HIDUPKATOLIK.com – Simpul kebersamaan mereka sudah terjalin sejak di bangku kuliah. Saat ulang tahun pernikahan, kedua dosen ini dikukuhkan sebagai Guru Besar secara bersamaan.
Pasangan suami-istri (pasutri) Mardonius Supriyanto dan Agnes Murdiati adalah sama-sama
pengajar di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (FTP UGM), Yogyakarta. Keduanya dikukuhkan berbarengan sebagai Guru Besar UGM.
Prosesi itu berlangsung bertepatan dengan peringatan ulang tahun ke-41 pernikahan mereka pada 26 November 2019. Agnes mengakui, kedua peristiwa bersamaan itu sempat viral di UGM. “Waktu pengukuhan di Balai Senat UGM, kami tidak menyingung soal peringatan ultah perkawinan kami. Baru di fakultas, saat syukuran, saya bilang. Kami siapkan tumpeng untuk dipotong di hari peringatan ultah perkawinan kami
itu,” tutur Agnes, saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis, 19/12.
Paket Cobaan
Pasutri sepuh yang kini menjabat sebagai guru besar FTP UGM itu mengenang masa-masa indah ketika masih mahasiswa. Agnes, kenang sang suami, merupakan adik angkatannya di FTP. “Kebersamaan kami dimulai sejak mahasiswa. Kami jadi lebih akrab karena sering belajar bersama,” kenang Pri, sapaanya.
Kondisi ekonomi orangtua mereka yang pas-pasan, mendorong Pri maupun Agnes untuk belajar lebih giat. Tujuan mereka hanya satu, lekas merampungkan kuliah. Mereka cukup beruntung sebab mendapat beasiswa. Itu juga yang memacu mereka untuk segera meraih titel sarjana.
Lagi-lagi dua sejoli itu beruntung. Saat kampus membuka lowongan sebagai asisten dosen, Pri dan Agnes langsung mendaftar. Mereka berdua diterima. Setelah itu, mereka mengikat simpul asmara mereka di depan altar Tuhan.
Agnes masih ingat. Mereka menikah pada 26 Nopember 1978 di Gereja St Perawan Maria Regina Purbowardayan, Keuskupan Agung Semarang, Solo. “Waktu itu yang menikahkan Romo Martoyo,” sebut Agnes.
Setahun setelah menikah, pasangan muda ini dikaruniai anak perempuan. Nama putri sulung mereka adalah Rita Kusuma Damayanti. Kini, ia menjadi dokter di RS Panti Rapih, Yogyakarta. Tiga tahun kemudian menyusul lahir anak kedua, juga perempuan, Zita Kusuma Ariyanti. Anak “tengah” ini sekarang menjadi pimpinan cabang Klinik Kecantikan London Beauty Centre, Yogyakarta.
Pri dan Agnes ingin mendapat momongan kembali. Kali ini mereka berharap mendapat seorang anak laki-laki. “Kami ingin punya anak lagi, tapi laki-laki. Selain konsultasi ke dokter, kami juga mohon kepada Tuhan, lewat perantara Bunda Maria. Kami berdua berdoa ke Gua Maria Sendangsono, dan tempat peziarahan lain,” kenang Agnes kala itu.
Meski tak muda lagi, hasrat Agnes punya anak laki-laki akhirnya terkabul. Akan tetapi, kondisi anak yang dilahirkan terakhir dari rahimnya itu ada kelainan. “Bayi laki-laki saya lahir cacat. Ada syaraf di atas anus anak saya yang tidak aktif. Sehingga harus dioperasi lewat dikolostomi, operasi pembuatan lubang perut untuk buang feses,” tutur Agnes, sedih.
Agnes mencari informasi tentang biaya tindakan tersebut. Biaya yang mereka butuhkan untuk operasi dikolostomi saat itu sebesar Rp 2,5 juta. “Padahal kami ndak punya uang, gaji saya saat itu tidak sampai Rp 50 ribu,” ucap Agnes bingung.
