HIDUPKATOLIK.COM—MUSTIKA Aji Hertanto meninggalkan kesempatan bekerja di beberapa institusi top nasional dan internasional untuk mengabdi di pedalaman. Kisah lulusan The Ohio State University ini bermula saat Aji merasakan suatu kehampaan di dalam batin yang tak dapat ia jelaskan. Hidup nyaman lantas tak menjamin jiwanya bebas dari kegelisahan, sehingga ia pun kembali mengingat akan cita-citanya untuk menjadi seorang “global citizen”. Maksudnya dengan berada di suatu tempat, seseorang dapat memberikan pengaruh di tempat yang saat itu dipijak. Kemudian panggilan hati itupun membawanya untuk bertemu salah seorang imam Dominikan dari Keuskupan Agung Pontianak, Romo Johanes Robini Marianto, OP. Kisah ini ia bagikan dalam sesi Inspirasi HIDUP #3 di Instragam HIDUP @hidupkatolik selama satu jam.
Kedatangannya ke Pontianak merupakan jawaban ‘ya’ atas panggilan menjadi seorang dosen di salah satu lembaga pendidikan yang diambil alih oleh Keuskupan Agung Pontianak, STKIP Pamane Talino, Landak, Kalimantan Barat. Awalnya, Aji dihubungkan oleh salah satu rekannya yang mengajar Bahasa Indonesia di Harvard kepada Romo Robini. Setelah menjalin komunikasi cukup intens mengenai kemungkinan mengabdi di kampus yang sebagian besar mahasiswanya adalah orang dayak, ia mengaku tak teryakinkan pada mulanya. “Ya Aji, saya hanya bisa memberikan kamu gaji segini selama sebulan dan terserah keputusanmu. Ada banyak hal yang kamu temukan bahkan mungkin yang kamu cari di tempat ini,” ujar Aji mengingat perkataan Romo Robini kala itu. Dalam kesangsian, ia pun mengiyakan tawaran tersebut mengingat ia memiliki visi yang sama dengan sang imam, yakni peduli akan pembangunan manusia.
Guna mendukung karyanya di kampus yang sedang melakukan perombakan total itu, Aji yang seorang muslim akhirnya memutuskan tinggal di biara St. Dominikus pada bulan Juli 2019. Merasakan kehidupan “membiara” bersama para dominikan membuatnya menimba pengalaman baru, terutama saat memasuki masa puasa. Ia menuturkan pengalaman hidup sebagai minoritas ia alami dua kali, yakni ketika ia belajar di Amerika dan saat ia tinggal di biara. Pria yang kerap disapa ‘Jigol’ oleh sahabatnya ini mengisahkan, betapa hidup di biara membuka matanya akan arti keragaman. “Saya sangat bersyukur dan beruntung karena di sini saya dikelilingi pribadi yang suportif seperti Romo Robini dan Romo Andre,” ungkapnya. Meskipun hidup di tengah para imam, ia merasa didukung ketika harus menjalani masa puasa. Tak tangung-tanggung, diingatkan untuk sahur dan sholat, serta ditemani saat berbuka kerap ia jumpai di biara ini. “Luar biasa, seluruh aspek kehidupan saya sebagai umat muslim diingatkan para pastor,” tuturnya.
Pengalaman keberagaman ini meluaskan pemahamannya. Sempat terbersit dalam benaknya betapa indah orang dalam satu meja makan dapat melihat cara berdoa dengan caranya masing-masing. Ia berkata, “ Buat saya pribadi, saya berpikir kita perlu kaca pembesar untuk memotret hal kecil ini supaya bisa disebarkan ke semuanya bahwa hidup ini tidak sesempit yang kalian pikirkan.” Ia pun berharap kesempatan berinteraksi dengan Live Instgram ini dapat memberikan gambaran bagi sesama Muslim dan Katolik apalagi dengan tendensius kelompok dan golongan yang lumayan menyita perhatian dewasa ini. “Dengan ini kita bisa memberikan perspektif lain klo kita ini kayak gini loh, sangat indah,” celotehnya.
Dalam perjalanannya yang berawal di bulan Februari 2019, Aji kemudian beralih menjadi Asisten Ketua Yayasan Landak Bersatu yang dipimpin oleh Romo Robini sekaligus dosen STKIP Pamane Talino. Banyak lika-liku kehidupan yang ia temui dalam perjalanan membangun kampus tersebut. Kerja kerasnya bersama tim terbayar sudah ketika mereka mendapatkan kepercayaan dari banyak pihak sehingga bisa memiliki gedung kampus baru dengan modal Rp0,-. Kampus ini juga bercita-cita untuk berubah menjadi universitas dan menambah jurusan tahun depan. Dahulu, para pendaftar kampus hanya ada enam orang, namun sekarang telah berkembang menjadi sekitar 1400 pendaftar dengan mahasiswa aktif sekitar 500 mahasiswa. Perlu diketahui,80% mahasiswa di kampus ini mengikuti program beasiswa karena datang dari keluarga tak mampu, tetapi merindukan untuk mencecap pendidikan berkualitas. “Sungguh, banyak keajaiban yang saya lihat dalam proses ini,” ucapnya penuh syukur.
Meskipun sederhana jauh dari ingar-bingar perkotaan, Aji mampu menemukan kerinduan hatinya di pelosok. Ia semakin merasa menjadi pribadi yang bermanfaat bagi banyak orang. Dari hal kecil itulah ia belajar memberikan dirinya dengan total. Ketika ditanya oleh seorang pendengar apa keuntungan yang dicecap, Aji dengan tegas berkata untuk mengubah pola pikir. Keuntungan bukan semata soal finansial, tetapi bisa berbicara soal ketenangan hati dan menyaksikan keajaiban yang dikerjakan Tuhan. “Setiap pilihan hidup mengandung risiko. Namun perlu diingat, jangan berorientasi pada keuntungan dulu, tapi coba pikirkan apa yang bisa kita berikan dan pasti Tuhan akan memberikan jalannya sendiri untuk mencukupkan kebutuhan kita,” ungkapya. mengakhiri sesi, Aji pun memberikan pertanyaan reflektif kepada pendengar melihat masih banyak orang yang rajin beribadah namun sikapnya jauh dari ajaran yang diimani, “Coba direnungkan, ibadah itu panggilan hati atau kebiasaan?.”
Felicia Permata Hanggu