HIDUPKATOLIK.com – Setiap anugerah dari Allah mendatangkan tanggung jawab yang besar. Amanat inilah yang berusaha dijaga oleh paroki yang baru saja diresmikan ini.
Sepanjang hari hati seorang ibu diliputi kegelisahan. Ia merupakan pensiunan guru. Batinnya seolah diaduk ketika mengingat masih banyak orang yang belum mengenal wajah kasih Allah melalui Kristus, Putra-Nya yang tunggal. Berbekal keresahan batin itu, ia pun mulai menyapa orang Dayak sebagai awal misinya. Sejak tahun 2008, Caecilia Betan memberikan dirinya bagi perkembangan iman orang Dayak. Sejak saat itu berkembang hingga kelima stasi. Katekis asal Flores Timur inilah yang menjadi perintis lahirnya Gereja Katolik di Magalau, Kelumpang Barat, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan.
Langkahnya kemudian melahirkan Paroki St. Fransiskus Asisi Gendang, Magalau. Hari bahagia itu pun tiba pada tanggal 2 Februari 2020. Saat di mana paroki ini diberkati dan diresmikan. Setelah beberapa tahun berada di dalam wilayah pelayanan Paroki St. Vinsensius A Paulo Batulicin, akhirnya kerinduan umat dijawab. Hadiah dari Tuhan di awal tahun 2020. Misa dipimpin oleh Pastor Kosmas Boli Tukan, MSF yang didampingi beberapa imam. Secara resmi Pastor Ruben Basenti Moruk, OFM ditunjuk sebagai pastor paroki. Acara pun dilanjutkan dengan pelantikan dan penyerahan dokumen. Lalu anggota DPP baru dikalungi dengan Tau diiringi lagu Fransiskus Dunia Menantimu. “Semoga dengan pengalungan Tau ini semangat Fransiskus Assisi semakin menggeliat dalam diri diri anggota DPP. Kalimantan Selatan akan semakin “coklat”,” ujarnya.
Kendati demikian, pastoral di tempat ini masih menyisahkan masalah yang cukup menantang. Umat katolik Dayak khususnya di wilayah Magalau dan di beberapa stasi dengan mudah berpindah
keyakinan. Sudah banyak umat stasi Magalau yang meninggalkan Gereja Katolik dan memeluk agama lain. Hal itu terjadi baik karena perkawinan maupun juga karena merasa sakit hati dengan teman sesama Katolik. Mereka belum memiliki pendirian kuat untuk mempertahankan iman mereka sebagai orang katolik. Misalnya di stasi Magalau sekarang beberapa umat sudah meninggalkan Gereja. Padahal dulunya banyak sekali.
Melihat situasi demikian, tenaga pastoral menyadari pendekatan dan pendampingan secara intens dan berkala amat diperlukan. Tujuan pendampingan yang intens ini tentu saja agar umat Dayak merasa menjadi bagian penuh dari Gereja Katolik. Kunjungan rumah pun menjadi jalan untuk mendekatkan umat dan gembalanya. Tidak hanya itu, mereka juga sering diberi makanan. Kadang mereka datang sendiri ke pastoran untuk minta lauk. Selain itu, pendekatan kepada anak-anak untuk menjaga kualitas tumbuh kembang iman melalui pendidikan menjadi sangat penting.
Opsi ini penting sebab faktanya cukup banyak anak-anak Dayak putus sekolah. Hal itu terjadi bukan karena mereka tidak mau atau tidak mampu secara akademik, namun akibat persoalan ekonomi. Orangtua mereka tidak mampu membiayai sekolah anak-anaknya ke tingkat yang lebih tinggi, misalnya ke Perguruan Tinggi. Dalam keadaan seperti itu, ada kecenderungan ketika tamat SMA mereka langsung menikah. Usaha edukasi melalui pendekatan personal melalui perbincangan hangat dengan masing- masing individu terkait menjadi penting.
Pemerintah pun tak cukup tanggap melihat kondisi sosial demikian. Dalam konteks pembangunan baik daerah maupun nasional masyarakat Dayak
terpinggirkan. Jarang sekali orang Dayak menduduki posisi penting di kursi pemerintahan. Posisi penting diduduki pendatang. Bidang ekonomi juga dikuasai oleh orang Banjar dan Jawa. Pemerintah setempat juga sama sekali tidak serius memberikan pelayanan pendidikan. Peluang pastoral sosial ekonomi PSE pun dilihat sebagai alternatif menjembatani ketidakseimbangan ini. “Pelayanan ini akan penuh tantangan tapi ingat, kerja buat Tuhan selalu manis,” imbuhnya penuh sukacita.
Frater Wilfrid Papin, OFM (Magalau)
HIDUP NO.08 2020, 23 Februari 2020