HIDUPKATOLIK.COM – AKHZA masih mengenakan selubungnya yang berkelir pekat. Mentari masih lelap. Sama seperti kebanyakan penghuni bumi ini. Namun, di sebuah rumah, di wilayah Pademangan, Jakarta Utara, beberapa orang sudah terjaga. Mereka secara estafet memasukan nasi, sayur, serta lauk ke dalam kertas nasi. Subuh itu, sudah tersaji 50 nasi bungkus beserta buah dan air mineral.
Sekitar pukul empat pagi, beberapa orang tadi meninggalkan kediaman. Mereka membawa serta nasi bungkus beserta “kawan-kawannya”. Di salah satu ruas jalan, di depan bangunan berolling door abu-abu, makanan itu mereka sajikan. Tak jauh dari meja saji itu, mereka meletakan air galon dan sabun cair. Di sana ada beberapa carik kertas yang bertuliskan agar warga untuk antri, menjaga jarak, dan mencuci tangan sebelum mengambil makanan.
Menurut relawan Komunitas Sego Mubeng Pandengan, MVG Setiawati, di tengah pandemik Covid-19, ia bersama rekan-rekannya tak hanya memberikan sarapan kepada para pekerja informal Pademangan -seperti yang mereka lakukan saban Sabtu subuh. Mereka juga mengedukasi masyarakat untuk mencuci tangan sebelum makan, menjaga jarak, dan kontak fisik dengan orang lain. “Krisis dan pandemik (Covid-19) seperti ini, (karya kemanusiaan) kita nggak boleh stop, tapi bermutasi,” ujar inisiator gerakan Sego Mubeng Pademangan, ketika dihubungi lewat WhatsApp, Selasa, 14/4/2020.
Beradaptasi, Mawa Diri
Tia, demikian panggilan MVG Setiawati, tak menampik, melakukan karya kemanusiaan di tengah pandemik seperti sekarang amat berisiko. Sempat ada rasa takut yang bercokol dalam batinnya. Tapi, justru perasaan itu yang membuatnya selalu sadar dan waspada untuk senantiasa menjaga kesehatan diri dan orang-orang di sekitarnya. Hal itulah yang membuat ia dan komunitas Sego Mubeng Pademangan terus berkarya bagi sesama hingga kini.
Sejak Covid-19 melanda Indonesia, aku Tia, berdampak pada aktivitas komunitasnya. Sebelum virus jahanam itu masuk ke negeri ini, mereka bisa menyiapkan dan membagikan 160 bungkus nasi kepada para pekerja informal. Namun, saat ini, mereka baru mampu memberikan 50 nasi bungkus.
Gegara Corona juga, komunitas ini tak bisa keliling Pademangan untuk membagikan nasi bungkus (sesuai nama komunitas ini, sego mubeng, dari bahasa Jawa yang secara harafiah berarti berkeliling membagikan nasi) kepada tukang becak, pengangkut sampah, petugas keamanan, dan lain-lain.
Kendati demikian, lanjut katekis Paroki St Alfonsus Rodriques Pademangan, Keuskupan Agung Jakarta, virus tersebut tak menghentikan semangat anggota komunitas Sego Mubeng Pademangan untuk melakukan gerak kemanusiaan. Beradaptasi dengan situasi, sembari mawas diri adalah kunci komunitas ini mengambil peran untuk meringankan kesulitan sesama yang amat membutuhkan. Sambil mengedukasi mereka untuk menekan penyebaran Covid-19 .
Inspirasi Yogyakarta
Komunitas Sego Mubeng Pademangan baru berusia setahun lebih. Tia mengenang, komunitas ini terbentuk berkat inspirasi yang dialaminya ketika berada di Yogyakarta. Saat itu, ketika bekerja di “Kota Gudeg”, Tia bertemu dengan temannya, Pastor Macarius Maharsono Probho SJ.
