpao isi daging ayam bersama ibunya, mengambil bakpao itu.

“Jangan langsung dikasihkan semua, disobek dulu kecil-kecil,” kataku.

Aku dan Jovita menyobek-nyobek bakpao itu. Jovita terus memanggil nama anjing itu, sambil mengulurkan sobekan bakpao di tangannya. Anjing itu hanya melihati, malu mendekat. Aku mengambil
sobekan-sobekan bakpao, meletakkannya di depan anjing itu. “Yuk, kita menjauh,” kataku.

Aku dan Jovita mundur tiga langkah. Dugaanku benar, anjing itu memakan bakpao sangat lahap. Setelah satu bakpao habis dilahapnya, anjing itu keluar pagar.

“Dia mau ke mana ya, Om Paryo?” tanya Jovita.

“Mungkin, nanti kalau hujan reda, dia akan kembali ke pemiliknya,” jawabku sambil melihat langit yang mulai gelap.

“Yuk masuk ke dalam.”

Jovita menonton televisi bersama ibunya, aku masuk ke kamar. Malam itu aku menyiapkan beberapa berkas untuk mengajar keesokan harinya. Ada soal ulangan yang haruskuselesaikan.  Jovita sudah terlelap di kamarnya sebelum pukul delapan malam. Tak lama setelah Jovita tertidur, aku mendengar suara
sepeda motor dan pintu pagar dibuka. Aku mengintip dari jendela. Abangku, ayah Jovita, datang.

“Kok ada anjing di samping rumah, Yo?” tanya abangku.

“Lho, anjing itu masih di situ?” sahutku balik bertanya, keluar pagar.

Anjing cokelat itu ternyata masih ada di kebun tetangga yang ada di samping rumah abangku. Dia mengeluarkan suara kecil, seperti menangis.

“Anjing siapa itu?” tanya abangku.

“Enggak tahu nih, Bang. Tadi pas hujan deras datang ke sini. Tadi udah kukasih makan sama Jovita.”

“Wah, baguslah kalau nggak ada yang punya. Kita pelihara aja. Jovita beberapa minggu yang lalu pernah bilang pengen punya anjing.”

Aku pun mengajak anjing itu masuk ke dalam rumah, mengambilkan makanan lagi untuknya dan air putih. Makanan dan minuman itu kuletakkan dalam mangkuk terpisah. Dia hanya makan roti tawar yang kuberikan separo, dan minum cukup
banyak air. Aku membelai kepalanya, mengajaknya bicara. “Su, Asu, rumahmu di mana? Kamu kok kesasar ke sini?”

Dia hanya memandang wajahku. Wajahnya masih tampak sedih, tapi dia sudah mau kubelai.

***

“Molly, Molly, Molly!” suara Jovita membangunkanku dari tidur.

Aku mengintip dari jendela, Jovita sedang asyik bermain bersama Asu alias Molly. Wajah anjing itu sekilas sudah tak terlihat sedih, ekornya pun bergerak-gerak ke sana kemari. Jovita berlari-lari ke sana kemari, dikejar Molly.

“Ayo, Jovita, cepat mandi! Nanti terlambat sekolah!” kata ibunya.

Jovita bergegas menuju kamar mandi, bersiap-siap ke sekolah. Sekarang dia duduk di TK nol besar, sedang senang-senangnya menggambar dan mewarnai. Sebelum berangkat ia memeluk Molly
erat-erat, lalu berkata, “Kamu tunggu aku pulang sekolah, ya. Nanti kita main lagi!”

Jovita berangkat ke sekolah bersama ayahnya yang bekerja di toko bangunan, aku berangkat mengajar. Tinggal ibu Jovita, kakak iparku, yang ada di rumah; dia berjanji akan memberi makan anjing itu sebelum siang. Kakak iparku membuka
toko online, berjualan aksesoris, kadang ada di rumah, kadang keluar.

Pukul dua siang, saat aku kembali dari mengajar, aku mendapati Jovita bermain-main bola tenis di teras rumah bersama anjing itu. Anjing itu mengejar bola dengan penuh semangat. Kalau Jovita memegang bola itu, lalu mengangkatnya
tinggi-tinggi, anjing itu terus-menerus berdiri, dua kaki depannya berusaha menggapai bola yang dipegang Jovita. Jovita tertawa-tawa riang, dahi dan rambutnya penuh peluh. Sampai dia kelelahan, lalu tidur siang.

***

Sudah tiga hari Molly bersama kami. Jovita berkata kepadaku untuk tak memanggil anjing itu Asu. “Molly aja, lebih keren, Om,” katanya.

“Atau kita kasih nama lengkap: Molly Kirikasu.”

“Kepanjangan. Nanti susah manggilnya, Om Paryo!”

“Lho, itu malah bagus, mirip nama Jepang. Anjing ini, kalau melihat badannya yang kecil dan pendek,
kelihatannya juga anjing dari Jepang. Namamu kan juga panjang, Jovita Angelita Suparyono, tapi kamu cuma dipanggil Jovita. Atau kadang cuma Vita.”

