HIDUPKATOLIK.COM Ia sudah kehilangan orang-orang yang dicintainya sejak usia masih muda. Di dalam lorong tambang kapur, ia menemukan penyerahan dirinya.
TOTUS Tuus adalah moto atau “pedoman”, yang dipakai oleh St. Yohanes Paulus II (1920-2005) di masa pontifikalnya (1978-2005). Moto itu agak unik, biasanya seorang Paus akan mengambil moto berdasarkan teks Kitab Suci. Dua pendahulunya, Paus Paulus VI (1897-1978), dan Paus Yohanes Paulus I (1912-1978), mengambil moto yang terkait dengan kata atau teks dalam Kitab Suci.
Saat terpilih, Paus Paulus VI memilih moto Cum Ipso in Monte ‘Bersama Dia di Gunung’ (2 Petrus 1:18). Ungkapan ini ada-lah bagian dari pengalaman Rasul Petrus, saat “Yesus dimuliakan di atas gunung” (lih. Mrk. 9:2-13): “Suara itu kami dengar datang dari Surga, ketika kami ‘bersama-sama dengan Dia di atas gunung’ yang kudus”. Demikian pula Paus Yohanes Paulus I. Ia memilih moto Humilitas ‘Kerendahan Hati’, sebuah keutamaan Injili yang menjadi syarat untuk bisa mengikuti Yesus, Sang Guru. ”Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, dan kesabaran” (Kol. 3:12; juga Ef. 4:2). Teladannya adalah Yesus Kristus sendiri.
Namun, moto Totus Tuus dari St. Yohanes Paulus II (YP II), tidak terdapat pada Kitab Suci. Moto ini sudah dipakai Mgr. Karol Józef Wojtyła ketika diangkat sebagai Uskup Pembantu untuk Keuskupan Agung Kraków, Polandia, pada 1958. Pada waktu itu, banyak yang juga sudah bertanya, Totus Tuus itu diambil dari mana?
Devosi Sejati
Karol Wojtyła adalah sosok yang sangat suka membaca. Ia selalu mencari apa yang paling sesuai guna mengembangkan religiositas maupun spiritualitas pribadinya. Pada Februari 1941, saat Polandia sudah dua tahun dikuasai oleh pendudukan militer Nazi-Jerman, Karol sudah benar-benar sendirian, tanpa keluarga. Enam tahun sebelum Karol lahir, Olga, kakak perempuannya, meninggal beberapa jam setelah dilahirkan. Kemudian, saat usianya beranjak 9 tahun, ibunya, Emilia Kaczorowska (1884-1929) wafat.
Tiga tahun kemudian (1932), kakaknya, dokter Edmund, meninggal dunia dalam usia 26 tahun, saat menolong pasiennya, yang terjangkit scarlet fever. Terakhir, ayahnya, Kapten Wojtyła Sr., wafat pada 18 Februari 1941, karena serangan jantung. Saat itu, kesedihan Karol sangat dalam, karena ia tidak bisa menunggui sang ayah, yang juga menjadi guru spiritualitasnya. Saat itu, ia harus bekerja sebagai buruh di tambang batu kapur di Zakrzowek, sekitar satu jam perjalanan kaki dari rumah mereka di Krakow. “Melalui ayah saya, saya merasakan kesatuan dengan penderitaan negeri dan bangsa Polandia. Namun, seperti Bunda Maria, yang selalu mampu bertahan dalam duka, kita semua memiliki pengharapan,” begitu kenangnya.
Kini, Karol harus ‘survive’ sendirian. Dari tambang Zakrzowek, penguasa Nazi-Jerman memindahkannya ke pabrik kimia Solvay di Lagiewniki-Borek Falechi, sekitar 6,5 kilometer arah selatan Kraków. Karol yang saat itu berusia 21 tahun, bekerja pada malam hari, sebagai tukang pikul kapur kasar untuk dimasukkan ke tungku-tungku pemurnian. Di malam-malam yang dingin itulah, Karol sering menyempatkan waktu untuk membaca buku kecil yang selalu dikantonginya, Traité de la vraie dévotion à la Sainte Vierge ‘Risalah mengenai Devosi sejati pada Perawan Suci’ karangan Louis-Marie Grignion de Montfort, OP (1673-1716).
