HIDUPKATOLIK.com – Kebakaran hebat melanda hutan Amazon tahun 2019. Kebakaran terparah sejak kebakaran tahun 2010. Di Brazil saja, separuh lebih dari 77 ribu titik api terjadi di kawasan Amazon sepanjang tahun 2019. Jumlah titik api ini meningkat 85 persen dari periode yang sama pada tahun lalu (vaticannews.va). Kebakaran hutan di Brazil mulai mendapat perhatian dunia sejak 19 Agustus 2019 lalu, saat langit São Paulo tertutup asap pekat. Warganet Brazil dan dunia ramai-ramai mencuit dengan tagar PrayforAmazonas di Twitter.
Diduga kuat, yang terjadi di Amazon bukanlah
kebakaran hutan, namun pembakaran hutan.
Ane Alencar, direktur sains IPAM (Institute of
Environmental Research in Amazonia) mengatakan
bahwa api yang membakar Amazon secara langsung terkait pembukaan hutan secara ilegal. Kepada laman Mongabay.com, Alencar menyatakan, oknum pembakar hutan menebang pepohonan, membiarkan kayu mengering, lalu membakar kayu-kayu itu agar abunya kelak menyuburkan tanah. Saat hujan tiba kelak, rumput untuk pakan ternak akan tumbuh subur. Singkat kata, menurut Alencar, pembakaran hutan Amazon terkait dengan praktik deforestasi demi membuka padang penggembalaan. Sementara itu, Itacir Brassiani, pastor pemerhati isu lingkungan di
Brazil mengatakan, deforestasi di Amazon juga terkait dengan pertanian kedelai yang dilakukan perusahaan pertanian skala besar. Membakar hutan memang cara paling murah untuk membuka lahan pertanian dan penggembalaan ternak.
Suku-suku Asli Penjaga Amazon
Brassiani dalam wawancara pribadi dengan penulis mengatakan, dirinya yakin bahwa penduduk asli Amazon tidak akan pernah membakar hutan. Sebabnya, bagi suku-suku asli Amazon, hutan adalah rumah mereka sendiri. Brassiani benar. Pada tahun 2006, peneliti gabungan Brazil dan Amerika Serikat menyimpulkan bahwa berdasarkan peta satelit hutan tropis Amazon tahun 1997 sampai 2000, tingkat deforestasi di luar wilayah suku-suku asli Amazon 1,7 sampai 20 kali lebih tinggi dibanding di dalam wilayah penduduk asli Amazon. Tingkat kebakaran (atau pembakaran) hutan di luar wilayah suku-suku asli empat sampai sembilan kali lebih tinggi.
Salah satu suku penjaga Amazon ialah suku Yanomani dengan jumlah 19 ribu jiwa. Suku yang mendiami 9,4 juta hektare wilayah Amazon utara ini menanam 500 jenis tanaman pangan, obat, dan kayu tanpa harus merusak hutan di sekitar mereka. Tokoh suku Yanomani, Davi Kopenawa menandaskan, jika sukunya merusak alam, artinya sukunya sedang menyakiti diri sendiri (survivalinternational.org). Mirisnya, pembakaran hutan Amazon makin merugikan bukan hanya hutan, namun juga suku-suku asli Amazon.
Sebagian dari mereka terpaksa meninggalkan wilayah mereka demi menyelamatkan diri dari pembakaran hutan.
Paus Fransiskus Bela Amazon
Pada tanggal 6-27 Oktober 2019 lalu, Paus Fransiskus, pemimpin 1,3 milyar penganut Katolik
di dunia mengundang Sinode Istimewa Para Uskup
Pan-Amazonia dengan tema “Amazonia: Jalan-jalan Baru bagi Gereja dan bagi Sebuah Ekologi Integral.” Sidang ini menggarisbawahi pentingnya wilayah Pan-Amazonia bagi kelestarian bumi dan manusia. Wilayah ini mencakup sembilan negara dan didiami oleh 34 juta penduduk, termasuk tiga juta suku-suku asli dari 390 kelompok etnis.
Hutan Amazon adalah rumah bagi keanekaragaman hayati. Diperkirakan 30 sampai 50 persen spesies flora dan fauna hidup dalam harmoni di Amazon. Amazon menyimpan 20 persen air tawar dunia. Amazon adalah sepertiga dari hutan dunia. Amazon mencakup 7,5 juta kilometer persegi wilayah. Sinode Pan Amazon ini memang bukan semata-mata membahas isu pembakaran hutan. Ia dirancang selama dua tahun dengan melibatkan ratusan ahli dan sekitar 77 ribu warga di wilayah Amazon dalam diskusi kelompok akar rumput untuk mengusulkan solusi bagi masalah-masalah di Amazon: urbanisasi dan migrasi tak terkendali, eksploitasi berlebihan atas
alam, konflik sosial antara pendatang dan suku-suku asli, dan minimnya perlindungan hak suku-suku asli atas tanah mereka.