“Oh gitu ya… Ya udah, pakai nama lengkap… apa tadi namanya?”

“Molly Kirikasu!”

Saat aku baru saja mengucapkan nama lengkap anjing itu, seorang ibu dan gadis remaja berdiri di depan pintu pagar teras. “Permisi…,” kata ibu itu.

“Siapa, ya?” sahutku sambil membuka pintu pagar.

“Itu… itu…,” kata si ibu, “Anjing saya. Saya sudah mencarinya beberapa hari ini.”

Aku memandang Jovita, wajahnya tampak sedih. “Oh… ini anjing Ibu. Iya nih, sudah kami pelihara beberapa hari ini.”

Anjing itu memeluk gadis remaja yang berlutut di depannya. Ia mengusap-usapkan kepalanya ke lengan gadis itu. “Makasih, Om,” kata gadis itu, “sudah memelihara anjing saya. Waktu itu rantainya lepas, pas hujan deras.”

Terdengar suara guntur di langit, sejak beberapa jam lalu langit sudah mendung. “Ma, keburu hujan… yuk kita bawa pulang!” kata gadis itu.

Molly menurut ketika diletakkan di tengah kursi sepeda motor, di antara ibu dan gadis remaja itu. “Maaf, Mas, Dik, kami buru-buru. Rumah kami enggak terlalu jauh sih… tapi nanti takut kehujanan. Kapan-kapan kami mampir ke sini lagi,” kata ibu itu.

Mata Jovita memerah saat melihat anjing kesayangannya pergi. Anjing itu menghadap ke belakang ketika dibawa naik sepeda motor, memandangi aku dan Jovita bergantian. Aku menghela napas panjang. Air mata Jovita menetes ketika anjing sudah tak tampak lagi. Dia masuk ke dalam rumah, menangis keras-keras.

***

Sejak Molly meninggalkan rumah kami, rasanya sepi. Dulu, tiap siang terdengar selalu gonggongannya yang riang. Wajahnya yang penakut dan malu-malu telah berubah lebih ceria. Ia sering bertingkah manja kepada Jovita, kalau
duduk atau berbaring ingin dekat-dekat Jovita.

Jovita suka mengajaknya berbicara sambil mengelus-elus kepalanya. Kadang Jovita bercerita kepadanya tentang dongeng yang pernah didengarnya, guru-guru di sekolahnya, atau teman-
temannya. Tentu hewan itu tak mengerti, walau dia kadang tampak mendengarkan. Sejak Molly tak ada, tiap hari Jovita menggambar anjing di buku dan kertas. Bahkan di sekolah, kalau jam istirahat, dia menggambar anjing.

Suatu sore, seminggu setelah Molly pergi, saat aku dan Jovita sedang membersihkan sepeda motor, ibu dan gadis remaja yang mengambil Molly datang ke rumah. Dan… oh, ternyata, dia membawa seekor anjing kecil berambut cokelat, mirip Molly! Mata Jovita berbinar-binar memandangku. “Om Paryo!” serunya.

Setelah turun dari sepeda motor, ibu itu bercerita kalau Molly tiga bulan yang lalu melahirkan. Anaknya ada empat. “Yang ini untuk Adik, ya?” katanya kepada Jovita, sambil menyerahkan anjing itu. Dia juga menyerahkan makanan anjing dalam plastik, memberitahukan di mana makanan anjing seperti yang dibawanya bisa dibeli.

“Terima kasih, Bu!” kataku dan Jovita, hampir bersamaan.

“Waktu saya lihat Adik sedih karena anjingnya dibawa, saya bilang ke Mama supaya anak anjingnya ada yang dikasihkan ke Adik,” kata si gadis remaja sambil memandang Jovita.

Ibu dan gadis remaja itu pun memperkenalkan diri, mengatakan kalau rumah mereka tidak terlalu jauh dari rumah kami. Kalau suatu hari ingin main-main ke rumahnya, kami dipersilakan.

“Om Paryo, ini mukanya mirip sama Molly, ya?” kata Jovita.

“Molly?” tanya ibu itu.

“Anjing yang kemarin ke sini, Bu. Kami kasih dia nama Molly,” jelasku.

Ibu dan gadis remaja itu meninggalkan rumah kami. Kemurungan di wajah Jovita selama beberapa hari lenyap seketika. Anjing kecil yang digendongnya pun tampak cepat akrab dengannya. Jovita pun berbicara, dan terus berbicara, tentang apa saja kepada anjing kecil itu.

Setelah sepeda motor selesai kubersihkan, Jovita berseru kepadaku, “Om Paryo, kita kasih nama Molly aja, kayak ibunya. Oh ya, siapa nama lengkap
Molly yang dulu?”

“Molly Kirikasu!”

Sidik Nugroho

HIDUP NO.04 2020, 26 Januari 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles