HIDUPKATOLIK.COM ROMO, saya baca di media sosial ada tulisan yang mengulas tentang baptisan jenazah. Bagaimana ajaran Gereja Katolik mengenai hal ini?
Kunto W Pekalongan, Jawa Tengah
BAPTIS terkait dengan iman, sebab merupakan tindakan iman. Iman sendiri merupakan tanggapan atau jawaban manusia atas pewahyuan Allah. Konsili Vatikan II menyebutkan, iman tersebut merupakan manusia yang dengan kebebasannya, menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dengan kepatuhan akal budi dan kehendak.
Iman dengan demikian adalah penyerahan diri manusia kepada Allah. Di dalamnya ada perjumpaan pribadi antara Allah dan manusia, Allah menyapa manusia, dan manusia mendengarkan serta menjawab sapaan dan tindakan Allah. Tindakan Allah tersebut memuncak dalam peristiwa Yesus. Beriman karenanya merupakan tindakan untuk ikut ambil bagian dalam misteri Kristus. Konsekuensi dari tindakan iman seperti itu adalah panggilan menjalankan kehendak Allah, dengan mengikuti teladan Yesus. Landasan dasar dan motif yang mendorong orang untuk sampai pada iman, akhirnya tak lain adalah Allah sendiri.
Penulis Surat Ibrani menuliskan, iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibr 11:1). Beriman dengan demikian memuat sikap ketaatan, sebagaimana Abraham, bapa kaum beriman, tanpa ragu menjawab kehendak Allah, memberikan diri kepada-Nya, betapapun belum melihat bukti atas kehendak Allah tersebut, sebagaimana nyata dalam penantian panjangnya akan keturunan. Kita bisa lalu meminjam ungkapan Elisabeth kepada Maria dalam Lukas 1:45. Iman bila demikian adalah tindakan manusiawi, betapapun tidak bisa dilepaskan dari rahmat.
Baptis adalah tindakan untuk ambil bagian dari tata keselamatan Allah. Setelah mendengarkan khotbah Petrus paska Pantakosta, banyak orang bertanya kepadanya apa yang perlu diperbuat. Petrus menjawab untuk bertobat dan memberikan diri dibaptis (lih Kis 2:37-38). Memberikan diri itu memuat konsekuensi masuk ke dalam sengsara dan kebangkitan Tuhan (lih Mrk 10:38).
Lahir baru, itulah kenyataan baptis. Lahir baru tersebut tidak saja secara personal, namun dimasukkan pula ke dalam persekutuan dengan komunitas Gereja.
Karena itu, baptis karena mengandaikan adanya jawaban bebas dan tindakan kehendak serta akal budi, tidak memungkinkan kalau mereka yang sudah meninggal dibaptis. Kasusnya berbeda dengan baptis bayi. Bayi yang dibaptis, betapapun mereka belum sadar penuh. Sehingga, tindakan kehendak dan akal budinya belum memadai, untuk memberikan jawaban bebas, namun berangkat dari kehendak orangtua, untuk sedini mungkin mengantar anaknya ke dalam rahmat sakramental, terinkorporasi ke dalam Kristus dan Gereja. Orangtua dengan melakukan ini menyatakan tanggungjawabnya atas pendidikan iman anak. Orangtua pun perlu dipersiapkan sebelum penerimaan Sakramen Baptis putra-putrinya.
Mereka yang dipandang mengalami situasi terminal dalam hidupnya bisa dimungkinkan menerima baptis darurat. Tetapi, mereka yang sudah meninggal kita percayakan kepada Allah, yang dalam kerahiman-Nya bertindak menyelamatkan.
Seandainya sudah ada kehendak sebelumnya untuk dipermandikan, namun meninggal dunia sebelum sempat dipermandikan, kerinduan akan baptisan itu sendiri dilihat Allah. Keselamatan adalah milik Allah, baptis adalah sarana dan tanda, seperti pintu masuk ke dalam keselamatan tersebut. Namun, tidak berarti mereka yang tidak, atau belum, menerima pembaptisan, dijauhkan dari keselamatan. Tindakan penyelamatan Allah juga bekerja di luar itu. Betapapun demikian tidak berarti, pembaptisan tidak perlu bagi keselamatan.
Karena itu, mereka yang sudah meninggal, namun belum dibaptis, kita doakan dan percayakan kepada Allah, karena kita percaya, pintu keselamatan terbuka bagi siapapun yang melaksanakan kehendak Allah, mereka yang berkehendak baik, yang dalam ketulusan dan keterbukaan hatinya memandang kepada Allah.
Pastor T. Krispurwana Cahyadi, SJ Direktur Pusat Spiritualitas Girisonta
HIDUP NO.20, 17 Mei 2020