HIDUPKATOLIK.COM Ia tak pernah takut dimusuhi oleh kaisar. Ia justru takut bila rakyat kecil kehilangan harapan dan berbalik memusuhinya.
Sebagai orang Kristen, tidak mudah melihat sesama saudara dianiaya dan disiksa dengan kejam. Namun, kekejaman dan derita menjadi santapan harian umat Katolik di Vikariat Apostolik Cochinchina, Vietnam. Mereka disiksa, karena mereka menjadi pengikut Kristus.
Cochinchina saat itu menjadi daerah yang cukup sulit untuk perkembangan misi. Pada masa pemerintahan Kaisar Minh-Mang (1820-1840), semua karya misionaris asing di Cochinchina dinyatakan terlarang. Kaisar sendiri sengaja membuat orang-orang Kristen menyerah pada imannya. Ia memaksa orang-orang Kristen untuk menginjak-injak salib, meludahi patung Kristus, dan menyangkal iman. Ketika mereka tetap bertahan pada iman, nyawa menjadi pilihan terakhir.
Sebagai wali Kota di Cochinchina, Simon Phan Ðac Hòa bisa merasakan penderitaan rakyatnya yang percaya kepada Kristus. Ia menyaksikan, begitu banyak orang Kristen yang meninggal, karena kekejian Kaisar Minh. Atas dasar kemanusiaan, Simon menolak menanggalkan imannya. Ia setia sebagai orang Kristen. Keputusan ini akhirnya harus ia bayar dengan lehernya pada 12 Desember 1840 di An Hòa, Quang Nam.
Dokter Tradisional
Tidak banyak catatan tentang masa kecil Simon. Dari catatan yang ditemukan, ia lahir di Mai Vinh, Thua Thiên tahun 1787. Awalnya ia adalah seorang penganut agama tradisional Vietnam, sama seperti keluarganya yang lain. Perkembangan pribadinya sangat dipengaruhi oleh doktrin-doktrin Konghucu dan Taoisme. Keluarganya juga menganut tradisi Buddhisme yang kuat.
Pandangan-pandangan tentang manusia, etika Taoisme, dan pandangan-pandangan para tokoh Buddha berpengaruh dalam hidup Simon. Ajaran-ajaran ini membangun dasar pandangannya dalam melihat kemanusiaan. Belarasa kepada mereka yang menderita disebutkan pertama kali ia pelajari dari Kitab Daodejing.
Dasar dan ajaran Taoisme ini mengakar kuat hingga usia remajanya. Ia pun bertumbuh dalam keharmonisan dengan alam dan manusia. Ukuran kemanusiaan ini kemudian diwujudkan dalam cita-citanya yang ingin menjadi seorang dokter.
Untuk mewujudkan cita-cita ini, sejak mengenyam pendidikan menengah Thua Thiên, Simon menunjukkan kegemarannya pada obat-obatan tradisional. Lewat kakeknya Vinha Hoa, seorang peramu obat-obatan tradisional, Simon berniat menjadi dokter. Cita-cita ini rasanya akan dapat dicapai dengan tanpa halangan sebab Simon pun lahir dari keluarga yang berkecukupan. Dalam situasi semacam ini, ia tidak akan kesulitan soal biaya.
Seiring waktu, Simon semakin memperdalam pengetahuannya tentang ramuan-ramuan tradisional. Ia beberapa kali menggunakan pohon jalang atau ramuan tradisional lainnya, untuk mengobati para pasien dari kampung-kampung. Selain itu, ia juga sering mempraktikkan metode akupuntur dalam pengobatannya.
Penguasaan tentang kasiat ramuan-ramuan herbal ini akhirnya memberi kesempatan kepada Simon untuk praktik di rumah sakit Thua Thiên. Di tempat ini, ia bertemu dengan Pastor Francis Isidore Gagelin, MEP (1799-1833), yang juga bekerja di rumah sakit ini. Dalam pertemuan ini, Simon mulai tertarik mengenal secara lebih dekat tentang ajaran kekristenan. Mula-mula, ia sesekali mendengar khotbah Pastor Francis saat Misa pagi di kapel rumah sakit. Beberapakali juga, Pastor Francis terlihat mengantar Hosti Kudus kepada para pasien Katolik.
Pada saat-saat ini, Simon menangkap kharisma kekudusan dari figur seorang imam berkebangsaan Prancis itu. Kharisma kepemimpinan dan cara pelayanan membuat ia tertarik mendalami ajaran Kristen. Dari awalnya ia mendengar khotbah dari ruang kerjanya, lama-lama ia juga sesekali mengikuti Misa. “Kristus tidak pernah mengharapkan kita mengikuti-Nya. Dia tidak butuh pujian dari kita, karena Dia sejak awal telah dipuji oleh para malaikat. Hanya satu permintaan Kristus, jadilah orang yang berarti bagi orang lain. Inilah pelayanan yang sesungguhnya,” demikian isi khotbah Pastor Francis yang selalu diingat Simon.
