HIDUPKATOLIK.COM Perahu kehidupan umat manusia tengah diombang-ambingkan oleh badai ganas Covid-19. Paus Fransiskus terus mengingatkan, bahwa Kristus berada di perahu yang sama dengan kita.
“GRAZIE” yang berarti ucapan terima kasih dalam bahasa Italia masih berbekas di dalam hati seorang imam Fransiskan asal Indonesia. Pasalnya, ucapan singkat itu dilontarkan langsung oleh Paus Fransiskus saat ia menghadiri Perayaan 70 tahun Academia Alfonsiana pada tahun 2019 lalu.
Kampus ini dikelola oleh Tarekat Congregatio Sanctissimi Redemptoris (CSsR) atau yang dikenal dengan Tarekat Redemptoris dan masih berada dibawah Universitas Kepausan Lateran. Sebagai mahasiswa kampus tersebut, Romo Frumensius Gions, OFM diberi kesempatan mengikuti audiensi dengan Bapa Suci dan menyalaminya secara langsung.
Kesempatan itu pun dipersiapkan Romo Frumen dengan baik. Ia bahkan telah mempersiapkan sebuah kalimat ketika tiba saatnya bertatap muka langsung dengan pemimpin Katolik tertinggi sedunia itu. Namun, kalimat itu “ambyar” seketika saat Paus Fransiskus mengucapkan terima kasih, sambil tersenyum hangat dan menggenggamnya erat. “Keramahan Paus Fransiskus mirip dengan Paus Yohanes Paulus II, tetapi ia tidak hanya tersenyum, namun juga menyapa secara personal dengan mengucapkan ‘grazie’ tadi,” ungkapnya.
Jalan Solidaritas
Sikap membumi Paus Fransiskus itu semakin nampak kala pandemi Covid-19 bagi Romo Frumen. Imam yang tinggal bersama 140 Fransiskan dari berbagai negara di Komunitas Collegio San Antonio, Roma, Italia ini tetap rajin mengikuti perkembangan berita kepausan walaupun ketat melakukan aturan stare a casa ‘tinggal di rumah’. Ia memandang Paus Fransiskus sungguh hadir sebagai pribadi yang menunjukkan kekuatan iman dan pengharapan di masa pandemi.
Keputusan Bapa Suci mengajak semua orang berdoa bersama pada tanggal 27 Maret 2020 untuk memohon kekuatan Tuhan agar menghentikan wabah Covid-19 menyentuh hatinya. Betapa tidak, virus ini telah membuat banyak orang takut, tak berdaya, kehilangan orientasi, bahkan merasa Tuhan tak peduli. “Di tengah dunia yang gundah gulana, Paus Fransiskus mengajak agar kita tidak takut tetapi berpegang teguh pada iman akan Kristus yang ikut berlayar dalam perahu kehidupan ini. Tuhanlah sumber hidup kita,” ujarnya.
Kelahiran Kengos, 9 November 1978 ini juga menilik kepemimpinan Bapa Suci di masa krisis wabah. Ia mengutarakan, sebagai pelayan Gereja Universal, Paus tak pernah lelah mengajak semua orang, bersama-sama mengatasi wabah ini. Dikatakannya dalam suatu kesempatan, saat ini kita semua seperti sedang berada dalam “perahu” yang diterpa badai dahsyat. Baginya sebagai mahasiswa teologi moral, hal yang menarik dari Paus Fransiskus ketika ia menyatakan kesehatan itu, bukan melulu soal medis atau obat-obatan. Kesehatan juga berkaitan dengan mental dan sikap kita terhadap yang lain.
Ini sebabnya, di masa krisis seperti itu, Paus terus mengingatkan agar kita tetap berpegang teguh pada iman, memiliki pengharapan dan tidak usah takut berlebihan. Selalu disampaikannya agar kita menjauhkan diri dari menganut relativisme praktis.
Sejak keterpilihannya sebagai Paus pada tanggal 13 Maret 2013, ada tiga kata yang mewakili sosoknya bagi Romo Frumen. Tiga kata ini adalah sahaja, sukacita, serta ekologi dan ini membuatnya semakin menyerupai St. Fransiskus Asisi. Ia menuturkan, Paus Fransiskus bersahaja dalam kata dan tindakannya. Ia tidak pernah menggunakan kata yang sulit untuk menjelaskan ajaran Gereja, sebagai contoh Gereja harus berani kotor, terbuka menuju pinggiran untuk menunjukkan isi dari misi Gereja. Paus Fransiskus juga adalah pribadi yang gembira karena sukacita Injil. Lalu, perhatian Paus pada ekologi diartikulasikannya dalam Ensiklik Laudato Si’.
