HIDUPKATOLIK.com – Sesosok gadis ayu berambut sebahu menarik minatku. Dia tampak berbeda dibanding puluhan remaja yang berkumpul di pinggir Pantai Playen Gunung Kidul. Dia bercelana jins biru berpadu dengan kaos oblong putih dengan tulisan Ohio State University. Aku tahu, dia bukan asli penduduk sini. Dia mengumpulkan sekelompok remaja sepanjang sore hari. Ada tas besar yang dia bawa. Isinya belasan kaos olah raga dan dibagi kepada para remaja itu. Dia memimpin diskusi. Tidak terdengar jelas olehku isi diskusi itu.
Matahari mulai hilang dari layar edarnya. Diskusi kelar dan para remaja meninggalkan pantai. Dia
membereskan berbagai perkakas yang dibawa. Aku beranjak dari tempat berdiri. Melangkahkan kaki, membelakangi dirinya yang masih suntuk membereskan aneka perkakas.
“Calvin Klein, Eternity,” aku berkata tidak terlampau keras. Namun cukup untuk didengarnya. Sejenak
dia menghentikan aktivitasnya. Membalikkan tubuh, menatap ke arahku.
“Calvin Klein memang jenius. Parfum Eternity-nya tetap wangi abadi meskipun seharian dipakai,”
kulanjutkan omonganku.
“Maaf,” dia membuka bibir,” Aku selesaikan dulu barang-barangku.” Dia kemudian melanjutkan mengepak barang-barang. Memasukkan ke bagasi
mobilnya. Kemudian mendatangiku, “Kau sejenius Calvin Klien. Hanya selintas langsung tahu parfum yang aku pakai.”
Aku tertawa kecil, ”Aku hanya tahu dua bau parfum keluaran Calvin Klein, Euphoria dan Eternity.”
“Dua parfum kesukaan pasanganmu?” dia bertutur sekenanya.
“Apakah sosok seperti aku sudah punya pasangan?” kujawab juga sekenanya. Dia kemudian mengamati penampilanku. Sepatu Nike Air Jordan keluaran terbaru. Levi’s 501 yang masih terang warnanya. Berakhir pada kaos kerah merah dengan gambar buaya bertulis Lacoste.
“Kau memang belum punya pasangan resmi. Tapi hobimu berganti-ganti pasangan.”
Meledaklah tawaku. “Analisismu akurat, kawan!” Kutatap wajahnya, “Kalau boleh tahu, siapa namamu? Aku, Abiyasa. Cukup dipanggil Abi.”
“Anastasia Dewi. Disapa Dewi. Dan, mengapa kau sejak kemarin mengawasi diriku? Sosokmu tetap terlihat dari balik pohon besar itu.”
“Dalam sebulan ini sudah enam kali aku datang ke sini. Ketika kau mengumpulkan anak-anak muda
kampung ini, menjadi wajib bagiku untuk tahu siapa dirimu. Kaos yang kau pakai apakah menunjukkan kau alumni dari sana?”
“Aku sedang mengambil S2 sosial politik dengan spesialisasi pemberdayaan masyarakat lokal di Ohio State University. Datang ke sini untuk meneliti ekonomi masyarat lokal. Kau sendiri?”
“Master Keuangan aku ambil di Boston University. Lulus lalu bekerja di perusahaan IT di Seatle. Lantas pindah ke perusahaan investasi global. Dua tahun berkarya di Budapest. Satu setengah tahun di New Delhi. Setahun ini pulang kampung, ada di
Indonesia.”
“Perusahaan investasi global? Dan sudah enam kali datang ke sini? Apakah kau diutus oleh perusahaan untuk melakukan survei di kawasan pantai wilayah ini?” Dewi menyelidik.
“Ya begitulah,” kujawab pendek.
“Artinya, aku akan melawan dirimu!” tiba-tiba wajah Dewi berubah garang.
“Aku memang diutus oleh perusahaan untuk melakukan survei di sini. Selanjutnya membuat rencana bisnis yang akan ditawarkan ke investor.
Perusahaanku sebagai payungnya. Dan kau justru bertambah ayu dengan wajah garangmu.” Kucandai dia. Dewi memukul pelan lenganku.
“Berapa investasi yang akan dibenamkan?”
“Resort dengan lima puluh kamar. Taman bermain dengan fasilitas kolam renang kelas olimpiade. Perlu duit tiga ratus milyar rupiah.”
Dewi lekat melumat wajahku, “Kamu berbahaya, Abi. Duit sebesar itu hanya memiliki satu prinsip, kembali modal secepatnya. Aku paham cara kerja
perusahaan investasi. Seakan-akan memberdayakan penduduk lokal. Padahal tak lebih menjadikan mereka buruh di tanah yang dulu miliknya. Seolah-olah memberi kontribusi pada
pemerintah lokal, padahal sejatinya pemerintah lokal hanya mendapat remah-remahnya saja,” sejenak Dewi menghentikan argumennya. Kembali
menatapku “Kita akan berkelahi, saudaraku. Kau bersama investor-investor itu. Aku akan berdiri kokoh dengan masyarakat lokal.”
