web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Menjaga Iman, Merawat Tradisi

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Pertumbuhan umat Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda Tangerang tidak lepas dari penduduk Tionghoa yang sudah berdiam di Tangerang lebih dari tiga abad.

Tangisan Aloysius Irwan Setiawan pecah saat menceritakan kisah keluarganya sampi akhirnya menganut ajaran Kristiani. Terbata, Irwan berkisah
tentang ibunya. Sebelumnya, sang ibu bisa dibilang mengikuti agama tradisi atau agama leluhur. Hingga akhirnya, ibunda Irwan dibaptis menjadi Katolik.

Saat ini, Irwan adalah satu dari ribuan umat Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda (HSPMTB), Tangerang, Banten, Sebagai keturunan Tionghoa dan menetap di Tangerang, maka ia juga dikenal sebagai Cina Benteng.

Butuh Pegangan
Sebagai seorang keturunan Tionghoa, sejak kecil Irwan dididik untuk selalu “nurut” orangtua. Salah satunya menurut Irwan adalah soal agama yang harus dianut. Sebagai seorang Tionghua, ada beberapa ikatan tradisi dan budaya leluhur yang
masih dijalankan Irwan. Sembahyang Ce It dan Cap Go menjadi dua contoh laku spiritual yang dijalankan sebagai warisan keluarga. “Jadi kami hanya mengikuti agama orangtua apa, ya kami manut,” ujar Irwan.

Irwan menjelaskan, dalam tradisi Tionghoa ada yang disebut “Samkau”, yaitu istilah dalam dialek Hokkian atau Tridharma, yang berarti ‘tiga ajaran’. Tiga ajaran yang dimaksud adalah Taoisme, Buddhisme dan Konghuchu (Konfusianisme). Namun, jelas Irwan, belakangan ini, ajaran tersebut menjadi sudah tidak tergabung lagi. “Buddha terpisah, Konghucu terpisah,” tambahnya.

Sebagai pribadi yang seiring waktu semakin dewasa, Irwan meyakini, bahwa untuk hidup, seorang harus memiliki pegangan. Dalam titik ini, batin Irwan pun merasa tidak tenang. Ia harus punya pegangan iman. Kemudian, pria kelahiran
Tangerang tahun 1948 ini diajak masuk Katolik oleh seorang iparnya. “Waktu itu saya sudah menikah dan mempunyai dua orang anak,” kenang Irwan.

Atas tawaran ini, Irwan melihat adanya nilai-nilai mulia yang ia jumpai dalam kekatolikan. Alhasil, ia pun dibaptis bersama seluruh sekeluarga dibabtis pada tahun 1978 di Gedung Olahraga Tangerang.

Menurut umat lingkungan St. Yusup Pasar Lama ini, seseorng butuh mempunyai iman agar terus bertahan pada kehidupan. Lagi, tidak begitu saja dapat bergabung menjadi anggota Gereja. Ada tahap-tahap yang harus dilalui, lagi pelajaran yang harus diikuti sebelum seseorang dapat dibaptis. “Orang yang mau masuk Katolik itu harus belajar tentang agamanya dulu, dan selama pembelajaran diimbangi dengan praktik beribadah. Tidak sembarangan bisa masuk Katolik,” jelasnya.

Saat masa katekumen, Irwan mempelajari sungguh-sungguh apa yang akan ia pegang sampai akhir hayatnya. Pertanyaan apakah agama Katolik ini baik bagi hidupnya di masa mendatang, adalah pertanyaan yang tentu saja ia ajukan juga pada saat itu. Namun, lambat laun, ia menyakini,
bahwa Yesus adalah jalan kebenaran dan kehidupan.

Setelah Irwan menjadi Katolik, sang ibu pun memiliki ketertarikan untuk mengikuti jejaknya. Irwan pun bahagia mendengar ketertarikan ini. Namun, ibunya itu memberi syarat, ia harus sembuh terlebih dahulu dari sakitnya.

Pedih hati Irwan mendengarkan permintaan sang ibu yang menurutnya kurang pantas ini. Baginya, jika memang berkehendak memeluk suatu agama, tidak seharusnya pandang bulu. “Maka saya berdoa kepada Tuhan. Kami diajarkan tidak boleh
menentang orangtua jadi kami menuruti Beliau,” ungkapnya.

Tuhan menjawab permintaan Irwan. Ibunya pun sembuh. Selang tiga tahun setelah Irwan dan keluarganya dibaptis, ibunya mengikuti katekumen.

Kisah lain datang dari Anna Maria Muljati. Warga peranakan Tionghoa ini dibaptis menjadi Katolik saat duduk di bangku SMA. Umat lingkungan Maria Bunda Yesus ini akrab disapa Mumu.

Setiap pulang sekolah, Mumu senang jalan kaki ke daerah Pasar Lama untuk ke vihara sembahyang Ce It dan Cap Go. Altarnya, Mumu menjelaskan, tertulis Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian sekelilingnya adalah para dewa-dewinya.

Namun, perjumpaan Mumu dengan kekatolikan baru benar terjadi saat ia bersekolah di SMA Strada. Di Strada saat itu, Mumu menambahkan, hanya ada satu agama yang diajarkan yakni agama Katolik. Alhasil, ia pun mempelajari kekatolikan sebagai syarat untuk mendapatkan nilai. “Setelah masuk SMA Strada inilah, saya baru mengenal agama Katolik,” ungkapnya.

Namun setelah mempelajarinya, ia pun tertarik untuk dibaptis. Tahun 1981, ibunya meninggal. Setahun kemudian Mumu dibaptis.

Agama dan Tradisi
Kendati demikian, Irwan dan Mumu tetap memegang identitas mereka sebagai etnis Tionghoa. Sejak mengimani Yesus, Irwan mengakui, keluarganya sudah tidak melakukan ritual apapun. Termasuk saat Imlek.

“Dulu sebelum menjadi Katolik, saya menikah dengan upacara Ciao Tao. Namun setelah semua anggota keluarga masuk Katolik, anak sudah menikah dalam Gereja. Tradisi dan ritual, kami sudah tidak melakukannya,” jelas Irwan.

Ada anggapan, apabila seseorang sudah memiliki agama maka tradisi akan terlupakan. Namun bagi Irwan, itu semua tergantung invidu masing-masing. Kalau untuk Imlek, Irwan menambahkan, ia tetap merayakan tetapi secara biasa saja.

Berbeda dengan Irwan, Mumu hingga kini masih melakukan tradisi warisan leluhur yang ada. “Kebetulan ipar agamanya Buddha, maka kami masih memelihara meja altar peninggalan mama. Jadi setiap Ce It dan Cap Go ya sembayang di situ,”
ungkapnya.

Sembahyang di altar leluhur dalam setahun dilaksankan sebanyak enam kali, tiga kali sembahyang besar dan tiga kali sembahyang kecil. Mumu mengakui, dirinya dan keluarga masih melangsungkan sembahyang besar yakni pada malam Tahun Baru Imlek (Cia Gwee Ce It), peristiwa ini diartikan juga sebagai makan malam menjelang tutup tahun. Sementara pada pada
Minggu pertama bulan April diadakan sembahyang Chengbeng. Sedangkan pada bulan ke tujuh ada sembahyang rebutan atau Chioko atau sembahyang Cit Gwee.

Mumu mengikuti juga beberapa kali seminar tentang budaya Tionghoa yang diadakan di Paroki Tangerang. Pada kesempatan ini, ada pandangan-pandangan baru yang ia peroleh tentang bagaimana mendoakan para leluhur. Dengan tetap
menggunakan hio, isi doa yang dipanjatkan berubah. “Bisa dikatakan berdoa kami dulu secara langsung menyebut nama leluhur, contoh papa mama makan ya kemudian kami menyebutkan sayurnya di meja ada apa saja, istilahnya, mereka yang telah meninggal diajak pulang untuk makan,”
jelas Mumu.

Namun setelah menjadi Katolik, doa Mumu dan keluarga langsung dipanjatkan kepada Tuhan. “Contohnya kami mohon pengampuan dan diberikan rahmat baik untuk para leluhur kami,” tambahnya. Menurut Mumu dan seperti dikatakan pula oleh Irwan, bagaimanapun hormat terhadap orangtua adalah sebuah kewajiban.

Karina Chrisyantia/Yanuar Marwoto

HIDUP NO.04 2020, 26 Januari 2020

ARTIKEL SEBELUMNYA
ARTIKEL SELANJUTNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles