HIDUPKATOLIK.com – Saya sudah menikah selama 21 tahun. Kami mempunyai dua anak; si sulung sudah menikah dan si bungsu kelas 4 SD. Sejak awal menikah sampai sekarang, saya mencari nafkah untuk keluarga, sementara suami selalu memakai tabungan untuk usaha di luar kota tetapi usahanya tidak pernah berhasil. Total uang yang terpakai sudah lebih dari satu miliar rupiah. Ketika saya tagih hutangnya, suami marah. Dia mengumpat, bahkan saya disebutnya pelacur. Saya sudah tidak tahan dengan perkawinan ini. Saya sedih karena perkawinan sakramen tak bisa diceraikan. Saya pernah ditinggal suami selama setahun ketika saya mengandung anak kedua. Saya masih belum sepenuhnya bisa menerima perlakuannya dan saya menolak untuk berhubungan seksual. Apalagi, suami pernah berselingkuh. Mohon petunjuk Romo.
Jean, Jakarta
Ibu Jean yang terkasih, saya sangat mengerti perasaan Ibu yang diperlakukan tidak adil oleh suami. Perasaan itu tak salah, meskipun sebenarnya harus direnungkan sebagai bagian dari sebuah perjuangan hidup bersama dalam perkawinan. Permasalahan ini tetap menjadi keprihatinan, tapi barangkali beberapa masukan ini bisa membuat Ibu mempunyai permenungan lain mengenai perkawinan ini.
Keuangan dalam keluarga Ibu adalah persoalan yang memprihatinkan, meskipun sebenarnya pembagian harta bukan persoalan dalam sebuah keluarga. Ibu dan suami memang mempunyai hak yang sama dalam menggunakan uang bersama. Dalam Gereja Katolik tidak ditekankan adanya harta terpisah, karena semua hasil kerja adalah milik bersama. Persoalan Ibu adalah soal peran yang berubah dan kurang direspons baik oleh suami.
Suami yang tidak bekerja secara baik dan menghabiskan uang untuk suatu pekerjaan, barangkali membutuhkan dukungan dan diskusi yang mendalam dengan Ibu sebagai pasangannya. Jangan dibiarkan pengalaman “coba-coba” dan spekulasi ini tanpa komunikasi yang baik. Kesan saya, Ibu sendiri tak terlalu paham apa yang sedang dikerjakan suami.
Tidak lancarnya komunikasi bisa berakibat buruk, bukan hanya pada masalah finansial tetapi juga pada masalah relasi yang semakin buruk. Persoalan pertengkaran dan kata-kata yang kasar barangkali bisa diatasi juga dengan bertambahnya kualitas komunikasi. Komunikasi yang tidak lancar pasti berakibat banyak pada perkawinan dan keluarga. Banyak hal dapat diperbaiki melalui bicara dari hati ke hati.
Ibu dapat mengusahakan waktu bersama yang lebih akrab dengan merencanakan liburan bersama, atau acara keluarga dalam waktu yang lebih hangat. Pertengkaran sering bisa dikurangi dengan tersedianya waktu di mana pasangan tidak dalam situasi “bisnis” (karena yang dibicarakan adalah soal usaha kerja), melainkan situasi kekeluargaan yang mesra.
Hubungan seksual yang ditolak seperti sebuah lingkaran masalah. Ibu tidak bisa menerima suami, karena ia pernah berselingkuh; tetapi semakin tidak diterima, maka konsekuensi yang semakin pasti terjadi adalah hilangnya gairah untuk melakukan banyak hal bersama.
Ketika banyak hal tidak dilakukan bersama, hambatan komunikasi berikutnya yang Ibu alami adalah ketidakjujuran dan bahkan, tertutupnya kesempatan bicara. Ini akan memperumit masalah yang Ibu dan suami alami. Belum lagi jika hal ini berdampak pada anak-anak yang menjadi “penonton” sekaligus korban pertengkaran.
Maka, usulan saya, sebelum semuanya menjadi semakin sulit ditangani, berusahalah berdiskusi dan percaya. Demi perkawinan yang sakral, cobalah menempatkan harapan meskipun sangat sulit. Barangkali Ibu juga memerlukan pertolongan seorang konselor pribadi untuk membantu.
Mengenai uang yang sering diberikan untuk modal dan gagal dimanfaatkan, Ibu bisa lebih bijaksana dan memberi pengertian kepada suami untuk tidak terlalu besar berspekulasi. Bahkan, mengenai uang ini bisa menjadi bahan diskusi satu sama lain.
Semoga Ibu dan suami dapat memperbaiki situasi dengan baik. Tuhan memberkati.
Alexander Erwin Santoso MSF
HIDUP NO.47 2019, 24 November 2019