HIDUPKATOLIK.com – Jabatan kardinal adalah jabatan pelayanan. Kardinal bukan sedang menaiki tangga kekuasaan, tetapi sedang menuruni anak tangga pelayanan.
Maroccan Philharmonic Orchestra menyajikan penampilan memukau. Tiga penyanyi mewakili tiga Agama Abrahamik membawakan lagu rohani yang sarat pesan. Semua mata memandang mereka ketika tiga pemuda beragama Islam, Yudaisme, dan Katolik saling berpelukan di akhir lagu. Penampilan ini terjadi saat Paus Fransiskus mengunjungi Maroko Maret 2019. Dalam pertemuan dengan Raja Maroko Mohammed VI, ia menyampaikan pesan persaudaraan. “Kita bersaudara. Tak ada yang bisa memisahkan. Ini takdir Tuhan. Kamu dan aku, lahir dari satu Allah yang sama: penuh belaskasih,” demikian pesan lagu yang dibawakan tiga penyanyi itu.
Namun, kunjungan ini bukan satu-satunya usaha Paus Fransiskus untuk menuai perdamaian di Maroko. Dalam konsistori sebulan lalu, ia mengangkat Uskup Agung Rabat, Mgr. Cristóbal Romero López, SDB sebagai kardinal.
Bukan Orang Asing
Di mata Paus Fransiskus, Kardinal Cristóbal bukan orang asing lagi. Ia pernah terlibat dalam sebuah misi perdamaian yang disponsori Takhta Suci. Ia pernah menjadi anggota Dewan Kepausan untuk Dialog Antar-Agama. Saat itu, ia bertugas memelihara hubungan dengan agama-agama non Kristen, melalui dialog dan kerjasama demi perdamaian dunia. Di dewan ini, Kardinal Cristóbal mendapatkan kepercayaan sebagai anggota komisi yang secara khusus menangani hubungan Katolik dan Islam di Benua Afrika Utara.
Ketika Paus Fransiskus menginjakkan kaki di Maroko, Kardinal Cristóbal adalah “pembisik” utama soal toleransi di Afrika Utara. Lewat Cristóbal juga, Paus bisa membaca dengan jeli, keinginan dan harapan umat Katolik di Maroko. Meski dunia selalu menyoroti dua figur yaitu Raja Mohammed VI dan Paus Fransiskus sebagai figur pluralis, tetapi di balik itu ada peran Kardinal Cristóbal. Gerak pastoralnya tak hanya menjangkau kemanusiaan biasa, ia melampui batasbatas religius, budaya, dan politik.
Jala perdamaian Kardinal Cristóbal ditunjukan sejak ia diangkat sebagai Uskup Agung Rabat pada 29 Desember 2017. Saat itu, ia mendesak Gereja Katolik Maroko keluar dari zona nyaman. Ia mengajak Gereja membangun dialog dengan umat beragama lain di Maroko. Sejak itu, pesan-pesannya selalu menyentuh sisi humanis Agama Islam agar membuka pintu dialog bagi kaum minoritas.
Dalam berbagai kesempatan, Kardinal Cristóbal mengingatkan umat Islam, agar belajar dari pengalaman radikalisme yang pernah melukai perdamaian di Maroko. Tahun 2003, Maroko diguncang aksi pemboman oleh teroris di Casablanca yang menewaskan 43 orang. Luka lama ini dengan cepat disembuhkan oleh Kardinal Cristóbal dengan mereformasi kebijakan-kebijakan agama dan pendidikan untuk mencegah berkembangnya fundamentalisme.
Kardinal Umat Islam
Di sekolah-sekolah Katolik Maroko, Kardinal Cristóbal mendorong dimasukkannya pelajaran tentang toleransi kepada anak-anak. Sementara dari kalangan umat Muslim didirikan Institut Mohammed IV, sebuah lembaga pendidikan calon ulama yang mengajarkan Islam moderat. Saat kunjungannya ke Maroko, Paus Fransiskus terkesima dengan institut ini. Begitulah, bukan sebuah kebetulan bahwa pesan perdamaian dari tempat ini sampai ke telinga Paus. Semua berkat Cristóbal. “Nyatanya lewat banyak cara Kardinal Cristóbal selalu membuktikan perdamaian itu dengan kehadirannya dalam membangun dialog. Dia adalah ‘serigala” bagi perdamaian di Maroko,” ungkap Raja Mohammed VI saat mengomentari penunjukkan Mgr Cristóbal sebagai kardinal.
