HIDUPKATOLIK.com – Selama dua dekade menjadi uskup, Mgr. Agustinus Agus yakin, dirinya bahagia karena dicintai Kristus dan umat yang dilayaninya. Ia berharap tetap setia hingga akhir.
Pada 6 Februari 2000, Mgr. Agustinus Agus ditahbiskan sebagai Uskup Sintang oleh Kardinal Julius Darmaatmadja, SJ. Namun, Sintang ternyata bukan tempat di mana ia harus terus berkarya. Pada 3 Juni 2014, ia ditunjuk menjadi Uskup Agung Pontianak oleh Paus Fransiskus.
Tahun 2020 ini, kelahiran Kapuas, Sanggau, Kalimantan Barat, 22 November 1949, merayakan 20 tahun tahbisan episkopatnya. Selama dua dekade pelayanannya baik sebagai Uskup Sintang
maupun sebagai Uskup Agung Pontianak, ada banyak pergumulan dan kisah hidup yang sudah ditorehkannya. Apa saja kisah hidup yang bisa dipetik dari Mgr. Agus? Berikut petikan wawancara HIDUP dengan Mgr. Agus di Wisma Keuskupan
Agung Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar), Jumat, 24/1.
Apa bedanya menjadi Uskup Sintang dan Uskup Agung Pontianak?
Tidak ada istimewanya menjadi uskup. Semuanya sama saja, baik sebagai uskup sufragan atau uskup agung. Karena jabatan uskup itu bukan jabatan duniawi, atau semacam pangkat. Bukan juga anda menjadi uskup agung, berarti naik satu
tingkat. Tidak demikian, karena ukuran agung atau tidaknya, itu tergantung dari pelayanan.
Saya melihat pelayanan ini menjadi kunci utama bagaimana seseorang dihargai dan dianggap terhormat. Bila seorang uskup melayani dengan ikhlas, tulus, terbuka, dan jujur, maka saya yakin, ia seorang yang terhormat. Jadi bukan persoalan menjadi uskup yang bagaimana, dan di tempat seperti apa.
Apakah penerimaan ini karena Monsinyiur orang Dayak?
Di Keuskupan Sintang maupun Pontianak, saya melayani masyarakat Suku Dayak. Bukan karena saya anak Suku Dayak, maka saya diterima. Ada satu hal yang membuat saya dianggap berbeda dengan para gembala lain, adalah karena saya mau terlibat, duduk melihat, mendengar, dan merasakan semua pergumulan hidup mereka.
Sikap gembala yang demikian membuat mereka merasa Gereja hadir. Seharusnya demikian peran seorang gembala, terlibat dalam setiap hidup umatnya. Bukan siang hari umat bekerja di ladang, pastornya tidur siang. Ketika umat datang ke pastoran, eh pastornya sudah jalan-jalan ke kota. Tidak demikian tugas seorang pelayan. Makanan
mereka harus menjadi makananmu. Tempat tidur mereka harus dirasakan seorang gembala. Inilah yang membuat saya diterima.
Selama 20 tahun ini, apa tantangan pastoral terberat?
Salah satu yang menjadi tantangan adalah dari internal sendiri. Ada pandangan dan desakan dari orang Suku Dayak untuk kembali ke masa lalu. Mereka masih mempraktikkan tindakan-tindakan heretik budaya. Misal, puasa berminggu-minggu,
agar bisa kebal terhadap mandau (pedang Suku Dayak). Atau masih ada perayaan-perayaan lain yang jauh dari praktik iman kekatolikan. Ini tantangan saya bersama para pelayan pastoral di Kalbar. Tugas kami adalah bagaimana mengingatkan umat, bahwa hanya ada satu kekuatan di atas semuanya yaitu Tuhan. Perlu memberi katekese pemahaman bahwa tidak ada
seorang pun yang tidak bisa mati.
Menurut Monsinyiur, apa yang menjadi ciri perkembangan dan kedewasaan Gereja di Kalbar?
Saya berpikir saat ini, umat dengan bangga mengatakan, kemandirian menjadi salah satu kekuatan Gereja di Kalbar. Khusus di Pontianak, kemandirian ini mencakup bidang ketenagaan, keuangan, dan program pelayanan terpadu.
Misal, dalam ketenagaan, Gereja Pontianak memiliki Seminari Menengah Nyarumkop dan Sekolah Tinggi Pastor Bonus. Dalam bidang keuangan, ada usaha terkait pengelolaan keuangan secara profesional. Bidang pelayanan terpadu yaitu ada kerja sama antar komisi, paroki,
antar warga, dan lainnya. Kemandirian ini saya sebut sebagai kekuatan Gereja Pontianak saat ini.
Apakah Monsinyiur bisa menjabarkan kekuatan lain di Keuskupan Agung Pontianak (KAP)?
