HIDUPKATOLIK.com – Media bisa menyatukan dan juga menjadi biang intoleransi. Untuk itu, media dan juga wartawan diharapkan tidak bias dalam mengolah informasi.
Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dengan didukung oleh Ford Foundation dan Jakarta Creative Hub menyelenggarakan acara Festival Keberagaman “Beda Ragam, Saling Sapa” di Jakarta Cretoive Hub, Jakarta Pusat, 9/1. Dalam sambutannya, Direktur Eksekutif PPMN, Eni Mulia mengatakan, ada suatu keanehan yang terjadi, kemajuan teknologi informasi yang pesat, meski bisa menyatukan manusia, namun dalam kesempatan lain juga menciptakan polarisasi.
Alasan inilah yang menjadi latar belakang PPMN
mengadakan kegiatan bertema keberagaman dan persatuan ini. Eni menuturkan, di zaman ini, setiap anggota masyarakat perlu menggunakan sarana
informasi untuk semakin menyatukan satu dengan
yang lain. “Acara ini diadakan karena menyadari bahwa saat ini kita hidup di era yang agak aneh menurut saya. Teknologi yang pesat sudah menyatukan manusia dalam ruang dan waktu. Tetapi kenyataannya saat ini, polarisasi semakin
kuat dirasakan,” tuturnya.
Menurut Eni, di zaman ini, dengan mudahnya seorang individu mengkotak-kotakan individu lainnya. Tindakan ini sontak membuat pemisah
antara satu pribadi dengan yang lain. “Kita mengotakkan diri kita ke dalam sebuah kotak yang kita ciptakan sendiri,” tambahnya.
Sering kali dalam situasi seperti ini, Eni menjelaskan, media dijadikan sasaran kemarahan. Media dianggap sebagai penyebab. Hal ini terlihat juga karena semakin banyak distrupsi digital, disinformasi, dan sebagainya. Hal ini dianggap menjadi penyebab pengotak-kotakan manusia. Belum lagi, lanjut Eni, semakin banyak hate speech dan tindakan intoleransi yang dirasakan masyarakat.
Atas kekhawatiran ini, PPMN pun mengadakan
sebuah survei mengenai inisiatif masyarakat merawat keberagaman. Survei dengan teknik “solution journalism” ini ingin menggali pemahaman masyarakat tentang tindakan intoleransi. Apakah hal ini mereka nilai juga sebagai masalah dalam kehidupan bersama. “Ini sebuah teknik yang sedang dipelajari. Yang coba mengangkat inisiatif masyarakat dalam menghadapi setiap masalah. Banyak masyarakat kita yang merasakan intoleransi sebagai masalah dan membuat inisiatif untuk menyelesaikan,” jelasnya.
Lewat upaya-upaya ini, PPMN ingin mengajak media untuk memenuhi ruang publik dengan pesan-pesan toleransi. Media perlu membuat konten, pesan, dan informasi yang menjaga toleransi melalui saluran informasi apapun.
Menurut Eni, usaha ini perlu dilakukan, baik melalui media masa atau sosial media.
Pada akhirnya, Eni berharap, agar penggiat tolarensi di sisi media masa, para pengerak sosial, juga para senimana dan creator, mereka bisa
berkumpul, berbagi, dan mencoba menawarkan solusi. Pertemuan semacam ini akan menjadi saat untuk saling menguatkan satu sama lain. Ia berharap, segala tindakan intoleransi dapat semakin menemukan solusi yang semakin baik.
Sementara itu, Dosen Jurnalistik dan Pemerhati
Politik Indonesia dari Universitas George Washington, Amerika Serikat, Janet Steele menyampaikan, pada setiap zaman, ada beragam
fenomena yang mewarnai media dan bagaimana hal ini berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Ia menyebutkan, berbagai macam jurnalisme berkembang di beberapa era, seperti di tahun 1990-an ada yang dikenal dengan “civic journalism”. Kemudian, mulai tahun 2000-an, berkembang menjadi “peace journalism”. Menurutnya, jurnalisme, selain dikemas menarik
dan inspiratif, selalu harus mengandung juga keadilan di dalamnya.
Hal ini yang juga ditegaskan oleh junalis senior, Andreas Harsono. Persoalan intoleransi, baginya, semakin muncuat karena infrastrukturnya memang sudah disediakan. Ia memberi catatan, wartawan harus independen dan bebas dalam menyampaikan setiap informasi. “Maka wartawan
harus menghindari bias,” ungkapnya. Diskusi publik ini juga dihadiri oleh Koordinator Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, dan Kartunis Malaysia,
Zunar sebagai narasumber.
Karina Chrisyantia
HIDUP NO.03 2020, 19 Januari 2020