Meski berat mendengar biaya kebutuhan tersebut, Agnes tetap yakin Tuhan bakal menolong mereka. Katanya, kalau Tuhan memberi “paket” cobaan seperti itu, maka berarti dirinya harus berjuang untuk menyelatkan nyawa si bungsu, Otho Adiyanto Suryo Kusumo. “Usus anak laki-laki kami dikeluarkan dan dipotong 20 senti oleh dokter. Nanti, baru satu tahun ususnya dimasukkan lagi ke
perut,” ungkapnya, perih.
Digondol Maling
Baru sebulan operasi, timbul masalah pada usus putranya. Itu harus dioperasi lagi. Selama satu tahun di luar perut, usus anak Pri dan Agnes berada di dalam plastik. “Waktu itu harga plastiknya saja Rp 3 ribu. Kami terpaksa buat sendiri. Usus di luar perut itu saya balut pakai
isolasi. Puji Tuhan, sekarang sudah normal kembali. Anak laki-laki saya sudah berumah tangga dan punya satu anak,” ucap Agnes, bersyukur.
Sebelumnya, pasangan dosen muda ini juga pernah mengalami kemalangan. Setelah menjadi calon pegawai UGM, yayasan di fakultasnya memberi kesempatan untuk mereka meminjam uang.
Pasutri ini pun memanfaatkan tawaran pinjaman dana itu untuk membeli motor. Nahas, belum lama kendaraan itu mereka pakai, sudah raib digondol maling. “Padahal untuk beli motor itu kami harus
mengangsur pinjaman selama dua tahun. Untungnya, kemudian saya dibantu orangtua untuk beli lagi kendaraan, walau bekas ,” kenang Pri.
Setelah menikah, Pri dan Agnes masih harus tinggal dari satu kontrakan ke pondokan yang lain. Sebab, mereka belum mampu membeli rumah. “Kami sempat ngontrak di kawasan Sagan, selatan RS Panti Rapih selama satu tahun. Kemudian mondok di Deresan selama tiga tahun, sebelum akhirnya pada 1982 ambil kredit pemilikan rumah (KPR) di Perum. Sidoarum, Godean,” tutur Agnes.
Banyak suka-duka dialami pasangan Pri-Agnes, baik selama kontrak rumah yang belum berlistrik dan harus pakai sentir atau penerangan dengan lampu kecil berbahan bakar minyak. Tatkala minim penerangan pakai sentir di rumah kontrakan, keluarga muda ini di kontrakan lain mencoba untuk mengganti penerangan itu dengan lampu neon dengan sumber daya accu. “Dua hari, accu daya-nya sudah habis dan harus dicharge ulang di kantor. Sekali waktu ketika bawa accu pulang, di perjalanan naik motor tergoncang-goncang. Air
accunya mengenai baju dan setelah dicuci, baru tahu kalau baju saya bolong-bolong,” kenang Pri, terkekeh.
Agnes mengaku menjadi Katolik ketika SMP. “Kakak saya ada yang Katolik. Sepertinya jadi Katolik enak, ke gereja pakai baju bagus-bagus. Akhirnya saya masuk jadi Katolik,” kata Agnes yang menjabat sebagai anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan DIY. “Kalau Pak Pri jadi Katolik, setelah dewasa ketika akan menikahi saya,” tutur perempuan kelahiran Jakarta, 10 Agustus l952.
Sebelum Pensiun
Perjuangan Pri untuk memperoleh jabatan Guru Besar butuh penantian panjang. Ia mengajukan proses pengurusan jenjang kepangkatan dosen
untuk menjadi guru besar sudah sejak 2012, namun Surat Keputusan (SK) Guru Besar Pri baru turun pada 2015. “Dua hari sebelum saya pensiun di UGM, SK Guru Besar saya baru turun. Kalau turunnya SK Guru Besar terlambat dua hari saja
datangnya, saya sudah sulit jadi Guru Besar”.
Soal itu, Pri sempat bertanya-tanya pada diri sendiri; apakah dirinya pantas menjadi Guru Besar? “Saya sempat doa Novena juga, tapi pada 26 Desember 2015 SK Guru Besar saya akhirnya turun. Tuhan kalau menolong memang tidak pernah terlambat atau terlalu cepat, tapi tepat pada waktunya,” pungkas Pri, bersyukur.
H. Bambang S
HIDUP NO.03 2020, 19 Januari 2020