Salah satu bagian yang berkali-kali dibacanya, adalah Bab IV mengenai “Praktik Khusus Devosi” nomor 233. Di situ dikatakan, hendaknya setiap kali memperbarui penyerahan diri kepada Bunda Maria, kata-kata inilah yang harus didaraskan: “Tuus Totus ego sum, et omnia mea tua sunt: Je suis tout à vous, et tout ce que j’ai vous appartient, ô mon aimable Jésus, par Marie, votre sainte Mère” ‘Seluruh diriku menjadi milik-Mu, dan semua yang kupunyai menjadi kepunyaan-Mu, o Yesus-ku yang lembut, melalui Maria, Ibu-Mu yang suci’.
Dalam refleksinya di kemudian hari, Karol mengatakan, melalui buku Louis de Monfort itu, ia menemukan jawaban atas pergumulan batinnya selama belasan tahun. “Bila kita menghidupi misteri Bunda Maria dalam Kristus, kita akan melihat, bahwa ia membawa kita untuk makin dekat dengan Kristus. Mariologi Louis de Montfort berakar pada Misteri Tritunggal, dan pada kebenaran Inkarnasi Sabda Allah”, katanya (lih., Gift and Mistery, 1996).
Sebelumnya, devosi Karol kepada Bunda Maria memang sangat konvensional, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang Polandia zaman itu. Karol sangat menekankan superioritas “pengagungan” Bunda Maria di atas yang lain.
Hetmanka
Devosi Karol kepada Bunda Maria memang dilatarbelakangi oleh pengalaman hidup sejarah bangsanya, Polandia. Dari ayahnya, Karol Wojtyła Sr.,(1879-1941), seorang tentara yang mahir dalam sejarah, Karol kecil mengetahui, bangsa Polandia mengalami banyak penderitaan akibat pendudukan berabad-abad dari tiga tetangga besarnya, yaitu Prusia/Jerman, Austria, dan Rusia/Uni Soviet. Pada akhir Abad XVIII, bahkan nama Polandia pernah hilang dari peta Eropa.
Dalam kesuraman zaman itu, rakyat pun mencari perlindungan melalui devosi yang paling populer, yaitu devosi kepada Bunda Maria, yang “menderita bersama Kristus”. Dari devosi itulah muncul gambaran Bunda Maria sebagai Hetmanka atau ‘Panglima Tertinggi’. Itulah misalnya, yang diyakini oleh Marsekal Józef Klemens Piłsudski (1867-1935) dan pasukannya, saat mengusir dan mengalahkan serbuan Tentara Komunis Uni Soviet, pada 15-20 Agustus 1920. Dengan kekuatan “tentara rakyat biasa”, Piłsudski berhasil mengusir tentara Uni Soviet, yang jumlahnya hampir tiga kali lipat, dari tanah air mereka. Rakyat Polandia menyebut kemenangan itu sebagai “Mukjizat Vistula”, dan, Bunda Maria adalah Hetmanka kemenangan itu.
Dalam sejarah negeri itu, pengalaman bantuan Bunda Maria untuk rakyat bukanlah yang pertama kalinya. Tiga abad sebelumnya, pada musim dingin 1655, pasukan Swedia menyerbu Polandia. Dengan kekuatan sekitar 3.200-an prajurit — kebanyakan tentara bayaran Jerman — dan disertai 10 pucuk meriam, mereka mendekati dan mengepung Biara Jasna Góra di Częstochowa, sebelah selatan Polandia, yang kala itu dianggap sebagai benteng Polandia.
