HIDUPKATOLIK.com – Ia melihat ribuan pasiennya dalam situasi yang paling sulit. Rumah sakitnya dibom, rumahnya menjadi sasaran serangan, namun ia tidak pernah pergi dan masih bekerja di Nuba hingga hari ini.
Ketika pemimpin dunia enggan memberikan perhatian kepada daerah terpencil rawan konflik di area perbatasan Sudan Utara dan Sudan Selatan, seorang pria berkepala plontos tetap setia hidup bersama masyarakat yang terpinggirkan. Padahal, ia baru saja berada di titik nadir hidupnya ketika sebuah bom dijatuhkan di area tempat ia bertugas. Bom itu hanya berjarak satu setengah meter dari tempatnya berdiri. Namun dalam suasana yang mencekam tahun 2014 itu, ia tetap memilih bertahan bersama dua orang suster misionaris dan seorang imam agar dapat merawat masyarakat yang terluka akibat ledakan bom.
Dokter yang murah senyum itu dikenal dengan nama Tom Catena. Sejak serangan pertama tahun 2014 yang langsung mengarah ke rumah sakit milik Keuskupan El-Obeid, ia semakin giat memberikan dirinya di area Kordofan tepatnya di Pegunungan Nuba di mana sekitar 50 suku Afrika menempati wilayah itu. Pegunungan Nuba dikenal kaya akan mineral sehinga negara mau memiliki wilayah ini tetapi tidak dengan masyarakatnya. Uskup Emeritus Keuskupan El-Obeid, Mgr. Macram Max Gassis membenarkan hal itu. Gerak tendensius ini juga dilihat Tom ketika hampir secara pasti rumah penduduk dihancurkan dan ladang pertanian mereka dibakar dengan tujuan agar masyarakat tidak memiliki tempat tinggal dan mati kelaparan.
Situasi konflik pun kian memanas. Hampir setiap hari, pemerintah Sudan menjatuhkan bom atau peluru ke warga sipil di Pegunungan Nuba. Tindakan ini adalah bagian dari strategi bumi hangus untuk mengalahkan pemberontakan bersenjata di Nuba. Banyak orang termasuk tenaga sukarela medis terlatih memutuskan untuk meninggalkan Nuba.
Tom mengisahkan pada Juni 2018, kembali terjadi serangan menggemparkan. Peristiwa traumatis itu pun membuat banyak orang angkat kaki dari Nuba pada dini hari termasuk ahli anestesi. Maka saat sekitar pukul 08.00 pagi, Tom yang hanya bersama dengan dua suster misionaris tak terlatih secara medis langsung menyingsingkan lengan baju merawat ratusan pasien ledakan bom. Tom mengaku ia tidak pernah menjalankan prosedur anestesi sebelumnya. Keadaan mendesak itu membuatnya melakukan tindakan itu untuk pertama kalinya agar setiap pasien dapat masuk ruang operasi. “Saya tahu kapasitas saya. Saya bukan manusia super dan saya sadar tidak bisa melakukan anestesi. Tetapi, ketika berhasil melakukan prosedur itu, saya tahu ini semua karena kekuatan Tuhan yang menuntun saya,” ungkapnya.
Selama sembilan tahun Tom adalah satu-satunya dokter permanen yang ada di Nuba. Ia melayani lebih dari 700.000 pasien. Ia melakukan tindak operasi sebanyak 1200 tindakan dalam setahun. Merawat sekitar 500 pasien setiap hari dan nyawa yang telah ia selamatkan tidak terhitung jumlahnya.
Tekad Misi
Sedari muda, kelahiran 26 April 1964 ini memiliki mimpi untuk membaktikan dirinya kepada panggilan misi. Jiwa misionernya kian menggebu saat memasuki tahun terakhir kelulusan sebagai mahasiswa Teknik Mesin, Universitas Brown, Amerika Serikat. Ia berkomitmen menjadi sukarelawan sebelum meraih gelar sarjana. “Sebelum lulus kuliah, saya memiliki misi menjadi seorang misionaris,” bebernya sambil mengenang.
Selepas wisuda, Tom menyadari, tidak ada pekerjaan misi bagi sarjana Teknik Mesin. Sekonyong-konyong ia mendapat ide melanjutkan studinya. Kali ini ilmu medis menjadi sasarannya. “Saya pikir ilmu ini yang paling masuk akal dan dibutuhkan dalam bermisi,” ungkapnya lugu. Tom kemudian menerima gelar medisnya dari Universitas Duke, dengan beasiswa Angkatan Laut (AL) Amerika Serikat. Selama tahun keempatnya di Duke, ia melanjutkan misi pertamanya ke Kenya tahun 1992. Saat di Kenya, ia menghadiri Misa harian di sebuah kapel kecil, sekali lagi panggilannya untuk melayani mereka yang tertindas dan terlupakan makin bergema di relung jiwanya. Panggilannya itu tetap ada bahkan ketika ia memutuskan bergabung dengan AL. Ia pun keluar dari AL tahun 1997 dan mengikuti mimpinya menjadi misionaris medis.
