HIDUPKATOLIK.com – Universitas Parahyangan (Unpar) sebagai perguruan tinggi mempunyai tantangan tersendiri dalam mengarungi masa depan. Tantangan itu bisa macam-macam dan dalam beragam bidang. Misalnya, Unpar mempunyai tantangan pengembangan kurikulum dan metodologi pendidikan yang relevan bagi generasi milenials masa kini. Tetapi saya tidak mau berbicara tentang hal itu.
Sebagai lembaga pendidikan tinggi Unpar hadir dalam suatu konteks sosio-kultural tertentu yang menjaditantangan tersendiri. Konteks konkret ialah Kesundaan. Bagi saya konteks itu mengandung dalam dirinya secara inheren elemen budaya dan agama (Islam). Karena itu, tantangan ke depan, bagaimana mengembangkan pola relasi dialogis
yang sebaik-baiknya dengan budaya dan masyarakat Sunda yang dominan Islam.
Para pemikir di Unpar sungguh menyadari arti penting kedua hal itu. Kesadaran itu tampak dalam dua aktifitas yang akhir-akhir ini semakin kuat dilembagakan sehingga tidak lagi hanya menjadi obsesi individual peneliti dan pemikir, melainkan menjadi obsesi dan gerakan lembaga yang mendukung dan mewadahi individu dalam eksplorasi intelektualnya.
Dua aktifitas itu ialah berikut ini. Pertama, awal Desember 2019 silam, beberapa peneliti budaya Sunda Unpar (dimotori Stephanus Djunatan dan P. Fabianus S. Heatubun, Kepala Lembaga Pengembangan Humaniora) mengundang Jacob Sumarjo, pakar peneliti budaya Sunda. Hal ini
menunjukkan tekad serius para pemikir dan peneliti Unpar untuk senantiasa sadar akan konteks kultural dalam mana ia hidup, sebagaimana diteladankan Prof. Dr. N.J.C. Geise, OFM, Sang Fundantor Unpar (meminjam istilah yang dipakai tanpa ragu oleh P. Jan Sunyata, OSC tahun 1995). Menukik ke dalam rahim-kultur tempat Unpar hadir dan berada mengandaikan bahwa orang berharap menimba sesuatu dari rahim yang menghidupkan satu masyarakat tertentu selama ini, yang hidup di bumi Parahyangan. Para pegiat Kesundaan akhirnya sepakat mendirikan semacam Pusat Studi Sunda di Unpar. Jacob Sumarjo menjadi sumber ilham yang kuat.
Kedua, pusat studi lain yang lebih dulu hadir dan mapan, Pusat Studi Pancasila (digawangi Andreas Doweng Bolo). Saya menempatkan studi religiositas (termasuk Keislaman di Sunda) dalam
bingkai konteks ideologi Pancasila. Dalam salah satu kegiatan ilmiah Pusat Studi ini akhir November 2019 silam, saya didaulat menjadi narasumber bersama legislator PDI-P Adian Napitupulu. Saat itu saya membahas beberapa hal terkait peranan Pancasila dalam pendidikan humaniora. Secara khusus saya membahas tantangan hidup keagamaan di tengah masyarakat yang menuntut kita untuk mengembangkan sikap dan mentalitas yang oleh teolog Peter C. Phan disebut being religious interreligiously.
Di tengah konteks pluralisme agama dewasa ini, tidak cukup lagi kita hanya berusaha being religious saja (lebih baik becoming religious, lebih
dinamis) melainkan harus juga serentak membangun kesadaran akan fakta interreligious, fakta antar-agama yang tidak terhindarkan dan tersangkalkan. Being/Becoming religious adalah tantangan kesalehan individual-personal. Sedangkan aspek interreligiously adalah tantangan kesalehan sosial, tantangan kemanusiaanyang diupayakan lewat apa yang oleh Vatikan II (Nostra Aetate) disebut dialog karya, sebuah tantangan etis.
Unpar ingin mengembangkan kedua hal itu, being religious sekaligus interreligiously. Sebab sebagaimana kata Rabi Abraham Yoshua Heschel, no religion is an island.
Fransiskus Borgias,
Dosen dan Peneliti Fakultas Filsafat Unpar,
Koordinator MKU-Fenomenologi Agama.