HIDUPKATOLIK.COM GEREJA kita senantiasa menekankan agar dijalin dialog dengan agama lain. Bagaimana konsep dialog yang diinginkan oleh Gereja? Dalam tataran mana dialog dapat terjadi, Pastor?
Tommy, Pematangsiantar
TOMMY yang baik, benar sekali bahwa Gereja Katolik menekankan dialog dengan agama lain. Dialog menunjuk pada aktifitas perjumpaan dengan agama-agama lain, di mana terjadi kesempatan berbicara, mendengarkan, memberi dan menerima, bertumbuh bersama dan saling meneguhkan dan memperkaya pengalaman iman masing-masing. Dalam perjumpaan dialogis itu Gereja Katolik, bersama atau secara pribadi, dapat memberi kesaksian imannya sekaligus belajar dari pengalaman beragama saudara-saudara yang lain.
Apa dasarnya? Tak lain karena Allah sendiri juga dialogis dalam menyampaikan wahyu keselamatan-Nya. Dialog merupakan hal mendasar bagi Gereja, yang dipanggil untuk berkolaborasi dalam rencana Allah dengan metode kehadiran, rasa hormat, dan kasihnya terhadap semua orang (lih. Ad Gentes, 10-12; Ecclesiam Suam, 41-42; Redemptor Hominis, 11- 12). Semua manusia mempunyai kerinduan hati akan kebenaran. Allah menanggapi kerinduan ini dengan dialog, melalui sabda-Nya, melalui para nabi, dan akhirnya melalui Kristus, Sabda yang menjadi manusia. Pemahaman manusia akan kebenaran bisa keliru atau sesat karena itu manusia membutuhkan rahmat Allah untuk memperolehnya.
Dialog merupakan sikap solidaritas kita sebagai umat Allah dalam perjalanan kita mencari Allah. Sebagai ciptaan kita ini sederajat, tidak lebih tinggi dan lebih rendah. Tetapi dalam pencarian kebenaran, kita perlu saling membantu. Orang bukan Katolik juga ada dalam perjalanan mencari kebenaran Allah atau Yang Absolut. Tak jarang, pencarian dan penemuan mereka melahirkan juga peri kehidupan yang sangat baik. Sikap Gereja tidak menolak apapun, dalam agama-agama itu yang serba benar dan suci. Tak jarang, kaidah-kaidah, cara bertindak, dan cara hidup itu memantulkan sinar kebenaran yang menerangi semua orang (Nostra Aetate No. 2).
Dialog menuntun kita untuk memperdalam kebenaran iman masing-masing. Seperti kata Paus Benediktus XVI: Dialog hendaknya tidak berhenti pada “mengidentifikasi seperangkat nilai-nilai umum, tetapi lanjut untuk menyelidiki fondasi utama mereka, yaitu kebenaran yang “mengungkap … Hubungan penting antara dunia dan Allah” (lih. PCID, Dialog in Truth. Pastoral Orientation for Interreligious Dialog, 14). Karena itu dialog tidak sama dengan menyamaratakan iman kita pada Yesus, sebagai satu-satunya penyelamat, melainkan menjadi jalan membagikan keyakinan iman kita, sekaligus kesempatan diperkaya oleh terang kebenaran dari saudara seperjalanan itu. Dengan sharing timbal balik ini, kita akan bekerja sama dengan semua orang untuk membangun dunia yang lebih baik.
Gereja Katolik (PCID. Dialogue and Proclamation tahun 1991) membedakan empat bentuk dialog: Pertama, dialog kehidupan yang dilakukan dengan hidup bertetangga dalam semangat terbuka, saling berbagi suka duka dan saling membantu. Kedua, dialog aksi, di mana orang Kristen bekerja sama dengan yang lain untuk mengembangkan dunia dan pembebasan manusia, misalnya dalam menjaga lingkungan, pengentasan kaum miskin, pendidikan dan pelbagai aspek lainnya. Ketiga, dialog pertukaran teologis, di mana para ahli memperdalam pemahaman mereka terhadap warisan agama lain, dan untuk saling menghargai nilai-nilai agama lain. Keempat, dialog pengalaman religius, di mana setiap orang, berakar dari pengalaman tradisi keagamaan mereka, membagikan kekayaan spiritual mereka, misalnya berkaitan dengan pengalaman doa dan kontemplasi, iman dan cara mereka mencari Allah atau Yang Absolut. Semua anggota Gereja berhak dan bertanggung jawab untuk terlibat sesuai dengan peran masing-masing.
Pastor Gregorius Hertanto, MSC Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Sulawesi Utara
HIDUP NO.19, 10 Mei 2020