Biara itu diultimatum untuk menyerah. Namun, Abbas Kordecki, pemimpin biara, menolaknya. Alasannya sederhana, di biara itu ada ikon Matka Boska Częstochowska ‘Bunda Allah Częstochowa’, atau lebih dikenal sebagai Czarna Madonna ‘Madona Hitam’ dari Abad VI, yang sangat dihormati. Sang Abbas tidak ingin ikon itu direbut dan dirusak oleh tentara non Katolik.
Dengan hanya sekitar 70-an rahib, yang dibantu oleh 160 tentara bayaran dan 80 relawan, biara itu dapat bertahan setidaknya sebulan. Beberapa serangan dari para pengepung bisa digagalkan. Pada pertengahan Desember 1655, secara mendadak “pasukan” dari biara tiba-tiba menyerbu keluar, menghancurkan meriam-meriam Swedia, dan akhirnya berhasil mengusir tentara dari utara itu.
Rakyat Polandia menyakini, kemenangan para rahib Jasna Góra itu, terjadi berkat bantuan Madona Hitam. Sejarah kemudian mencatat, Częstochowska dengan ikonnya itu, lalu menjadi tempat ziarah paling populer. Sejak 1711, setiap tanggal 6 Agustus, selama sembilan hari, para peziarah berjalan sambil berdoa menempuh jarak sekitar 221 km dari Warsawa ke tempat itu. Selama pendudukan Nazi Jerman (1939-1945), ziarah tersebut dilakukan dengan diam-diam.
Bunda Kehidupan
Dalam tulisan-tulisannya, YP II selalu mengatakan, Totus Tuus adalah cerminan totalitas hidup manusia, yang hanya diabdikan pada Allah, yang tun-tunannya berasal dari teladan Bunda Maria: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk. 1:38).
Di sini, YP II menunjuk pada Penye-lenggaraan Ilahi, yang terjadi dalam sejarah hidupnya. Saat masih dalam kandungan ibunya, rencananya Karol harus digugurkan. Itu nasehat dari dokter Jan Moskaly, ginekolog dari Wadowice, tempat asal keluarga Karol, kepada sang ibu, Emilia Kaczorowska. Sudah sejak lama, kondisi fisik Emilia, yang pernah mengalami kematian anak keduanya beberapa jam setelah dilahirkan, memang sangat lemah. Namun, ia dan suaminya, mengabaikan saran tersebut. Mereka tetap kokoh untuk mempertahankan janin yang ada di kandungan. “Bayi kita harus lahir. Lebih baik saya mati daripada menghapus kehidupan anak saya. Bukan rencana kami, tetapi rencana-Mu, Tuhan,” kata Emilia.
Melalui bantuan dari seorang dokter Yahudi, Samuel Taub, suami-istri itu bertahan dalam iman menjaga kesucian anugerah kehidupan. Akhirnya, pada 18 Mei 1920 pukul lima sore, Karol lahir, bertepatan dengan bunyi lonceng gereja, yang mengajak umat untuk mendaraskan madah Litani Loreto (Litani Bunda Maria). Apartemen keluarga Wojtyła Sr., memang terletak berseberangan dengan gereja paroki Wadowice.
Sejak lahir, secara konkret Bunda Maria mendampingi hidup anak-anaknya. Itulah keyakinan yang selalu ditanamkan oleh Wojtyła Sr., di dalam keluarga. Bapak yang tentara itu selalu rajin dan rutin mengajak keluarganya berdoa Rosario bersama. “Doa Rosario adalah detak irama kehidupan manusia,” katanya. Di kala ada musibah keluarga, secara khusus saat Emilia me-ninggal dunia pada 1929, tempat pertama yang dituju adalah Kalwaria Zebrzydowska, 14 km timur Wadowice. Di tempat itu ada Basilika Bunda Mulia Allah, dan lukisan Abad XVII, “Bunda dari Kalvari”, atau lebih terkenal dengan nama Płacząca Madonna ‘Bunda yang Menangis’. Di situ, Wojtyła Sr., bersama kedua anaknya, Edmund dan Karol, mengungkapkan isi hati mereka.
