HIDUPKATOLIK.com – Dalam Majalah HIDUP ini seorang pembaca mempertanyakan apakah bijaksana aib Gereja – munculnya kasus pelecehan seksual – dibuka bagi publik. Pertanyaan itu tepat. Tidak perlu setiap aib dalam Gereja dipasang di papan pengumuman.
Tetapi kasus pelecehan, lain. Dosa seseorang, misalnya seorang uskup, barang kali tidak harus ditrompetkan ke mana-mana. Tetapi apabila suatu kejahatan menjadi borok yang bisa membusukkan seluruh komunitas gerejani, kejahatan itu perlu dibuka.
Apa masalahnya? Sejak sekitar 20 tahun terbuka sesuatu yang semakin menggoncangkan Gereja Katolik : Bahwa ada aparat Gereja, imam, rohaniwan, bahkan juga rohaniwati, melakukan pelecehan seksual terhadap orang-orang yang dipercayakan kepada mereka: Terhadap anak, terhadap remaja dan terhadap orang yang dalam keadaan tergantung, seperti misalnya suster atau calon imam di seminari.
Trauma Mendalam
Sampai duapuluh tahun lalu, kalau seorang imam melecehi anak maka paling-paling ia dipindahkan dan keluarga kurban dibayar untuk tidak membuka mulut. Asal saja nama baik Gereja tidak kena cemar. Dan di tempat berikut imam itu sering melakukan pelecehan lagi.
Sekarang baru disadari bahwa pelecehan seksual terhadap orang di bawah umur meninggalkan trauma psikologis mendalam. Mereka sering tak bisa mengembangkan seksualitas yang normal, bisa menjadi peleceh sendiri. Mereka sering malu dan merasa bersalah dan sering membutuhkan puluhan tahun sampai berani membuka pengalaman itu terhadap sahabat, apalagi polisi. Banyak yang patah iman Katoliknya. Mereka tidak hanya berhak dibayar ganti rugi atas penghancuran kehidupan mereka, melainkan, demi penyembuhan keterlukaan jiwa sedapat-dapatnya, perlu menerima pengakuan bahwa mereka menjadi kurban.
Memang benar: Kita baru sekarang tahu betapa luas pelecehan seksual terjadi dalam masyarakat luas. Apa pelecehan oleh pelatih olahraga, terhadap peragawati dan peragawan, dalam industri perfilman – ingat kasus Harvey Weinstein, – di sekolah dan asrama-asrama, di kantor-kantor oleh kolega laki-laki terhadap kolega perempuan atau oleh atasannya: itu sekarang baru diangkat di media. Pelecehan paling luas sekarang disadari terjadi di dalam lingkungan keluarga, terutama oleh ayah terhadap anak. Bahwa di Indonesia undang-undang perlindungan perempuan saja masih dilawan, malah atas nama agama, teramat memalukan. Tetapi itu bukan alasan untuk menganggap pelecehan dalam Gereja biasa saja.
Para tertahbis mengikatkan diri dalam selibat dan kaul keperawanan untuk tidak melakukan aktivitas seksual apa pun. Sebagai orang tertahbis, mereka adalah orang yang disucikan kepada Tuhan, yang berada dalam kewajiban khusus untuk menjadi tuladan. Memakai kekuasaan rohani untuk melakukan pelecehan tak kurang suatu pengkhianatan.
Fakta Mengerikan
Fakta-fakta memang cukup mengerikan. Suatu penelitian di enam keuskupan di Pennsylvania di Amerika Serika menghasilkan bahwa selama 70 tahun 301 imam melecehi lebih dari 1000 anak, kebanyakan laki-laki, tetapi diperkirakan ada ribuan lebih banyak. Penelitian MHG atas nama para uskup Jerman menghasilkan perkiraan bahwa sampai sembilan persen semua imam pernah melakukan pelecehan seksual.
Ada dua kardinal yang sekarang di penjara (dua-duanya naik banding, mengaku tidak bersalah), dan ada kardinal yang dua tahun lalu diberhentikan dari imamatnya oleh Paus Fransiskus. Ada kasus pendiri Legionaires of Christ yang ternyata memperkosa beberapa anggota muda komunitasnya sendiri dan secara rahasia mempunyai dua istri dan beberapa anak; ia ditindak oleh Paus Benediktus. Dua tahun lalu Paus Fransiskus mengumpulkan semua uskup Chili di Vatikan dan minta agar mereka semua menawarkan pengunduran diri karena dituduh menutup-nutupi pelecehan di dalam keuskupan mereka. Enam uskup kemudian diberhentikan. Bulan Desember. lalu Paus Fransiskus menerima pengunduran diri Duta Vatikan di Prancis yang dituduh melakukan pelecehan pada suatu resepsi.
