HIDUPKATOLIK.com – Satu misi Mgr. Agustinus Agus bagi umat Katolik Dayak adalah membuka pintu-pintu Gereja agar tidak misterius.
Wajah orang tua berjenggot itu sumringah saat menerima sumbangan dari orang-orang Suku Dayak. Jumlahnya lima ribu gulden, terdiri dari lima lembar uang seribuan. Pastor Jan, begitu sapaannya, terharu saat warga Dayak memberi sumbangan untuk membantu misi Katolik di bumi Borneo.
Ketulusan hati warga Dayak membuat hatinya luluh. Dengan mata bersinar Pastor Jan berucap, “Ini lebih saya sukai daripada penampakan Kanak-Kanak Yesus!”
Dalam buku berjudul Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia karya Huub J.W.M. Boelaars (2005:389), dijelaskan bahwa Pastor Jan Pacificus Bos, OFMCap adalah orang Belanda tulen. Ia berani
melayani di tanah antah berantah bernama Borneo, daerah yang luas dan saat itu dikuasai pemerintah kolonial Belanda. Sulit memahami bagaimana siar dakwah yang dibawakan Pastor Jan dapat diterima warga Dayak.
Pastor Jan adalah misionaris Katolik pertama di Kalimantan. Sejak kehadirannya, ia sudah siap menghadapi segala resistensi yang berpotensi persinggungan baik penolakan dari Muslim-Melayu, atau masyarakat Dayak yang sebagian besar masih menganut agama tradisional.
Tidak bisa dipungkiri, Pastor Jan harus menjadi pribumi. Agar misinya melebur di tanah Borneo, ia harus melepaskan “kebaratannya”. Tidak mudah bagi imam yang berasal dari keturunan bangsawan seperti Pastor Jan. Tetapi begitulah tuntutan misi. “Upaya Pastor Jan di Borneo tidak sia-sia. Kurang dari tiga tahun setelah menjabat Prefektur Apostolik Borneo, ia mulai mendirikan gereja pada 8 Agustus 1908. Dikemudian hari, gereja ini menjadi Katedral St. Yosep Pontianak,” tulis Adolf Heuken, SJ dalam Ensiklopedi Gereja
Katolik, (1993,17).
Banyak catatan sejarah menjelaskan Pastor Jan adalah “bapak misi” Kalimantan. Dengan kepala dingin dan ringan tangan yang ditunjukkannya, Pastor Jan mendapat tempat di hati warga Dayak. Orang menyebut Pastor Jan sebagai utusan Vatikan di tanah Borneo, namun Pastor Jan justru merendah. Ia lebih ingin menyebut dirinya keturunan Dayak ketimbang wakil Paus di Kalimantan. Gelar utusan Vatikan justru disematkannya kepada warga Dayak. “Mereka adalah utusan Vatikan di Kalimantan. Saya hanya melengkapi kerinduan mereka,” ujarnya suatu ketika.
Gereja yang Terbuka
Kini, sudah lebih seabad, Gereja Katolik berkembang di Borneo. Namun, gerak pastoral Gereja belum sepenuhnya terlibat lebih jauh ke dalam pergulatan hidup masyarakat Dayak. Uskup Agung Pontianak, Mgr. Agustinus Agus setuju, bahwa Gereja Katolik Keuskupan Agung Pontianak (KAP) harus terlibat mengembangkan iman di dalam dan bersama budaya Dayak. Ia menyebutkan, selama ini inkulturasi Gereja ke dalam budaya lokal tidak saja dilihat sebatas pesta budaya, seperti yang terlihat dalam atraksi
budaya setiap kali ritual selepas panen padi di Kalimantan Barat (Kalbar).
Perjuangan Gereja tidak semata agar mencari perhatian masyarakat. Gereja tidak perlu cari-cari muka supaya terkenal. Akan tetapi ada nilai spiritual yang bisa menyatukan Gereja dan Suku
Dayak. Agama diyakini karena adanya Tuhan sebagai penuntun hidup manusia. Keyakinan bahwa hidup dalam Tuhan akan berlimpah berkat, membuat orang Dayak beragama. Tugas Gereja adalah membantu Suku Dayak untuk menemukan
sumber kekuatan itu. “Apabila Suku Dayak sudah tidak mampu mempertahankan hak hidup, menemukan sumber kekuatan mereka, Gereja Katolik harus ikut bertanggungjawab secara moral,” jelas Mgr. Agus.
Mgr. Agus menggambarkan, di KAP, Gereja berjuang untuk tidak menjadi misterius bagi masyakarat Suku Dayak. Gereja harus terbuka selebar-lebarnya, melepaskan egosentrisme untuk merangkul orang-orang Dayak. “Gereja harus
mendengarkan mereka,” pesan Mgr. Agus.
