HIDUPKATOLIK.com – Romo, akhir-akhir ini marak terjadi kasus bunuh diri, khususnya di kalangan public figure. Pada pertengahan Oktober lalu, saya membaca salah satu platform media di India, bahwa ada seorang romo gantung diri, tanpa meninggalkan pesan apapun. Bagaimana Gereja menanggapi ini? Imam seharusnya menjadi panutan umat, tetapi justru melakukan hal yang tidak diperbolehkan. Mohon penjelasannya.
Aji P, Palembang
Beberapa tahun lalu muncul berita di Irlandia, bahwa dalam waktu 18 bulan ada tiga imam Katolik yang bunuh diri. Sejauh diteliti, dan juga sejauh diberitakan dalam kasus imam di India tersebut, penyebabnya dikatakan akibat dari depresi.
Berkaca dari kasus di Irlandia, dikatakan bahwa hidup para imam ditandai dengan gejala hidup yang burnout (kelelahan, terbakar habis). Beban administrasi dan hidup pelayanan sebagai imam secara perlahan membakar habis dirinya. Selain itu ada gejala kesepian, hidup yang berat karena diterpa tuntutan dari umat, yang tak jarang berlebihan, kritik yang kadang menusuk hati, sakit serta kegagalan yang tidak pernah diolah. Seringkali perjumpaan antar para imam juga dengan pembesarnya, lebih terkait pekerjaan, sehingga kurang tersedia waktu untuk perbincangan pribadi.
Imam seakan diperlakukan seperti “superman”, lupa bahwa mereka adalah manusia biasa. Demikian analisa yang muncul dari kasus imam bunuh diri di Irlandia.
Penelitian lain di Amerika Serikat, dikatakan bahwa makin membesar angka imam-imam yang depresi, kelelahan, dan kondisi kesehatan mental ataupun fisiknya tidak baik. Gejalanya disebut agak mengkhawatirkan. Hidupnya tidak mengalami keseimbangan, yang disertai dengan tatanan hidup rohani yang rapuh, atau dijalankan lebih sekadar rutinitas.
Hidup rohaninya kemudian tidak tumbuh dengan subur, dengan konsekuensinya, daya kemampuan untuk menanggung beban, tekanan dan stres melemah. Penelitian tersebut kemudian menyebutkan tidak sedikit imam Katolik yang lebih menjalankan tugas imaminya sekadar sebagai pekerjaan (job), bukan terutama karena kesadaran akan panggilan.
Menjadi imam, demikian pula dengan profesi dan panggilan lain, senantiasa memuat beban, tegangan dan stres. Para imam pun perlu menyadari beban yang melekat pada tugas dan hidup panggilannya, sekaligus mengakui keterbatasan serta kerapuhan dirinya, baik secara fisik, psikis maupun spiritual. Pengakuan dan kesadaran ini akan membantunya untuk menemukan jalan atau sarana bantu baginya, entah lewat psikolog, pembimbing rohani, ataupun dengan penataan hidup secara baru, ambil waktu istirahat dulu atau pindah tugas dan suasana baru.
Bunuh diri bukan jawaban atas beban depresi dan tekanan stres yang dialami. Manusia tidak punya hak atas hidup dalam dirinya, maka mengambil keputusan atas hidup dirinya sendiri, bukanlah langkah yang benar. Maka, bunuh diri tidak pernah disetujui oleh Gereja. Hidup adalah sesuatu yang luhur. Demikian dikatakan dalam Katekismus Gereja Katolik. Seberapa besarnya beban hidup, jangan sampai orang kehilangan harapan dan cinta kasih.
Namun, menyalahkan begitu saja mereka yang mengambil jalan bunuh diri, pun bila dilakukan oleh para imam, bukanlah jalan pemecah. Bahwa seharusnya tidak dilakukannya, mengingat statusnya sebagai imam, kita sepaham. Akan tetapi jika itu terjadi, kita harus mencari jalan dan cara untuk menghindari hal itu terjadi lagi.
Oleh karena itu, kita perlu memberikan suatu lingkungan hidup yang sehat dan manusiawi bagi para imam, agar mereka tidak stress atau depresi. Para imam pun perlu sehat secara jasmani, manusiawi, psikologis dan rohani.
Imam, bagaimana pun adalah tetap manusia biasa. Status imam tidak menjadikan para imam lebih daripada umat lainnya, pun kalangan awam. Mereka bisa lelah dan stres. Maka baik, kita senantiasa mendoakan Paus, uskup dan para imam, serta semua pelayan Gereja.
T. Krispurwana Cahyadi, SJ
HIDUP NO.46 2019, 17 November 2019