Bila kalangan kerajaan menyebutnya sebagai “serigala”, sebagian besar umat mengenalnya sebagai tokoh perdamaian. Kardinal Cristóbal baik hati dan dekat dengan semua umat dari kalangan manapun. Ketika ia diwawancarai wartawan dari media lokal Maroko tentang alasan Paus memilihnya, ia mengatakan, “Paus ingin umat Muslim di Maroko memiliki seorang kardinal,” ujarnya.
Tak salah bila dikatakan pengangkatan Kardinal Cristóbal dilihat sebagai sebuah pengakuan dan dukungan pimpinan Gereja Katolik atas upaya berbagai negara dalam merawat harmonisasi. Hal ini juga yang melatarbelakangi sejumlah kardinal yang ditunjuk beberapa berasal dari negara dengan berpenduduk terbanyak Muslim seperti di Indonesia, Maroko, dan Republik Demokratik Kongo.
Dialog Kemanusiaan
Kardinal Cristóbal merasa sedih sebab dalam lima tahun terakhir angka migrasi yang fantastis menunjukkan bahwa Maroko kini merupakan negara yang menjadi landasan utama bagi berlabuhnya para migran yang ingin menyeberang ke Eropa melalui Laut Mediterania. “Disayangkan bahwa Maroko dikunjungi penduduk Afrika lainnya tanpa visa. Maroko menjadi pintu gerbang utama bagi para migran ke Eropa sejak kebijakan garis keras imigrasi Italia dan penjaga pantai Libya membatasi jumlah orang yang datang,” jelasnya.
Sebuah angka yang fantastis juga terjadi tahun 2018 di mana otoritas Maroko berhasil membongkar sebanyak 229 jaringan perdagangan manusia. Di tahun yang sama, Maroko berhasil menyelamatkan sekitar 29 ribu imigran yang terkatung-katung di lautan. Jumlah ini seakan tak ada artinya, sebab hanya sekitar lima ribuan imigran yang dengan suka rela kembali ke negara asal mereka. Ini berarti, masih ada ribuan imigran yang berusaha menyeberang ke Eropa dengan cara apapun. “Ini tugas yang tidak mudah, tetapi bagi saya inilah puncak dialog kemanusiaan yang sesungguhnya. Retorika tentang persaudaraan sudah selesai dalam dialog, kini saatnya dialog itu dibangun dengan keterlibatan menolong para imigran ini,” ujar Kardinal Cristóbal.
Kardinal dari Kongregasi Salesian ini merefleksikan lebih jauh soal jabatan barunya. Baginya, jabatan kardinal bukan sebuah prestasi yang membanggakan. Dengan jabatan ini, ia tidak sedang melewati satu tangga menuju tangga yang lain. Sebenarnya, menjadi kardinal adalah hamba dari segala hamba. “Saya harus menjadi hamba bagi kawananku, kawanan Muslim, hamba migran, dan hamba bagi Paus. Saya bukan sedang menaiki tangga kekuasaan, tetapi sedang menuruni anak tangga pelayanan.”
Untuk semua ini, Kardinal Imam San Leona I ini akan terus mewujudkannya dengan literasi perdamaian untuk seluruh dunia. Baginya iman tidak perlu diperdebatkan dan menyebabkan ketegangan dunia. Iman harusnya menjadi solusi untuk masalah-masalah dunia. “Kita harus menabur rekonsiliasi dan keadilan bagi semua orang tanpa harus bertanya anda beragama apa, dari mana, suku bangsa apa. Kita adalah saudara dalam Tuhan,” tegasnya.
Kardinal Cristóbal Romero López SDB
Lahir : Vélez-Rubio, Almería, 19 Mei 1952
Pendidikan :
• Strata Satu di Seminari Salesian di Barcelona
• Ditahbiskan Imam 19 Mei 1979
• Magister di School of Journalism Autonomous University of Barcelona.
Jabatan :
• Direktur Buletin Salesia Asunción (1992-1994)
• Provinsial Salesian Provinsi Paraguay (2000-2002)
• Direktur Misi Salesian di Paraguay (2003-2011)
• Direktur Pusat Formasi Profesional di Kénitra, Maroko (2011-2014)
• Provinsial Salesian Provinsi Bolivia (2014)
• Uskup Agung Rabat 29 Desember 2017
• Administrator Apostolik Keuskupan Tangger, Maroko 24 Mei 2019
• Dilantik Paus Fransiskus sebagai Kardinal pada 5 Oktober 20199
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP NO.47 2019, 24 November 2019