Pastoral Keadilan
Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kota Pontianak, Sekundus mengapresiasi program kerja KAP dalam merawat iman Suku Dayak. Para pemimpin Gereja seperti Mgr. Agus dan para imam, suster, frater, dan bruder terlibat dalam seluruh kegiatan
masyarakat. Gereja dengan “agak keras” memaksa umat agar terlibat dalam budaya, khususnya masyarakat Dayak Katolik.
Gereja berusaha menjelaskan dan mengarahkan, agar setiap kegiatan kebudayaan tidak menjadi kegiatan yang dikultuskan. Sebisa mungkin, ragam penghormatan kepada leluhur tidak bertentangan dengan penghormatan kepada Tuhan, yang memberi rezeki dengan kesuburan tanah, hasil ladang yang berlimpah, ternak, dan kesehatan. “Gereja membantu memberi penjelasan kepada
umat, tidak semua gawai di Kalbar itu sesat atau tradisi berhala. Penjelasan ini tentu menjadi refleksi penting bagi kami dewan adat,” jelas Sekundus.
Sementara itu, Ketua Umum DAD, Jakius Sinyor menjelaskan, bahwa relasi Gereja Katolik dan Suku Dayak dapat digambarkan dalam ucapan khas masyarakat Dayak, “Adil ka’ talino bacuramin ka
‘saruga basengat ka’ jubata”, ‘kita harus bersikap adil kepada sesama dan kita harus berpandangan hidup seperti perkataan baik di surga’.
Namun, kata “adil” bagi Jakius, dalam banyak hal sulit terwujud bagi masyarakat di Kalbar. Khususnya Suku Dayak, ia melihat, tantangan ke depan yang dihadapi adalah masih terjadinya diskriminasi dalam penjabaran program pembangunan. Praktik perampasan tanah adat Dayak untuk kepentingan investasi, transmigrasi
masih saja terjadi. Padahal, Suku Dayak lah yang sudah sejak awal berada di Pulau Kalimantan.
Sebagai salah satu pemilik peradaban paling tua di Indonesia, orang-orang Dayak terus meningkatkan partisipasi aktif dalam pembangunan nasional. Suku Dayak terus tampil sebagai pendukung ideologi Pancasila, sebagai patokan dalam berperilaku dengan hormat kepada leluhur, orang
tua, dan negara. Tetapi pembangunan belum merata. Masih ada ketimpangan di sana-sini. “Untung, Gereja dengan sigap membantu mengambil alih situasi ini. Bagi saya, inilah pastoral keadilan yang dilakukan Gereja bagi Suku Dayak,” jelasnya.
Misi Utama
Karakter asli Suku Dayak yang selalu akrab dengan alam sekitar, diharapkan dapat dijadikan rujukan bagi Gereja dan pemerintah dalam menyusun format pembangunan yang relevan. Mgr. Agus
menambahkan, salah satu perhatian utama adalah pastoral keadilan kepada keutuhan ciptaan. Selama ini jamak terjadi, tanah masyarakat lokal dilepas, tanpa mempertimbangkan masa depan anak cucu. Pelepasan tanah berarti melepaskan
diri dari peluang dan kemungkinan, untuk mengembangkan usaha-usaha produk lokal. Hutan yang diubah menjadi kawasan perkebunan monokultur, akan mendatangkan dampak ekologis bagi masyarakat.
Dasar pemahaman inilah yang menjadi alasan Mgr. Agus selalu ada kerinduan ke pedalaman-pedalaman untuk menyapa umatnya. Selama lima tahun pelayanannya, ia telah melawat semua umatnya bahkan yang terjauh seperti di Paroki Kristus Raja Sambas, Paroki St. Mikhael Jogoi Babang, dan Paroki St. Petrus Sambau Ledo. “Mereka sangat mengharapkan kehadiran seorang
gembala. Di sana, saya memasak untuk mereka. Saya bawa kompor dari Pontianak dan bahan makanan. Sambil berkumpul mengelilingi kuali daging, saya berkatekese,” cerita Mgr. Agus.
Dengan cara itu, Mgr. Agus menjadi wakil Gereja yang terlibat langsung dalam kehidupan umatnya. Ia ingin membuktikan, Gereja tidak pernah tuli mendengarkan segala keluh kesah umatnya. Baginya, Suku Dayak menjadi tempat istimewa, bukan karena ia lahir sebagai orang Dayak, tetapi panggilannya adalah sebagai gembala bagi mereka.
“Saya memiliki misi agar menghentikan pemikiran di kalangan masyarakat Dayak di pedalamam, di mana mereka menganggap Gereja itu misterius. Pandangan ini muncul, karena para pelayan pastoral terlalu menutup rapat pintu pelayanan bagi umat kecil. Di KAP, semua harus terbuka lebar, seterang-terangnya, tidak ada lagi Gereja yang misterius,” tegasnya.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP NO.06 2020, 9 Februari 2020