web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Mendorong ”Gerobak Keadilan” di Tahun Keadilan

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – “Kami tidak memiliki pakaian yang cocok untuk bertemu Tuhan. Tetapi setiap malam saya selalu mengajarkan anak-anak untuk berdoa,” ujar Anton lirih.

Tangan-tangan cekatan sibuk mengupas kerang hijau dari cangkangnya. Tangan-tangan buruh pengupas kerang, rata-rata di dominasi oleh kaum
ibu. Di kampung “kerang hijau”, Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara, budidaya kerang hijau menjadi sumber pendapatan ribuan buruh sejak tahun 1981.

Ernawati, seorang buruh kerang mengatakan di Teluk Jakarta, budidaya dan pengolahan kerang semakin populer di kalangan nelayan. Hal ini karena tangkapan ikan mulai berkurang seiring
penggusuran hutan bakau di Teluk Jakarta untuk pembangunan industri dan pelabuhan.

Wanita yang bersuamikan Joko Pranoto ini menjelaskan ongkos kupas kerang berkisar 3.500-4.000 rupiah per-kilogram. Rata-rata dalam sehari para buruh mampu menghasilkan 35 ribu. “Hal ini sangat sulit karena saya memiliki tiga orang anak,
sementara suami juga kerja sambilan, kadang-kadang mengangkut kerang dari laut dengan sekali pikul hanya tujuh ribu rupiah,” cerita umat Paroki Salib Suci Cilincing, Jakarta Utara ini.

Joko sendiri memang sejak tahun 2000 tidak lagi bekerja karena di-PHK. Hal ini membuat ia harus banting setir sebagai buruh kerang. “Sebagai kepala keluarga saya sebulan mengumpulkan pendapatan sekitar 1,5-2 juta rupiah. Pendapatan ini masih dibagi untuk membayar kontrakan, biaya sekolah anak, listrik, air, dan kebutuhan lainnya. Hitung-hitung uang begitu tidak cukup,” tambah Joko.

Sebagai buruh kupas kerang, Ernawati tidak sendirian. Setiap hari ia berbaur dengan para ibu yang berberprofesi sama dengannya. Sedikitnya 20-25 buruh perempuan per hari siap mengupas kerang di lapas-lapas para nelayan kerang. Mereka
datang dari berbagai latar belakang suku dan agama. “Pernah ada keluarga Katolik juga berprofesi seperti kami. Kami membaur bersama keluarga-keluarga dari berbagai latar belakang,” jelas Ernawati.

Gerakan Eksodus
Pengalaman konkret Ernawati dan Joko menjadi satu dari sejuta gambaran wajah Gereja di Jakarta-Bekasi-Tangerang, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Pada tahun kelima, 2020, Arah Dasar (ArDas) KAJ mengangkat persoalan keadilan sosial. Tema ini menjadi muara dari lima tahun perenungan KAJ sekaligus dapat diangkat sebagai awal dari seri perenungan yang baru dalam Gereja KAJ. Lima tema utama ArDas KAJ yang berlandaskan Ajaran Sosial Gereja dan Kitab Suci dapat diolah pada refleksi: hormat terhadap hidup dan martabat manusia, usaha memperkenalkan
kebaikan bersama, solidaritas, lingkungan hidup, dan perhatian kepada saudara-saudari yang berkekurangan.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Sebagai Gereja yang tumbuh di Metropolitan Jakarta, dan dua kota penyanggah Tangerang dan Bekasi, KAJ perlu terlibat dalam perutusan advokasi dan pemberdayaan dan pelayanan kasih. Mengutip pernyataan Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo, “Ini adalah rahmat yang dimohon pada tahun keadilan sosial ini.” Gereja perlu ke luar dari institusi keagamaan yang kaku menuju gerakan Kerajaan Allah. Kata Kardinal Suharyo, “Inilah gerakan eksodus KAJ”.

Perhatian Gereja perlu menyapa setiap orang yang mengalami ketidakadilan. Ketua Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Siswati saat dihubungi mengatakan, jaringannya selalu berusaha menuntut hak-hak mereka dan
menghapus ketidakadilan dalam pekerjaan. “PRT benar-benar bekerja mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Kami ini pekerja bukan pembantu,” tegasnya.

Dari data yang dihimpun International Labour Organization, tercatat ada 4,2 juta asisten rumah tangga di Indonesia yang belum diakui sebagai pekerja oleh pemerintah dan DPR RI. Di antara data itu, Jawa Barat menduduki peringkat pertama dengan 859 orang yang belum diakui. Sementara Jakarta menduduki peringkat keempat dengan jumlah 481 orang setelah Jawa Timur di peringkat kedua dan Jawa Tengah peringkat ketiga.

Siswati menyesali bahwa saat ini masyarakat juga tidak mengakui bahwa PRT adalah pekerja. Majikan juga kerap menganggap rendah pekerjaan PRT sehingga memperlakukan PRT sesukanya. “Kami adalah manusia yang butuh diakui, diterima, dihargai, dan dicintai,” jelasnya.

Siswati berharap Gereja di tahun keadilan ini perlu menangkap pesan ketidakadilan yang dialami PRT. Di Jakarta saja, rata-rata pekerja pada umumnya
71 persen pada pekerja dewasa dan 61 persen pekerja usia 10-17 tahun yang bekerja selama 6 -7 hari. Mereka bekerja dengan penghasilan pada umumnya di bawah upah minimum provinsi (UMP)
dengan penghasilan paling rendah satu juta rupiah. “Ini untuk PRT yang sering menginap. Kalau PRT tidak menginap cenderung di bawah satu juta,” jelasnya.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Program Pemberdayaan
Fenomena lain di Jakarta-Bekasi-Tangerang adalah “manusia gerobak”. Fenomena ini menjadi satu dari 18 gerakan di dekanat-dekanat KAJ. Gereja KAJ di tahun keadilan memfokuskan salah satu
program yang diberi nama, “gerobak keadilan”. Sasaran dari program ini untuk memberdayakan “manusia-manusia gerobak”.

Pesan ini lalu ditanggapi positif oleh Anton, 43 tahun, “manusia gerobak” di pinggir Jalan Raden Saleh Raya, Menteng, Jakarta Pusat. Ia mengakui beragama Katolik tetapi jarang sekali pergi ke gereja karena merasa gereja terlalu mewah untuk orang sepertinya. “Kami tidak memiliki pakaian yang cocok untuk bertemu Tuhan. Tetapi setiap malam saya selalu mengajarkan anak-anak untuk berdoa,” ujar Anton lirih.

Lelaki kelahiran Yogyakarta ini bercerita soal pengalamannya sebagai “manusia gerobak.” Setiap hari ia selalu bersama isteri dan dua anaknya menarik gerobak mencari barang-barang bekas. Di dalam gerobak itu terdapat seorang anaknya yang
masih berusia dua tahun.

Gerobak mereka terbuat dari kayu yang berwarna abu-abu. Ada sebuah tulisan yang menyayat hati pada samping kanan gerobak, “setetes keringat harapan anak dan isteri.” Hanya berbekal gerobak,
mereka mengarungi jalanan Ibu Kota untuk mengais rezeki.

Gerobak bagi Anton dan keluarga adalah rumah ternyaman. Mereka menyimpan semua kebutuhannya di gerobak itu. Di dalam gerobak tersebut terdapat pakaian, ember kecil yang berisi sabun serta satu sikat gigi, kardus, terpal, bantal dan peralatan makanan.

Anton bercerita, sejak hijrahke Jakarta, ia berniat mencari penghidupan yang layak bagi keluarga kecilnya. Tetapi harapan itu tak ditemuinya. Setiba di Jakarta tahun 2005, tidak ada pekerjaan baginya. Pernah ditawarin sebagai buruh bangunan tetapi pekerjaan itu ditinggalkan karena isterinya sering sakit-sakitan. “Karena tidak memiliki keahlian maka saya memilih pekerjaan
seperti ini,” jelasnya.

Selain gerobak keadilan, program pemberdayaan lain juga adalah perhatian khusus kepada mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel (KLMTD). Program ini dilaksanakan di beberapa
paroki seperti Paroki Santa Bernadet Cileduk, Tanggerang.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Ketua Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Paroki Cileduk, Cicilia Fatmawati mengatakan perhatian ke-pada KLMTD itu dengan program Kartu Menuju Sehat (KMS). Kartu ini diharapkan dapat mengatasi masalah gizi yang mereka alami. Agar program ini tepat sasaran maka bisa dilihat dari data umat prasejahtera.

Sicilia menambahkan KMS bukan bantuan dalam bentuk uang tunai, tetapi lebih pada pemberian sesuatu yang menunjang peningkatan gizi, misal, membelikan susu dan vitamin. “Soal besarannya berapa belum diputuskan karena perlu pembahasan lebih dengan pastor paroki,” sebutnya.

Di paroki berbeda, dalam Rangkaian Rapat Karya Paroki Santa Teresa Cikarang disepakati satu dari karya konkret di tahun keadilan adalah menghadirkan kasih dengan prioritas kepada kaum berkebutuhan khusus dan umat dengan ekonomi mendesak yang terkena PHK. Program ini dirasa sangat tepat mengingat kondisi umat paroki sebagian besar juga adalah buruh pabrik.

Kepala Paroki Cikarang, Romo Antonius Suhardi Antara menegaskan bahwa karya dan gerakan ini harusnya menjadi karya dan gerakan semua umat, bukan pengurus saja. Keterlibatan umat diharapkan membuat karya semakin membumi dan nyata sesuai dengan apa yang dibutuhkan umat. “Mempertahankan semangat dalam berkarya itu tidak mudah. Umat harus meningkatkan daya kreativitas dalam karya pastoral evangelisasi di lingkungan paroki,”
ujarnya.

Inspirasi, mediasi, dan transformasi sosial merupakan penanda tahun keadilan, juga menginspirasi umat Paroki Santo Servatius Kampung Sawah, Bekasi. Kepala Paroki Kampung Sawah, Romo Yohanes Wartaya Winangun, SJ mengatakan inspirasi yang bersumber dari iman Katolik harus diungkapkan dan diwujudkan dengan perubahan sosial yang dirasakan semua umat.

Paroki Kampung Sawah mencoba memperkenalkan keadilan sosial itu dalam beberapa program nyata seperti Credit Union (CU). Program ini menjadi satu dari gerakan-gerakan di tahun keadilan dalam menanggapi ArDas KAJ 2020. “Harapannya CU ini bisa membantu roda
perekonomian umat,” ungkapnya.

Yusti H. Wuarmanuk
Laporan: Christophorus Marimin/Marthin S (Jakarta)

HIDUP NO.01 2020, 5 Januari 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles