HIDUPKATOLIK.com – Para alumni PMKRI diharapkan terus melayani sebagai orang minoritas yang memiliki kreativitas dan menggunakan etika kekristenan dalam merawat kebangsaan.
Kardinal Ignatius Suharyo menantang para alumni Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dengan sebuah pertanyaan: Apa yang harus kita lakukan supaya lingkungan hidup kita semakin manusiawi? Pertanyaan ini ia
lontarkan dalam Retret Agung Penyatu Para Alumni PMKRI di Wisma Kinasih, Depok, Jawa Barat, Kamis-Sabtu, 13-16/2.
Kardinal Suharyo melihat peran PMKRI dalam menjawab persoalan kebangsaan akhir-akhir ini. Dalam materi bertema “Zaman Baru, Panggilan
Tugas Kita”, Kardinal Suharyo mengajak para alumni PMKRI untuk melihat bagaimana lingkungan saat ini mulai tidak menampakkan wujud Kerajaan Allah. “Lingkungan kita baik itu negara, warga masyarakat, lingkungan bisnis, tidak lagi menampakkan wajah Kerajaan Allah. Padahal, tiga lingkungan ini menjadi wadah Kerajaan Allah di dunia,” sebutnya.
Kegiatan yang dihadiri para alumni dan pemerhati PMKRI dari seluruh Indonesia ini menjadi penting, mengingat para alumni PMKRI meski berasal dari berbagai daerah dengan profesi masing-masing,
diharapkan terus mencari makna hidup tanpa berputus asa.
Harapan yang sama juga disampaikan Kardinal
Suharyo ketika memimpin Misa pembukaan retret. Ia mengatakan, setiap orang dipanggil untuk berani
mewartakan Kabar Gembira Tuhan. Tetapi, harus disadari ada begitu banyak tantangan yang dihadapi saat ini. Ia menyebutkan, soal persoalan
intoleransi, radikalisme, degradasi moral, dan krisis
kepemimpinan, harusnya menjadi keprihatinan.
“Kegelisahan ini harusnya disampaikan dalam doa, agar Tuhan terus menguatkan kita,” jelasnya.
Etika Kekristenan
PMKRI tidak perlu takut berkarya di tengah bangsa.
PMKRI harus menjadi minoritas kreatif yang bekerja sepenuhnya untuk bangsa. Demikian Harry Tjan Silalahi saat menyampaikan juga pemaparannya. Dalam pandangannya, minoritas kreatif berarti ada kesetaraan peran dan tanggungjawab. Minoritas bukan berarti tidak memiliki fungsi dan peran di negara ini.
Harry menjelaskan, Indonesia terbentuk bukan satu golongan, suku, agama, atau ras tertentu saja tetapi semua orang yang merasa sebangsa dan setanah air. “PMKRI jangan takut berkarya. Buka selubung ekslusivisme agama agar melihat agama lain sebagai jalan kebenaran,” ujarnya.
Sementara itu Romo B.S. Mardiatmadja, SJ dalam
materi soal “Tuhan, Etika, dan Kehidupan Nyata,”
menggarisbawahi peran etika dalam menentukan sikap hidup beragama, terlebih bagaimana peran ormas Katolik dalam mengambil sikap menjawab
berbagai persolan kemanusiaan.
Dalam penjelasannya, beberapa kali Romo Mardi
mengkritik peran ormas Katolik menyuarakan kebenaran yang kadang tidak menggunakan etika sebagai dasar menguatkan kebersamaan. “Padahal etika itu membentuk karakter sebagai orang Katolik. Artinya etika kekatolikan itu didasarkan pada perintah-perintah Allah,” sebutnya.
Dalam rangka membaharui etika ini, Stefanus Gusma selaku Ketua Panitia menambahkan, bahwa retret ini sebagai kesempatan untuk membaharui kehidupan dalam menyatukan visi dan misi. Ia menyebutkan, kegiatan ini digagas oleh para mantan ketua PMKRI untuk membangkitkan semangat kolektivitas para alumni, atau anggota penyatu di seluruh daerah, supaya para alumni bisa saling memberi dukungan, serta mempertegas peran di berbagai bidang kehidupan. “Kita mengajak untuk membangun kembali kolektivitas ini, sehingga
saling bersampul dan punya komitmen terhadap
kebangsaan,” sebut Gusma.
Retret ini juga menampilkan berbagai narasumber lain seperti Romo Setyo Wibowo, SJ, Romo John Djonga, Sofyan Wanandi, Karolin Margret Natasha, Sebastianus Salang, Restu Hapsari, Melki Laka Lena, Angelo Wake Keko, Kastorius Sinaga, Paulus Januar, Priharsono, dan Liona Nanang.
Yusti H. Wuarmanuk (Depok)
HIDUP NO.08 2020, 23 Februari 2020