HIDUPKATOLIK.com – Penguatan misionaris pastoral menjadi senjata menjaga iman di tengah tantangan kondisi masyarakat pesisir.
Anak-anak berbaris rapi menyerupai tali tambang yang mengarah ke hadapan pintu depan gedung Gereja. Terlihat di tangan mungil mereka terdapat batu kali berbagai ukuran. Kemudian batu itu dioper dari satu tangan ke tangan lain. Hingga menjelang siang tiba, tumpukan batu semakin meninggi. Meskipun bermandikan keringat tak ada
kata lelah terucap dari mulut mereka. Semuanya senang dapat membantu proses pembangunan Gereja Paroki Salib Suci Maurole, Keuskupan Agung Ende, Nusa Tenggara Timur.
Paroki yang berusia 44 tahun ini terletak di bagian Utara Kabupaten Ende. Secara geografis, paroki ini berhadapan dengan Laut Flores dan Laut Palu dekat Rokotenda. Dengan demikian, letak topografinya berada di daerah dataran rendah pesisir dan sebagian dataran tinggi perbukitan. Dikenal sebagai paroki pesisir utara Flores, Paroki Maurole dibagi atas empat wilayah stasi, yakni: Stasi Salib Suci Maurole, St Yoseph Kedoboro, St Yohanes Pembaptis Aewora dan San Dominggo
Watukamba.
Paroki Maurole sendiri berdiri pada tanggal 14 September 1975 dan dipimpin oleh misionaris Serikat Sabda Allah asal Spanyol, Pastor Luis Zurron, SVD. Hingga Desember 2019, paroki saat ini dilayani oleh Romo Josal Petrus Baleng sebagai Kepala Paroki. Romo Josal menjelaskan
secara demografis umat paroki merupakan masyarakat agraris yang berpijak pada budaya. Sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai petani, nelayan, dan pedagang. Dekat dengan pesisir membuat umat hidup membaur dengan umat beragama lain seperti umat Muslim dan Protestan. “Paroki Maurole adalah paroki satu-satunya di wilayah utara yang punya umat Muslim dan Protestan paling padat dibandingkan wilayah lain,” tutur Romo Josal.
Sekarang di usia yang ke 44 tahun, Paroki Maurole sedang berbenah dalam pembangunan gereja yang baru dan dibangun dengan gotong royong bersama umat. Umat ikut menyumbangkan uang
sebagai tahap awal. “Jadi semuanya proaktif dan Keuskupan Agung Ende sangat menekankan semangat menjadi Gereja yang mandiri, Injili, solider, misioner. Kita fokus pada kemandirian
agar umat bergerak sebagai rasa saling memiliki dengan Gereja,” bebernya ketika dihubungi via telepon pada Kamis, 12/12.
Romo Josel mengakui, perkembangan ekonomi dan infrastruktur membawa berkat dan tantangan di daerah pesisir. Situasi demikan membawanya untuk memiliki kepedulian besar terhadap kaum
milenial. Ia melihat anak muda sekarang lebih memilih mengikuti tren media sosial. Bahkan, untuk mengajak mereka bergabung dalam kegiatan Gereja perlu di dorong kesadarannya. Hal ini berbeda dengan kondisi 10 tahun lalu di mana kegiatan drama dan aktivitas Gereja menjadi primadona anak muda Paroki Maurole.
Sebagai jawabannya, Paroki Maurole pun mengadakan penguatan misionaris pastoral kepada pelaku-pelaku pastoral hingga tingkat stasi. Melalui Komunitas Umat Basis (KUB) digalakan agar setiap lini umat tetap menjaga iman Katolik mereka agar tetap terpelihara walaupun dunia terus menawarkan hal-hal menggiurkan yang menjauhkan diri dari semangat berkomunitas dan cinta kasih.
Karya pastoral pun terbagi dalam tiga rumpun karya: Rumpun Pewartaan (menaungi kegiatan Komisi Liturgi, Kitab Suci, Katekese), Rumpun Pembinaan (Komisi Pastoral Keluarga, Komisi Kepemudaan, dan Komisi KKM-KKI, Organisasi Rohani), dan Rumpun Kemasyarakatan (PSE, Komisi Pembangunan, Komsos, WKRI, Migran dan Perantau, Kerawam).
Romo Josel membeberkan, kegiatan Serikat Anak Misioner (Sekami) dan Remaja Misioner menjadi salah satu wadah penting dalam pewartaan iman
kepada kaum milenial. Mereka juga didorong untuk berwirausaha agar kapabilitas kemandirian tercapai. “Berwirausaha di sini harus tetap di bidang pertanian karena mereka lahir dari kelaurga petani. Saya selalu berpesan kepada mereka, ‘kamu harus tetap menonjolkan pertanian ini!’,” ungkapnya seraya menunjukkan kebanggaan.
Felicia Permata Hanggu
HIDUP NO.52 2019, 29 Desember 2019