Ekologi Integral
Sidang Pan-Amazonia akhir tahun lalu menawarkan konsep ekologi integral. Konsep ini telah dijabarkan Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Sì pada tahun 2015. Fransiskus, Paus asal Argentina, menegaskan bahwa alam tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang terpisah dari diri kita. Selain itu, apa yang terjadi di suatu wilayah pasti akan memengaruhi seluruh bumi. Kita tak boleh lagi berpikir bahwa bencana ekologi di suatu negara atau wilayah yang jauh tidak akan memengaruhi hidup kita.
Karena itu, kita harus mengubah cara pandang Bumi ini adalah rumah kita bersama. Kita harus bersatu sebagai sesama warga bumi ini untuk menjaga keutuhan alam ciptaan Tuhan. Menurut Paus Fransiskus, setiap insan harus meningkatkan pendidikan cinta alam. Keluarga adalah tempat
pertama dan utama untuk mengajarkan dan menghidupi kecintaan pada alam dalam keseharian. Mengajarkan kemampuan untuk bersyukur atas ciptaan Tuhan amat penting agar anak dan generasi muda peduli akan pelestarian
alam.
Mentalitas buruk yang harus dijauhi adalah perilaku suka membuang barang yang masih bisa dipakai, sikap konsumtif, dan sikap tak peduli pada pengelolaan sampah dan limbah. Komunitas akar
rumput dan lembaga politik juga harus
mengkampanyekan kecintaan pada bumi sebagai rumah kita bersama. Lembaga penegak hukum harus menjamin hukuman setimpal bagi oknum perusak alam. Demikian pendapat Paus Fransiskus.
Jika kita telusuri lebih jauh, sikap Paus Fransiskus
dalam Laudato Sì dan inisiatif Sidang Pan-Amazonia sudah tampak sejak hari pertama ia menjabat sebagai Paus. Tanggal 19 Maret 2013, dalam khotbah pelantikannya Fransiskus mengajak semua pihak yang berwenang dan semua orang berkehendak baik untuk menjadi penjaga alam ciptaan serta menjadi pelindung bagi liyan dan alam.
Relevansi bagi Kita
Saat tulisan ini dibuat, pembakaran hutan Amazon masih terjadi. Belum padam pembakaran hutan di Amazon, Indonesia juga mengalami hal serupa. Ratusan hektar hutan dan lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan membara beberapa waktu lalu. Diduga kuat ini akibat pembakaran hutan dan lahan gambut (karhutla) oleh sejumlah perusahaan perkebunan yang tak bertanggung-jawab. Asap pekat selama berbulan-bulan membuat sesak nafas sebagian warga Indonesia dan negara-negara tetangga. Aktivitas ekonomi dan transportasi lumpuh. Citra Indonesia kembali tercoreng sebagai negara pengekspor asap.
Berbeda dengan Amazon, sebagian besar wilayah
yang terbakar (atau dibakar) di Indonesia adalah lahan gambut. Lahan gambut mampu menyimpan bara api dalam waktu lama di bawah permukaan tanah. Akibatnya, pemadaman amat sulit dilakukan.
Yang amat disayangkan, Indonesia masih saja
tergagap-gagap menanggulangi bencana asap seperti terjadi pada beberapa waktu lalu. Meski diklaim menurun drastis, titik-titik karhutla sejatinya tetap ada setiap tahunnya. Sudah rahasia umum, karhutla terkait erat dengan pembukaan lahan dengan biaya termurah untuk perkebunan skala besar. Tahun ini, salah satunya karena kurang antisipasi dan penindakan hukum, karhutla meluas dan mengganas. Mirisnya, sebagian dari kita menganggap bencana asap sebagai rutinitas tahunan yang memengaruhi sebagian saja wilayah negeri kita. Asal daerahku tak dicekik asap, aku tenang-tenang saja. Sikap tak peduli juga merebak
saat sebagian dari kita beranggapan, pemerintahlah yang harusnya bertindak, bukan kita.
Bertolak dari konsep ekologi integral, kita tidak
boleh lagi berpikiran sempit seperti anggapan-
anggapan di atas. Karhutla di Kalimantan dan
Sumatera memengaruhi bumi, rumah kita bersama. Bencana asap adalah urusan kita, sesama penduduk bumi dan negara yang sama. Bukankah kita menghirup udara yang sama dan menginjak bumi yang sama? Kita yang tinggal di dekat lokasi bencana ekologis harus ikut terjun dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
bencana. Yang tinggal jauh dari lokasi bencana ekologis harus ikut mendukung dengan donasi dan dukungan moral.
Jadikan isu kecintaan alam sebagai bahan obrolan di warung dan kampung. Angkat isu pelestarian
alam dalam tulisan di media sosial dan media massa. Dukung petisi dan demo damai untuk mendorong pemerintah dan pihak terkait untuk bertindak cepat menangani bencana ekologis dan menghukum para perusak alam. Sebagai masyarakat warga, kita harus ikut berkontribusi melestarikan bumi, satu-satunya planet yang bisa kita huni. Saat untuk bertindak adalah sekarang. Kita harus bergandeng tangan melestarikan alam ciptaan Tuhan.
Pastor Bobby Steven MSF
HIDUP NO.01 2020, 5 Januari 2020