Terpaut Erat
Sejak kecil, hati Karol memang terpaut erat dengan Bunda Maria. Ia selalu memakai skapulir Bunda Kita dari Bukit Karmel, hingga akhir hayatnya. Saat di sekolah menengah, ia aktif dalam Societas Mariae, ‘Perhimpunan Maria’. Melalui buku Louis de Montfort, pemahaman dan kedekatan Karol dengan Bunda Maria menjadi semakin matang. Ia menjadi pribadi, yang selalu yakin, bahwa Bunda Maria selalu berada di sebelahnya. Menurut Eamon Duffy (2006), pemahaman YP II mengenai Bunda Maria itu harus dikaitkan dengan pemahamannya mengenai pen-deritaan, yang merupakan sisi paling menentukan dalam hidupnya. “YP II melihat penderitaan sebagai panggilan untuk melayani,” tulis Duffy.
Keyakinan Karol bahwa Bunda Maria selalu menyertai hidupnya, paling tampak saat terjadi percobaan pembunuhan yang dilakukan Mehmet Ali Acga, di Lapangan St. Petrus, Vatikan, pada 13 Mei 1981, hari peringatan penampakan pertama Bunda Maria di Fatima, Portugal. Saat sadar, setelah dirawat di rumah sakit, YP II, berkata: “Satu tangan menembak, tetapi tangan yang lain lagi membelokkan pelurunya”.
YP II meyakini, Bunda Maria telah mengintervensi, sehingga ia selamat. Sebagai tanda syukur dan kenangan atas pertolongan Ibu Surga itu, peluru itu kemudian diletakkan pada mahkota Bunda Maria di Fatima. Pengalaman mengenai kehadiran Bunda Maria dan penyerahan kehidupan secara total kepada Allah, melalui perantaraan Bunda Maria itu, kemudian diwujudkan dalam berbagai kebijakan kepausan YP II.
Pada peringatan 25 tahun (2003) masa kepausannya, YP II menambahkan “Peristiwa Terang” dalam Doa Rosario. Peranan Bunda Maria sebagai sosok yang mengambil bagian dalam Karya Keselamatan Allah, ditunjukkannya melalui Ensiklik Redemptoris Mater ‘Ibu Penyelamat’ tahun 1987. Melalui ensiklik itu, ia kemudian mengusulkan agar Bunda Maria sebagai Co-Redemptrix bersama Yesus Sang Penyelamat, dibahas menjadi sebuah dogma baru. Terakhir, YP II menerbitkan Surat Apostolik, Rosarium Virginis Mariae, di mana ditunjukkan, rosario merupakan sekolah untuk me-mahami keindahan rahmat Ilahi melalui Bunda Maria.
Mungkin yang paling penting, bahwa devosi YP II kepada Bunda Maria dan penyerahan total kepada Allah itu, ditunjukkannya melalui sikap terhadap kehidupan. Melalui Ensiklik Evangelium Vitae (1995), YP II menekankan nilai kehidupan manusia, yang sama sekali tidak boleh dirusak. Kata-kata Nabi Yeremia menjadi acuannya. “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa” (Yer. 1:5).
“Rahim ibu itu menjadi tempat Allah hadir dalam kehidupan manusia,” tambah YP II. Di sinilah, sangat tampak, melalui spiritualitasnya, khususnya melalui peng-hormatannya kepada Bunda Maria, YP II mewujudkan sebuah dunia kehidupan manusia beriman yang baru. Per Mariam ad Jesum, ‘melalui Maria menuju Yesus’, memang menjadi sesuatu yang konkret.
H. Witdarmono
HIDUP No.21, 24 Mei 2020