Jalan Kebenaran
Entah kenapa Simon merasa kepercayaan baru yang diperkenalkan Pastor Francis sejalan dengan visi kemanusiaannya. Melayani bukan karena tuntutan dari keluarga atau orang lain, tetapi ada panggilan dalam hati. Panggilan ini kemudian membawa Simon menyatakan diri sebagai orang Kristen.
Simon dibaptis saat berusia 25 tahun oleh Pastor Francis. Setelah menerima Kristus, hidup Simon makin lengkap. Ia bahkan merasakan ajaran Kristus ini sebagai jalan kebenaran. Ia berpendapat, ajaran kekristenan tidak pernah melenceng dari budaya Vietnam. Sejak menjadi pengikuti Kristus, Simon menyelesaikan kuliahnya dan spesialisasinya pada pengobatan tradisional.
Semangat kekristenan merajai hatinya lewat karya-karyanya. Ia melayani dengan senang hati masyarakat kecil yang membutuhkan pertolongan. Ia tidak pernah mengharapkan bayaran. Rumahnya disulap menjadi rumah sakit bagi masyarakat kecil.
Karya pelayanannya yang luar biasa ini sontak membuat Simon terkenal. Ia sering dianggap dokter yang murah hati, orang Kristen yang taat, dan pendatang yang berbelarasa. Karena kepopulerannya ini, ia lalu dicalonkan masyarakat sebagai wali kota di Conchinchina. Dalam pemilihan terbuka itu, Simon terpilih.
Kendati sebagai wali kota, Simon tak pernah melewatkan karya pelayanannya di bidang kesehatan. Ia selalu membuka praktik di sela-sela pekerjaannya sebagai wali kota. Kerapkali dalam kunjungan kepada masyarakat kecil, Simon mengobati mereka dengan sukarela. Ia menggratiskan semua pengobatan di rumah sakit bagi masyarakat miskin.
Namun malang, karena ketenarannya ini, Simon malah dibenci oleh Kaisar Minh-Mang. Mendengar dan menyaksikan karya pelayanan Simon ini, Kaisar Minh makin marah. Kaisar khawatir pada kedekatan Simon pada para misionaris asing. Sudah lama, kaisar merasa jengah dengan kedatangan para misionaris ini.
Ketidaksukaan Kaisar Minh kepada para misionaris memuncak pada saat ia akhirnya mengeluarkan maklumat untuk menolak semua misionaris asing di Vietnam. Sejak saat itu, Simon pun dianggap sebagai wali kota pembelot.
Misi Terakhir
Dianggab sebagai pengkhianat oleh Kaisar Minh tidak menyurutkan semangat Simon untuk melayani. Ia tak pernah takut dimusuhi oleh kaisar. Ia justru takut bila rakyat kecil kehilangan harapan dan berbalik memusuhinya. Menurutnya di wajah orang-orang kecil dan tak berdaya, ada pancaran kasih Kristus.
Anggapan ini membuat Simon lebih semangat melayani. Ia terlibat bersama para misionaris Spanyol dan Prancis untuk mewartakan Kabar Gembira kepada banyak orang. Sambil berkarya, Simon menyembuhkan. Hasilnya luar biasa, banyak orang yang menjadi pengikut Kristus karena keteladan Simon.
Pada saat-sat tertentu, Simon bahkan dianggap sebagai pastor, karena cara hidupnya yang luar biasa. Ia menghayati hidup doa, pengakuan dosa, dan matiraga. Ia kerapkali mempraktikkan devosi kepada Bunda Maria dalam sela-sela waktu kerjanya. Corak hidup ini membuat hari-harinya selalu dipenuhi sukacita.
Simon tak pernah takut gagal atau menyesal telah melepaskan iman asalnya. Simon berbangga, karena lewat Kristus, ia mengalami kesempurnaan hidup. Pelayanannya ini berbenturan dengan maklumat baru kaisar yaitu melarang kekristenan muncul di Vietnam. Mereka yang sudah beragama Kristen ditangkap dan dibunuh.
Tak peduli dengan maklumat kaisar, Simon terus melayani hingga ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Ia dipaksa menyangkal iman, tetapi wali kota setia ini memilih tetap mempertahankan imannya. Ia meninggal dengan cara dipenggal kepalanya pada tanggal 12 Desember 1840 di An Hòa, Quang Nam, Vietnam.
Simon dan sejumlah martir Vietnam lainnya dibeatifikasi oleh Paus Pius X pada 20 Mei 1906. Rahmat kanonisasi diperoleh pada 19 Juni 1988 oleh Paus Yohanes Paulus II. St. Simon dalam Liturgi Vietnam dianggap sebagai pelindung para dokter dan wakil rakyat. Ia dikenang setiap 24 November.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP NO.07 2020, 16 Februari 2020