HIDUPKATOLIK.com – Pendidikan di sekolah Katolik hanya akan berhasil kalau ada sinergi yang baik antara keempat stakeholder utama, yakni anak didik, keluarga, guru, dan Gereja.
Uskup Agung Semarang, Mgr. Robertus Rubiyatmoko menyampaikan, sekolah Katolik akan terus bertahan zaman in bila ada sinergitas antar banyak stakeholder. Pernyataan ini disampaikan Mgr. Rubiyatmoko saat membuka Konferensi Sekolah Katolik Indonesia 2020 di Auditorium Driyarkara, kompleks Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta.
Konferensi selama tiga hari, Jumat-Minggu, 10-12/1, mengusung tema, “Sekolah Katolik Unggul untuk Bangsa Bermartabat”, diikuti sekitar 800 guru dan pemerhati pendidikan Katolik dari berbagai daerah.
Menjadi Kolaborator
Hadir dan berbicara dalam acara yang diselenggarakan Komisi Pendidikan Konferensi
Waligereja Indonesia (Komdik KWI), Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK), Yayasan Terang dan Garam (Tegar), USD, Sekretaris Eksekutif Komdik KWI Pastor TB. Gandhi Hartono SJ, Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK) Pastor Vincentius Darmin Mbula, OFM, Ketua Yayasan Tegar Ferry Doringin, Rektor
USD Johanes Eka Priyatma, dan Iwan Syahril mewakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Mgr. Rubiyatmoko melanjutkan, anak didik, harus
meningkatkan kemampuan dasar untuk menerima dan menyebarkan ilmu serta menghidupnya. Keluarga harus menjadi kolaborator dan penunjang kegiatan di sekolah. Sedangkan guru, memberi
keteladanan dan mematik keingintahuan anak didik, sembari menjadi pengganti peran orangtua di sekolah. “Sementara Gereja sebagai kompas moral serta penggerak semangat perubahan dan pergerakan untuk melawan stagnasi kualitas pendidikan,” ungkapnya.
Mengenai identitas sekolah Katolik, diakui perubahan zaman tak mungkin dielakkan dan ditolak. Untuk itu, mau tak mau menuntut respons yang cepat dan tepat dari semua penyelenggara pendidikan, termasuk sekolah-sekolah Katolik. Perubahan zaman membawa konsekuensi nyata
terhadap dunia pendidikan, khususnya berkaitan dengan pola pemikiran, pengetahuan, dan ilmu pengetahuan. “Hal ini harus disikapi semua stakeholder pendidikan Katolik, baik oleh keluarga,
guru, maupun Gereja,” ujar Mgr. Rubiyatmoko.
Bicara tentang Sekolah Katolik, Pastor Gandhi
menambahkan perlu ada ikatan langsung dan erat antara sekolah dengan Gereja. Semua sekolah yang menggunakan nama atau bercorak Katolik
musti menyelenggarakan pendidikannya dalam arah dan nafas Gereja Katolik. Artinya, penyelengaaran pendidikan di sekolah Katolik tidak bisa dilepaskan dari jati diri dan misi Gereja Katolik yaitu sebagai paguyuban umat beriman yang mendapatkan perutusan dari Allah sendiri, untuk mewartakan Injil demi keselamatan umat manusia.
“Gereja sendiri menyadari tugas dan perutusan dari Allah, untuk menyelenggarakan pendidikan guna membantu orang-orang agar pemenuhan hidup manusiawinya, tanpa memandang apapun agamanya. Sebab pendidikan sekolah Katolik musti bermuara pada kesejahteraan dan keselamatan umat manusia,” jelas Pastor Gandhi.
Kekurangan Murid
Saat ini, persoalan sekolah-sekolah Katolik memang menjadi perhatian serius di berbagai Gereja. Perubahan zaman disinyalir menjadi penyebab sekolah-sekolah Katolik dituntut untuk berbenah. Salah satu persoalannya adalah
menurunnya jumlah murid yang otomatis membuat kondisi finansial juga terganggu.
Hal ini diakui Mgr. Rubiyatmoko. Ia menyebut situasi kekurangan murid memberi dampak terhadap perkembangan sekolah-sekolah Katolik. “Banyak pendidik Katolik sudah menjalankan tugas dengan baik tetapi selalu berbenturan dengan finansial. Tentu finansial ini berangkat dari kekurangan para murid,” jelas Mgr. Rubiyatmoko.