Wow, Anastasia Dewi! Pemilik wajah ayu dengan parfum eternity. Siap berkelahi melawan diriku. Sebuah petualangan yang menarik bagiku.
“Ya..ya…kita akan berkelahi,” kujawab sekenanya. “Sebelum berkelahi, boleh aku menumpang mobilmu turun ke Yogya? Aku menginap di Ambarukmo Hotel.” Dan Dewi membuka diri untuk
memberi tumpangan padaku.
II
Hotel Marriott Columbus University menyambut pagi. Moda Restaurant and Bar di samping Hotel Marriott Columbus tempat aku sarapan pagi ini.
Tepat duduk didepanku. Pemilik wajah ayu dengan parfum eternity. Ia bernama Anastasia Dewi. Aku kenal pertama satu setengah tahun lalu di pantai
Playen Gunung Kidul. Kenalan pertama di mana ia langsung mengajakku berkelahi. Perkelahian yang ternyata berbuntut panjang. Apalagi aku menggunakan rumus sepakbola Inggris; pertahanan terbaik itu menyerang. Terus kuserang Dewi. Akhirnya ia tidak tahan dengan seranganku. Delapan bulan lalu kupacari dia.
Jam menuju ke angka sembilan pagi. Kami beranjak dari Hotel Marriott Columbus. Menelusuri sungai Olentangy yang membelah kawasan universitas. Kugenggam erat tangan halus Dewi. Tangan lembut yang teramat ringan untuk menolong kaum pinggiran dan orang-orang kalah. Berbeda dengan tanganku. Tangan kekar yang terlampau berbau kapitalis dengan orientasi investasi dan keuntungan. Dua tangan bergandengan yang berbeda tujuan. Namun dipersatukan oleh gairah yang hanya dimiliki manusia; cinta.
Hari ini Dewi lulus master di Ohio State University. Tesis masternya mendapat pujian tinggi dari Profesor William Liddle, maha guru Ohio State
University yang melahirkan intelektual-intelektual politik garda depan Indonesia. Untuk merayakan wisuda, Dewi mengajak diriku. Katanya sebagai
tanggungjawab intelektual lantaran pada halaman persembahan tesisnya tercantum namaku, Raphael Abiyasa.
III
Sisa-sisa musim dingin di sore hari menemani langkah kakiku keluar dari lobby Intercontinental Le Grand Hotel di Kota Bordeaux, Prancis. Salju
berserakan memenuhi sepenggal jalan penanda sebuah kota, Allees de Tourny. Langkah kaki berlanjut, menelusuri jalan kecil untuk kemudian
bertemu dengan ikon kota ini, Katedral Santo Andreas. Ada rel kereta, tepat di sisi kanan Katedral. Sejenak aku berjalan merapat di samping rel kereta. Kemudian berpisah. Rel berbelok ke arah kanan meninggalkan kota, aku lurus seratus lima puluh meter jauhnya. Di ujung ada toko bunga. Aku beli seikat bunga mawar merah.
Rabu Abu, empat puluh hari menjelang Paskah. Kumasuki Katedral Santo Andreas. Pada deretan kursi depan sisi sebelah kanan, ada satu kursi kosong yang memang disediakan untukku. Aku duduki kursi kosong itu. Tepat di sampingku ada gadis ayu bernama Anastasia Dewi. Berdua kami mengikuti Misa Rabu Abu di katedral penanda
sebuah kota. Salam damai, kucium pipi ranumnya. Dewi diam, tanpa reaksi. Matanya tajam menatap altar.
Selesai Misa, kugandeng erat tangan Dewi. Berjalan menuju halaman Katedral. Malam merambat. Lampu-lampu nan artistik menghias Katedral. Bunyi lonceng terdengar.
“Aku harus segera masuk Katedral, Abi. Lonceng berbunyi penanda waktuku habis,” Dewi menatap
wajahku. Ada gumpalan air mampir di matanya. Menetes dan sebelum jatuh menimpa pipi sudah aku hapus dengan sapu tanganku.
“Ini memang pilihan terbaikmu, Dewi. Panggilanmu memang berkarya untuk orang-orang miskin.
Panggilanmu semakin lengkap ketika Tuhan menghendakimu hidup di biara.” Gantian air mata tumpah dari mataku. Kupeluk erat tubuhnya. Seikat mawar merah berpindah dari tanganku ke
dalam genggaman tangan Dewi.
Dewi membalikkan badan. Melangkah masuk kembali ke Katedral Santo Andreas. Di dalam Katedral ada dua puluh tiga biarawati. Kelak akan
bertambah satu biarawati. Biarawati itu, Anastasia Dewi. Malam ini bersama para biarawati lainnya, Dewi akan meluncur ke pinggiran Kota Bordeaux.
Biara Suster Puteri Kasih, di sana Dewi akan melakoni takdirnya. Menjadi suster untuk melayani orang-orang kalah. Tersisih.
A.M. Lilik Agung
HIDUP NO.09 2020, 1 Maret 2020