HIDUPKATOLIK.com – Uskup Agung Pontianak, Mgr. Agustinus Agus (71 tahun) merayakan 20 tahun tahbisan episkopatnya. Awalnya, ia menjabat Uskup Sintang sejak tanggal 6 Februari 2000. Namun pada tanggal 3 Juni 2014, Paus Fransiskus mengangkat kelahiran Lintang Pelaman, di tepi Sungai Kapuas, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat (Kalbar) ini menjadi Uskup Agung Pontianak. Ia menggantikan Mgr. Hieronymus Bumbun, OFMCap alias ia “naik kelas” dari uskup sufragan ke uskup metropolit, sesuatu yang diakuinya tidak pernah terpikirkan.
Menjadi pastor paroki adalah cita-citanya. Dengan menjadi pastor paroki, ia bisa bergaul dekat dengan umatnya dan mencari solusi atas persoalan yang dihadapi di sana. “Panggilan saya adalah menjadi imam. Menjadi uskup agung bukan target. Kalau Takhta Suci menunjuk saya menjadi uskup agung, itu risiko panggilan saya. Saya diberi tanggungjawab,” ungkapnya dalam buku yang diterbitkan menandai 20 tahun episkopatnya ini.
Sejak menjadi pastor paroki, Mgr. Agus dikenal sebagai orang lapangan, lincah, cepat mengambil keputusan, dan tegas. Ia bak panglima perang yang mengerahkan segala kemampuannya ke medan laga. Jalan kaki, naik speedboat atau motor ke pedalaman untuk mewartakan firman Allah; sebagai uskup, empat belas tahun di Keuskupan Sintang, dan enam tahun terakhir dan seterusnya di Keuskupan Agung Pontianak (KAP).
Tampil apa adanya, tidak pernah jaim, dan pandai menjalin relasi dengan semua kalangan, suka menyanyi, membuat Mgr. Agus diterima oleh semua kalangan masyarakat yang berbeda suku, etnis, agama, jabatan, dan lain-lain. Prinsipnya, jikalau bisa membangun relasi yang baik dan harmonis dengan semua pemangku kepentingan, akan mudah mencari akar permasalahan yang muncul, dan mencari solusi. Karena itu, ketika diangkat menjadi uskup (agung), ia tak segan-segan menyambangi tokoh agama dan masyarakat, pejabat tinggi sipil dan militer di Kalbar. Dekat tapi tetap ada jarak, menjadi kebajikan yang dipegangnya. Kalau merasa tak berkenan, ia tak sungkan-sungkan menyampaikan pendapat, pun kritiknya.
Pendekatan pastoral membangun relasi dan berjejaring, menurutnya akan menjadi jalan yang akan dia prioritaskan ke depan. Dengan relasi yang baik, jejaring yang luas, komunikasi dialogis akan lebih mudah dibangun dengan tetap menjunjung tinggi keberagaman masyarakat yang ada di Kalbar. Kendati Suku Dayak merupakan etnis mayoritas di “Provinsi Khatulistiwa” ini, justru menjadi tantangan tersendiri dalam reksa pastoral.
Di usianya yang sudah kepala tujuh, Mgr. Agus “hanya” memiliki beberapa tahun ke depan untuk mewujudkan mimpi-mimpinya membangun KAP sebelum ia menggunakan hak “prerogatifnya” mengajukan pensiun kepada Takhta Suci, saat mencapai usia 75 tahun. Sebagai salah satu “lumbung” umat Katolik di Indonesia, peningkatan kualitas sumber daya manusia, masalah kemiskinan, keterbelakangan, dan harmonitas sesama anak bangsa di wilayah Kalbar ke depan kiranya menjadi agenda prioritas pastoral tersendiri bagi “sang panglima”, Mgr. Agus!
HIDUP NO.06 2020, 9 Februari 2020