Suatu segi baru dibuka sendiri oleh Paus Fransiskus. Dalam konperensi pers di pesawat terbang tahun lalu, Paus mengakui, bahwa ada suster yang diperbudak secara seksual oleh orang tertahbis. Hanya seminggu kemudian di media internasional muncul foto enam suster India, yang berani melawan suster atasan mereka untuk melindungi rekan suster yang oleh atasannya itu disuruh ”melayani” uskup mereka. Suster itu selama dua tahun, 13 kali diperkosa oleh uskup itu (uskup itu sekarang sudah diberhentikan oleh Paus dan dihukum penjara).
Sejak itu pelecehan terhadap suster mulai diperhatikan. Dengan motu proprio berjudul Vos EtisLux Mundi bulan Mei tahun lalu, Paus menetapkan, bahwa segenap pelecehan harus ditindak tegas. Paus juga menetapkan, di mana pelecehan bersifat kriminal, alat negara harus dilibatkan.
Merupakan Rahmat
Kita bisa berkata apa? Barangkali bahwa di mana ada kekuasaan tak terkontrol, kebusukan akan berkembang, juga dalam Gereja. Menurut para ahli, pelecehan seksual tidak ada kaitan dengan budaya tertentu. Jadi diperkirakan bahwa kebusukan itu terjadi di seluruh dunia, hanya di banyak daerah belum muncul ke permukaan. Menurut penulis ini kita harus mengikuti petunjuk Paus dan berani membuka aib itu. Pelecehan anak, pemuda maupun suster dalam Gereja oleh personal tertahbis tidak boleh ditutup-tutup lagi. Perlu juga diperhatikan: kalau ternyata sembilan persen semua imam terlibat (dengan cara-cara berbeda, seperti ditemukan di Jerman), itu berarti bahwa 91 persen tidak terlibat. Jadi bahwa tidak perlu segenap imam tertahbis dicurigai.
Dari umat diharapkan, bahwa pelecehan seksual oleh aparat Gerjani tidak dibiarkan. Pelecehan itu perbuatan kriminal yang harus dihentikan. Langkah-langkah yang sudah diambil oleh Konferensi Uskup Indonesia (Konferensi Waligereja Indonesia) harus didukung dan dipertajam, sesuai dengan harapan Paus. Bahwa dalam Gereja terjadi dosa-dosa seperti itu amat memalukan, tetapi Gereja memang terdiri atas pendosa, di mana yang tertahbis pun termasuk. Bahwa pelecehan seksual mulai dibuka juga merupakan rahmat yang ditawarkan Tuhan.
Franz Magnis-Suseno SJ
HIDUP NO.05 2020, 2 Februari 2020
Salam dalam Kristus Pater Magnis…
Sy mendapat kesan bahwa gereja (Paus) menerima dan mengkampanyekan pemberantasan kejahatan seksual klerus(kekerasan maupun pelecehan seksual terutama pada anak2), entah nanti bisa tegas atau tidak?, dipatuhi atau tidak oleh hirarki di bawahnya
Namun bagaimana dg pelanggaran kaul selibat, hubungan seksual suka sama suka?apakah itu termasuk terminologi yg di maksudkan oleh Paus atau gereja saat ini?apakah pelanggaran selibat hubungan suka sm suka termasuk dalam keprihatinan gereja atau tidak? Atau gereja memang membiarkan dan membolehkan pelanggaran selibat(di tutupi dan dilindungi), yg penting tidak masuk ranah pidana hukum negara?
Seandainya saja pelecehan seksual tidak termasuk ranah pidana hukum negara dan ada desakan dari masyarakat umum dan negara, serta membuat gereja malu serta menyebabkan tuntutan hukum dan ganti rugi, mungkin saja gereja tidak peduli soal pelecehan seksual di kalangan klerus, toh tidak melanggar hukum, apa begitu ya?
Mestinya yang dikampayekan oleh gereja adalah jelas dan tegas yakni zero tolerance terhadap pelanggaran selibat( dimana didalamnya termasuk pelecehan seksual, maupun hubungan seksual suka sm suka).
Sy berharap dengan tegas Gereja mengatakan dengan tegas zero tolerance terhadap pelanggaran selibat…..