Keprihatinan terhadap berkurangnya murid dan krisis finansial ini diakui oleh Romo Darmin. Dalam pemaparan materinya, ia menjelaskan bahwa wajah sekolah Katolik di tengah masyarakat memang baik, namun kenapa jumlah muridnya kian menurun?
Menurut Romo Darmin, ada kecemasan lain di tengah masyarakat termasuk umat Katolik yang tidak mau mencari sekolah yang unggul untuk anak-anak mereka. Ada beberapa faktor, sebut
Romo Darmin, salah satunya kebijakan sekolah gratis. Masyarakat cenderung lebih memilih sekolah gratis dengan kualitas seadanya, ketimbang sekolah dengan kualitas baik namun harus membayar.“ Nah ini yang juga menjadi tantangan bagi MNPK bagaimana untuk mendesain ulang, bahwa di satu pihak diakui oleh masyarakat kualitasnya. Tapi di lain pihak justru tidak menjadi pilihan saat menyekolahkan anaknya,” ujarnya.
Situasi lain yang ditemukan dari analisa MNPK adalah kondisi keberagaman di sekolah-sekolah menjadi minat bersekolah ke sekolah-sekolah Katolik semakin menurun. Menguatnya polarisasi
antargolongan membuat masyarakat mulai pilih-pilih menyekolahkan anaknya. Ada yang beranggapan sekolah harus bernapas sama dengan iman anak. “Padahal pendidikan menurut saya adalah sebuah komunitas belajar peradaban bersama. Nah ini yang seharusnya dibuka kembali ruang-ruang publik seperti itu,” kata Romo Darmin.
Melawan Arus
Hal yang sama juga disampaikan Johanes. Secara spesifik, Johanes menuturkan, ada tiga problem
mendasar sekolah Katolik di era sekarang. Pertama, kebutuhan masyarakat berubah maka sekolah Katolik perlu mendefinisikan ulang keunggulan dan kekhasannya supaya kontribusinya tetap relevan dengan kebutuhan
masyarakat dan pembangunan bangsa.
Kedua, perubahan lingkungan sekolah yang cepat juga memunculkan tantangan kepemimpinan baru
yang menuntut kemampuan analisis, kecakapan mengelola perubahan, pengembangan kreativitas dan inovasi, serta penegasan nilai-nilai Kekatolikan yang tanggap zaman.
Ketiga, sekolah Katolik yang dikelola oleh banyak organisasi atau tarekat menghadapi model baru dalam membangun kolaborasi dan sinergi yang
produkif baik dengan sesama sekolah katolik, umat Katolik, maupun dengan berbagai pihak yang berkehendak baik supaya dapat terus berkembang,” pungkasnya.
Johanes mengusulkan, salah satu strategi yang dapat dikembangkan untuk menghadapi berbagai
tantangan sekolah katolik yakni dengan menerapkan good school governance (GSC). Sistem GSC dibangun oleh prinsip transparansi,
akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan fairness (TARIF). “Hal ini tentu tidak mudah diwujudkan karena secara tradisi banyak sekolah
Katolik lahir dan berkembang memakai model tata kelola tradisional yang tidak biasa menerapkan prinsip-prinsip tersebut,” ujarnya.
Maka itu, dalam Konferensi Sekolah Katolik Indonesia 2020 ini, para peserta dan pembicara
sepakat bahwa sekolah-sekolah Katolik menyepakati agar perlu “melawan arus”. Caranya
yakni memberikan perhatian besar bagi pendidikan iman, kepribadian, karakter, dan kompetensi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Iwan menjelaskan, sekolah-sekolah Katolik mestinya memiliki keunggulan yang bermuara kepada kesejahteraan dan keselamatan umat manusia,
dalam arti sangat luas. Sekolah Katolik punya keunggulan dan kekhasan. Misal, dalam pola pendidikannya, memberi perhatian secara integral pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ia menambahkan, sekolah Katolik, hanya akan memiliki kekhasan dan keunggulan manakala berani ambil risiko dengan melawan arus umum,
dengan memberi perhatian besar bagi pendidikan iman, kepribadian, karakter, dan kompetensi.
Bambang S./Eka Ardiani (Yogyakarta)
HIDUP NO.03 2020, 19 Januari 2020