HIDUPKATOLIK.com – Manusia pada hakikatnya adalah tukang cerita dan “tenun” cerita. Salah satu cerita manusia adalah perihal bagaimana dia mencipta lagu, secara khusus lagu rohani etnik liturgi yang membutuhkan kekuatan rohani melalui Roh Kudus. Kisah atau cerita dan argumentasi padat tak terbantahkan dirangkum Pater Karl-Edmund Prier, SJ, dalam tulisan “Suara Orang yang Terlupa” (HIDUP, Edisi 44, Tahun ke-73, 3 November 2019). Tulisan reflektif ini hendak memperlihatkan, sekaligus mengigatkan kembali, bahwa mencipta lagu rohani secara khusus etnik liturgi tidak boleh instan.
Saya berusaha membaca ulang tulisan Pater Prier ini. Hal pertama yang dapat saya pahami, bahwasanya ia menulis secara halus namun menohok. Dengan menampilkan tempat-tempat sederhana, sang begawan lagu rohani Katolik ini hendak menandaskan, bahwa dari tempat sederhana, dapat tercipta lagu rohani yang luar biasa, yang bernuansa etnis liturgis. Salah satu buktinya adalah lagu-lagu yang dipakai saat Perayaan Ekaristi, yang dipimpin Paus Yohanes Paulus II di Medan, Sumatera Utara pada tanggal 10 Oktober 1989. Semuanya adalah hasil lokakarya yang diselenggarakan Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta bersama Komisi Liturgi Keuskupan Agung Medan (Komisi Liturgi KAM). Tempat lolakarya itu berada di dekat rel kereta api di pinggiran Kota Pematang Siantar.
Sebelum lokakarya, Komisi Liturgi KAM – di bawah arahan Pater Benyamin A. C. Purba, OFMCapmengumpulkan dan menseleksi banyak orang yang mengerti tentang lagu dan ajaran Gereja Katolik. Saya mengingat proses ini cukup panjang. Lalu selama lokakarnya suasana banyak hening aktif. Hasilnya, tercipta lagu yang padat, bernas, dan menyejukkan jiwa.
Kedua, Pater Prier mampu memperlihatkan data, bahwa Madah Bhakti sudah memuat begitu banyak lagu terpilih yang khas Indonesia (238 lagu) lengkap dengan aransemen Paduan Suara. Dengan data ini hendak ditegaskan lagi, “Ini sajalah dulu kita pakai karena lagu-lagu ini lahir dari orang-orang sederhana seperti petani, nelayan, pemusik di daerah terpencil yang tentu masih punya nurani mendalam.”
Ketiga, Pater Prier hendak berseru, “Hei saudara di Lembaga Pemberdayaan dan Pengembangan Pesparani Katolik Nasional (LP3KN) agar jangan sumir dalam hidup. Kamu hendak membumikan lagu etnik liturgi, tetapi pelaksanaan di hotel bintang. Ikuti proses alamiah, misalnya, kalau mau mencipta lagu etnik liturgi Dayak, ciptakanlah bersama orang Dayak dan di tanah Dayak.”
Keempat, Pater Prier yang kaya akan pengalaman rohani ini hendak berkata, apapun ceritanya mencipta lagu etnik liturgi harus selalu diiringi dengan kegiatan rohani. Penciptaan lagu ini harus berjalan dengan iringan doa, Ekaristi, meditasi dan membaca ajaran Gereja.
Terima kasih banyak atas nasihat Pater Prier yang baik dan murah hati. Pater telah mengingatkan kami, secara khusus LP3KN, agar bekerja dengan hati dan iman. Ia juga sekaligus menyadarkan, bahwa dana yang digunakan LP3KN berasal sebagian besar dari negara, yang berarti berasal dari pajak masyarakat dan juga tentu dari para donatur.
Jangan sampai dana kehilangan arah, seperti yang ditegaskan uskup-uskup kita saat proses pembentukan LP3KN ini. Ingat masih banyak saudara kita yang menderita. Jangan paksakan anggaran harus habis dengan membuat kegiatan di tempat mewah. Prinsip Gereja Katolik jelas: Prefrential option for the poor ‘keberpihakan pada kaum terpinggirkan’.
Moses Elias Situmorang, OFMCap
HIDUP NO.47 2019, 24 November 2019