Kepedulian Rohani dan Moral
Anggota Dewan General Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Hati Tersuci Maria (SS.CC) yang bermarkas di Roma, Romo Thomas Sukotriraharjo, SS.CC turut merasakan kehadiran Paus Fransiskus bagi semua orang. Ia melihat kehadiran Bapa Suci dalam masa krisis adalah kepedulian rohani dan moral. “Tentu Beliau sangat sedih bahwa banyak Gereja tidak mengadakan perayaan Misa atau ibadat, namun berkat dialog dengan pemerintah Italia maka Gereja tetap dibuka bagi umat yang mau berdoa secara pribadi dengan tetap mengikuti ketentuan yang diwajibkan,“ tutur kelahiran Kebumen ini.
Romo Thomas mencermati, bagaimana Paus Fransiskus mendorong semua lembaga karitatif membantu orang-orang yang membutuhkan, seperti para gelandangan yang ada di Kota Roma. Pada tanggal 18 April lalu, saat Paus Fransiskus mengajak semua umat Katolik bergabung bersamanya dalam doa Rosario dengan ujud khusus bagi para dokter, perawat, dan relawan di garda depan. Bapa Suci juga berdoa bagi mereka yang sakit dan meninggal akibat terpapar virus ganas ini.
Bapa Suci mengajak semua orang dari rumpun agama dan kepercayaan mana pun untuk bersatu dalam doa. Ajakan ini merupakan tindakan yang didasarkan pada pemahaman, doa memiliki nilai universal. Selain itu, Bapa Paus juga mendorong umat beriman agar berdoa dan beraksi lewat lembaga karitatif Gereja supaya mampu menjangkau mereka yang paling membutuhkan di masa krisis. “Baru saja Paus mengajak semua umat beragama berdoa bersama pada tanggal 14 Mei nanti agar pandemi segera berakhir. Pandemi ini menyatukan umat manusia untuk bersolider dengan sesama dan Paus sebagai pemimpin Gereja, dalam situasi yang kritis ini hadir sebagai figur bapa yang ikut merasakan penderitaan umat manusia saat ini,” ungkap Pastor Thomas.
Felicia Permata Hanggu
GEMBALA YANG BLUSUKAN
KETIKA Paus Fransiskus masih menjadi seorang imam, ia senang menjelajah ke area sekitar paroki atau tempatnya ditugaskan. Pastor Jorge Mario Bergoglio, SJ selalu memulai harinya pada pukul 5.30 pagi dan memasak sarapannya sendiri. Ia pernah berujar kepada salah satu rekannya di seminari dulu, Hernan Paredes, bahwa semakin bertambah umurnya semakin ia dapat mengoneksikan hidupnya dengan Bunda Maria Bunda Kedukaan.
Maksud perkataannya adalah semakin lama ia berjalan di dunia dengan mata terbuka, semakin banyak penderitaan yang ia lihat dan hati nurani kian terbebani oleh penderitaan sesama manusia. Dari situ tumbuhlah kepekaan untuk bersatu dengan penuh kasih dalam solidaritas bersama. Ia belajar, bahwa realitas hanya mampu didapatkan secara utuh jika bersedia terjun dan berjalan bersama mereka yang menderita.
Pokok pemikirannya ini pun dibawanya kepada para seminaris yang ia bimbing pada waktu itu. Sebelum menjadi Uskup Agung Buenos Aires, ia mengajar sebagai dosen literatur, psikologi, filsafat, dan teologi. Pastor Bergoglio dengan keras mengatakan, bahwa kita harus berani mengatakan bahwa kita tidak mengetahui semua tentang dunia ini, maka kita harus dengan rendah hati terbuka untuk belajar dari mereka yang miskin. “Kamu harus belajar dulu dari orang lain sebelum bisa mengajarkan mereka sesuatu,” ujarnya kala itu.
Perkataan ini terus didengungkan karena Pastor Bergoglio mengetahui, para seminaris sudah memiliki bekal pengetahuan yang mumpuni, tetapi esensi memiliki hati gembala yang baik adalah dekat dengan mereka yang miskin. Untuk itu, ia meminta kepada para calon imam agar jangan hanya diam melihat penderitaan orang lain, melainkan keluar dan menemui mereka. Tidak akan pernah ada kepenuhan hidup hanya dengan menyaksikan penderitaan orang lain secara pasif.
Felicia Permata Hanggu
HIDUP NO.20, 17 Mei 2020