HIDUPKATOLIK.COM “DI sini ada sekitar dua puluhan suster. Mereka selama ini hanya mengandalkan ‘pendapatan’ dari pembelian hosti dan lilin, serta orang-orang yang datang rekoleksi, retret, atau kegiatan lain. Dengan tidak adanya Misa di gereja, otomatis tidak ada yang memesan hosti dan lilin. Begitu juga dengan peserta rekoleksi, retret, atau aktivitas kantor lainnya. Aktivitas lumpuh total. Ke depan, para suster tidak tau harus berbuat apa agar operasional dan biaya hidup mereka tercukupi saban hari.”
Demikian kurang lebih percakapan awak redaksi ini dengan seorang frater yang memberitahukan situasi terkini, Selasa, 7 April 2020 di Biara Kontemplatif Klaris OSCCap di Sikeben, Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Menurut frater tersebut, para suster kini hanya berharap pada kemurahan hati orang-orang yang telah mendengar informasi ini. Baru saja, kata frater, ada keluarga yang datang mengantar sekian kilogram beras dan sayur-sayuran dari Brastagi.
Biara para suster yang mengkhususkan diri untuk berdoa, bertapa, dan bekerja di dalam biara ini, barangkali hanya salah satu dari biara Katolik yang mengalami dampak langsung dari karantina (bekerja dan dan beribadah) di rumah, yang diberlakukan di Indonesia saat ini. Bahwasanya ke depan, dampak ini akan makin dirasakan, tidak hanya oleh biara seperti di Sikeben, tapi juga oleh institusi-institusi Gerejani lain. Begitu juga dengan para karyawan lepas, yang tak memiliki pilihan lain, yang bekerja hanya mengandalkan kemurahan orang lain.
Hari-hari menjelang Paskah 2020 ini, kita menyaksikan mulai munculnya gerakan-gerakan aksi-aksi sosial belarasa yang ditunjukan pelbagai kalangan, termasuk tarekat-tareket. Ada yang membagikan makanan gratis kepada para pekerja harian, tukang becak, supir angkutan umum kota dan antar propinsi, ojek online, dan lain sebagainya. Ada pula yang memberikan sembako, masker, dan lain-lain. Harapannya, bahwa aksi belarasa ini akan terus berjalan di hari-hari yang akan datang, hingga pandemi virus korona ini benar-benar bersih dari bumi Nusantara dan dunia.
Supaya gerakan belarasa ini dapat berkesinambungan, diperlukan semacam koordinasi di antara hierarki Gereja dan para pimpinan organisasi kemasyarakatan, lembaga lain yang ada linkungan Gereja. Menyusun semacam strategi dan langkah bersama bagaimana menghadapi situasi, yang belum bisa dipastikan kapan berakhirnya ini. Tentu saja bukan hanya memikirkan, atau memberi prioritas kepada umat Katolik saja, tetapi juga upaya-upaya yang bisa dijalankan bersama dengan tokoh agama atau pimpinan ormas beragama lain, dalam memberikan bantuan bagi setiap warga, khususnya masyarakat yang sungguh-sungguh kehilangan mata pencaharian.
Kita bersyukur, pemerintah sudah punya rencana tersendiri bagi warga yang terdaftar di RT/RW sebagai warga prasejahtra (punya kartu/tercatat). Tapi, masih banyak warga yang sama sekali belum tercatat di RT/RW, dusun, atau kampung. Siapa yang akan memperhatikan mereka? Maka, sembari mendata dan memberi bantuan darurat kepada umat internal seperti di Sikeben, saatnya Gereja Indonesia menunjukkan darma baktinya bagi bangsa dan negara ini kendati Gereja juga berkekurangan.
HIDUP NO.16, 19 April 2020