Romo Mahar, sapaannya, adalah Kepala Paroki St Antonius Kota Baru, Keuskupan Agung Semarang, dan mantan misionaris Thailand. Ia seperempat abad berkarya di “Negeri Gajah Putih”.
“Tiap kali kami ketemu, (Romo Mahar) selalu meng-up date karya masing-masing. Dari situ, saya tahu Romo Mahar sejak bertugas di sana (Kota Baru) selalu ada gerakan-gerakan baru yang membawa perubahan bagi umatnya. Sedangkan aku sendiri, selalu hanya bicara akan, mau, tanpa pernah terealisasi,” ungkap Tia.
Salah satu yang dibuat Romo Mahar bersama umatnya adalah sega mubeng. Gerakan yang berlangsung tiap Sabtu subuh itu lahir atas keprihatinan karena makanan di pastoran kadang lebih banyak, meski sudah diberikan kepada karyawan paroki namun masih banyak yang tersisa.
“Romo Mahar suka berkeliling, bertemu, dan ngobrol sama orang di sana, seperti tukang becak, tukang sapu jalanan, dan lain-lain. Dari perjumpaan itu, Romo Mahar mengetahui banyak dari mereka yang tidur malam sambil menahan lapar karena penghasilan mereka tak cukup untuk membeli makanan dua kali sehari,” lanjut perempuan kelahiran Jakarta itu.
Dari pengalaman tersebut, mula-mula Romo Mahar mengajak dua hingga tiga umatnya untuk memberi makanan kepada orang-orang yang berkekurangan. Mereka berkeliling dan membagi-bagikan makanan itu tiap subuh. Sebab, pada jam itu sudah ada orang yang bekerja. Dan banyak dari mereka yang belum sarapan karena tak mampu membeli makanan.
Seiring waktu gerakan ini berkembang. Dari yang awal berjumlah tak lebih dari tiga orang kini ada puluhan relawan ikut sega mubeng. Romo Mahar akan mengajak para relawan untuk berefleksi dan sarapan bersama setiap kali usai mubengan.
“Di sesi refleksi itulah, saya merasakan bahwa pekerjaan yang terlihat sederhana (berbagi nasi bungkus), ternyata prosesnya panjang, penuh pengorbanan, namun para relawan bersukacita melakukannya. Dari situ juga saya merasakan, pekerjaan dari Allah, mampu dilakukan oleh siapapu, dalam bentuk apa saja, sesuai kemampuan masing-masing,” ujar Tia, merefleksikan pengalaman mubeng bersama komunitas Sega Mubeng Yogyakarta.
Copy Paste
Kembali dari Yogyakarta, Tia meng-copy paste kegiatan serupa di parokinya. Ia mengajak dua teman untuk membagikan makanan. Sementara untuk memasak makanan, Tia meminta bantuan kepada ibundanya. Gerakan perdana mereka dimulai dengan 25 nasi bungkus.
“Pukul tiga nasi bungkus sudah siap. Pukul empat, saya keliling naik sepeda, cari sasaran. Masih sepi banget, tapi ada tukang pengangkut sampah yang sudah berkeliling,” cerita Tia.
Saat ini, komunitas Sego Mubeng Pademangan memiliki 25 relawan. Setiap Sabtu subuh mereka memasak, membungkus makanan, dan berkeliling untuk membagikan nasi bungkus kepada yang amat membutuhkan. Hujan, dingin, dan bahkan di tengah pandemik seperti sekarang, mereka berani meninggalkan kenyamanan, dan terus membagikan nasi bungkus.
“Saya begitu tersentuh dengan para sasaran (yang dibagikan nasi bungkus). Kami yang salama ini hanya tahu kisah mereka dari orang lain, kini dapat bersentuhan langsung, mendengar cerita mereka, dan justru memotivasi kami untuk bangun serta berkarya tiap Sabtu,”
Tia tak menyangka, lewat sebungkus nasi yang mereka bagikan kepada setiap orang, ternyata justru mendulang banyak kisah dan motivasi untuk perkembangan diri mereka.
Yanuari Marwanto