Komitmennya menjadi seorang misionaris semakin terasah kala menyanggupi menjadi relawan bagi “Catholic Medical Mission Board” (CMMB) tahun 2007. Ia diminta membantu Keuskupan El-Obeid membangun “RS Mother of Mercy” di Nuba. Rumah sakit ini adalah satu-satunya di Nuba. Medan sulit di Nuba pun menjadikan Tom sebagai ahli medis dalam segala hal, mulai dari mencabut pecahan peluru dari tubuh dan mengamputasi anggota tubuh anak-anak, ia juga diminta bantuannya untuk persalinan ibu dan menghilangkan usus buntu. Bahkan “The New York Times” menuliskan bahwa Tom adalah “Kristus” berdasarkan pengakuan yang diberikan salah seorang penduduk Muslim di Nuba bernama Hussein Nalukuri Cuppi. Hussein menjelaskan, Yesus menyembuhkan orang sakit, membuat orang buta melihat dan membantu orang lumpuh berjalan dan itulah yang dilakukan Tom setiap hari.
Penyelenggaraan Allah
Menjalani kehendak Tuhan tak semulus jalan tol, terkadang rasanya bak air diminum rasa duri, nasi dimakan rasa sekam. Hal inilah yang dirasakan mereka yang hidup dengan situasi penuh ancaman. Tantangan sehari-hari di area konflik membawa kekhawatiran tersendiri, tentu saja sejumlah tantangan praktis yang mengecilkan hati.
“Ada banyak frustrasi yang muncul beberapa kali sehari,” ujar Tom. “Kami memiliki sedikit profesional kesehatan terlatih, meskipun kami mendapatkan lebih banyak. Salah satu masalah terbesar kami adalah logistik. Mendapatkan barang-barang yang kita butuhkan ke lokasi bisa memakan waktu sebulan selama musim hujan. Kami juga harus mendapatkan semua yang dikirim lewat pesawat dari Kenya dengan harga sangat mahal. Ada beberapa bulan dalam setahun kita benar-benar terputus dari dunia luar dan kita harus puas dengan apa yang kita miliki,” paparnya.
Hidup di daerah yang dilanda perang di tengah pembatasan yang begitu parah akan cukup untuk mengubah siapa pun menuju keputusasaan. Meskipun dalam wadah penderitaan, Tom telah belajar menarik kekuatannya dari Tuhan, dan di dalam Dia, ada ketekunan dan keberanian.
“Ketika hidup mudah dan segalanya berjalan dengan baik, Anda mungkin merasa bahwa Anda tidak perlu bergantung pada Tuhan untuk kebutuhan Anda,” ungkapnya.
Ia melanjutkan, “Tetapi ketika Anda dihadapkan dengan ketidakpastian apakah akan bertahan hidup saat ini, ketika ada hal-hal menyedihkan yang terjadi di sekitar Anda, iman adalah satu-satunya hal yang bisa diandalkan. Iman saya yang membuat saya bertahan di Nuba.”
Tom juga mengaku pernah ditawari oleh keuskupan meninggalkan Nuba dengan pesawat keuskupan karena sadar tidak mampu memberikan jaminan keselamatan. Namun, ia menolak. “Saya sadar jika saya pergi meninggalkan mereka banyak dari antara mereka akan mati. Saya bukan tukang sihir, tapi saya menyadari inilah panggilan saya untuk menyelamatkan orang lain. Jika saya pergi itu berarti hidup saya lebih penting daripada hidup orang lain yang mana saya tidak setuju akan hal itu,” katanya tulus.
Tantangan yang demikian berat ini menghantarkan Tom untuk mengingatkan bahwa peran awam amat diperlukan Gereja. “Sekarang, lebih dari sebelumnya, Gereja membutuhkan kaum awam menyingsingkan lengan baju mereka dan mengambil bagian aktif dalam pelayanan, pendidikan, dan kesehatan,” tegasnya.
Tom melihat teladan pelayanan ini dari Santo Fransiskus Asisi. Melihat latar belakang Santo favoritnya yang tidak pernah ditahbiskan menjadi imam dan berasal dari keluarga kaya tetapi mau menjual segala harta miliknya dan pergi memikul salib lalu mengikuti Yesus mewartakan Kabar Gembira, menjadi salah satu peneguhan Tom bahwa peran awam signifikan.
Ia menegaskan, “Secara tradisional Gereja mengandalkan para imam, para rohaniwan untuk melakukan pekerjaan semacam ini. Tetapi sekarang tidak cukup dari mereka. Kita sebagai orang awam perlu terlibat.”
Katanya lagi, “Setiap orang memiliki sinar Allah. Jadi gunakanlah sinar itu karena Anda sudah memilikinya di dalam dirimu. Anda bisa melakukan sesuatu. Pakailah itu untuk membangun orang lain dan mintalah rahmat untuk memperoleh kehendak yang kuat,” tandasnya semangat.
Felicia Permata Hanggu
HIDUP NO.48 2019, 1 Desember 2019