Tahun 2016, ada pembenahan dari internal dengan struktur organisasi yang jelas baik, tingkat kuria, paroki, stasi, sampai organisasi-organisasi gerejawi. Kemudian harta benda keuskupan yang
tersebar dalam iurisdiksi keuskupan harus digunakan secara bertanggungjawab. Ada juga hal lain yaitu sebagai perpanjangan tangan uskup, saya menguatkan kinerja komisi-komisi dan para pengurus yayasan.
Sejak menjadi Uskup Pontianak saya berusaha membuka peluang bagi komunitas-komunitas doa, karya-karya di bidang kesehatan, pendidikan, pelayanan sosial, pastoral kategorial, orang muda
Katolik, mahasiswa-mahasiswi, pastoral keluarga, dan gerakan-gerakan awam. Bagi saya ini kekuatan Gereja Pontianak.
Bagaimana dengan pastoral keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan di KAP?
Gereja Pontianak menyadari, perjuangan untuk mewujudkan keadilan, kedamaian, dan keutuhan ciptaan, merupakan tugas integral dalam hidup menggereja. Tidak bisa dipungkiri, umat Katolik banyak terjerat kemiskinan. Atas kesadaran itu,
Gereja merintis credit union bagi umat. Tujuannya memperbaiki kesejahteraan hidup sehari-hari.
Terkait ekologi, Gereja berusaha tampil menyuarakan keadilan, damai, dan keutuhan ciptaan. Gereja menggandeng semua unsur dalam masyarakat. Gereja mendatangi masyarakat yang menjual tanah mereka, menawarkan solusi lain, agar tanah tidak di jual untuk investor.
Terkait kemanusiaan, Gereja juga berusaha menanggapi dan mencarikan jalan keluar untuk kasus human trafficking. Kekerasan yang sering dialami oleh para Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia, atau negara lain, juga menjadi perhatian Gereja Pontianak.
Pernah terjadi konflik horizontal antara Suku Dayak dan pendatang di Kalbar. Bagaimana tanggapan Monsinyiur?
Gereja Katolik tetap menunjukkan diri sebagai himpunan warga yang selalu terbuka dari waktu ke waktu, untuk menjalin hubungan dengan agama lain. Jejaring kerjasama ini dirasa baik, sejauh tidak mengaburkan misi Gereja menyebarkan Kabar Gembira. Atas kesadaran ini, Gereja selalu berusaha membangun dialog kasih dengan siapa saja.
Prinsip dasar dialog ini untuk menjunjung nilai kebenaran, kejujuran, dan kesejahteraan bersama. Maka menghindari konflik itu terbentuklah Forum Kerukunan antar Umat Beragama (FKUB). Pertemuan yang intens akan membantu mengurangi konflik horizontal. Jejaring kerjasama yang berdasarkan keterbukaan dan kejujuran akan menolong para pemangku kepentingan untuk saling mengenal dan mendukung.
Moto episkopat Monsinyiur, “semuanya dipersatukan dalam Kristus”. Apa pesan moto ini?
Moto ini mau mengajarkan kita untuk jangan mempersulit hidup. Kita tidak perlu mengejar hal-hal yang luar biasa di luar kekuatan kita. Cukup dekat dengan Kristus, maka hal-hal yang luar biasa itu akan menjadi biasa. Ini artinya, saya berusaha supaya hidup panggilan ini tidak melenceng dari
ajaran Kristus. Bila melayani, layanilah dengan sungguh-sungguh. Bila bernyanyi, bernyanyilah dengan serius. Bila sedang masak, masaklah yang enak. Bila sedang menari, menarilah seindah mungkin. Bila sedang minum tuak, nikmatilah itu.
Bahkan bila sedang mendengarkan umat, dengarkanlah dengan saksama.
Jangan menjadi gembala yang mempersulit diri sendiri. Banyak imam malas Misa, jadi imam langsung punya rumah besar, mobil mewah, handphone canggih. Bagus juga, tetapi itu bukan unsur utama bersatu dengan Kristus. Kalau seorang gembala mulai melepaskan diri dari Tuhan, orientasi hidupnya tidak jelas. Akan menjadi pribadi yang malas, tidak punya visi hidup, bergerak di tempat, mencari kekayaan duniawi, lepas kendali, lalu meninggalkan panggilannya.
Sejauh ini, apa yang Monsinyiur rasakan dengan panggilan ini?
Saya sangat bahagia karena saya berusaha menyederhanakan hidup yang berliku-liku ini dalam satu kesadaran bersatu dengan Kristus. Saya tidak punya intensi memperkaya diri, diterima oleh siapa saja, punya kesulitan banyak orang bantu, relasi dengan orang lain tidak subjektif sehingga mereka tidak mengatur saya. Paling terakhir saya bahagia karena Kristus.
Meski begitu, saya tetap sadar diri bahwa saya hanya anak kampung yang berusaha punya “harga” di mata Tuhan dan sesama. Saya ingin bermartabat sama dengan orang-orang lain. Saya pikir martabat sebagai anak kampung itulah yang membuat saya bahagia.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP NO.06 2020, 9 Februari 2020