HIDUPKATOLIK.com – DI sebuah kafe di daerah Gubeng, Surabaya.
“Awake dhewe jatuh cinta pertama di sini…sajake!” tegurku sambil menatap matanya. Ada gurat usia di tepinya, namun tak mengurangi kecantikannya.
“Aku harus mengakui, aku sudah jatuh cinta padamu saat itu. Kamu teman yang beda..”
“Kamu tampak salah tingkah..apalagi saat tak sawang mripatmu..”
“Yak opo..kamu nyawang koyok ngono..”
Kami sama-sama menyeruput jus.
“Ingat, saat kita rayakan jadian? Norak banget ya, seperti anak ABG, aja!” cetusku sambil mengusap jari-jarinya.
“Yak opo, awake dhewe wis sepuh je!Waktu itu..,” kenangnya. “Kamu nggowobuku anak-anak! Guede banget.I Love You. By God! Terus kamubacakan seperti mendongeng…”
“Gak nyangka ya…”
“Kamu punya banyak style romantis, dan semua unik. Selalu unik! Belum pernah aku merasakannya sepanjang hidup…termasuk dari masku…”
“Gak perlu dibanding-bandingkan.Ingat perjanjian kita?”
***
Widya. Kami pertama kali bertemu sekelebatan, di depan pintu masuk restoran tempat diselenggarakan reuni SMP. “Hai!” sapaku.
“Hai!” ia tampak tergesa keluar. “Sorry, aku gak melok reuni yo. Tadi cuma nyempetke nyapa gank-ku waktu SMP. Aku ada praktik sore!”
“Oh iya. Monggo…” jawabku sambil menyalaminya. “Sorry, namamu siapa ya, aku lupa.”
“Mbuh ah! Takonen arek-arek,” candanya sambil tersenyum. Dia bergegas menuju mobil. “Widya!” serunya dari kejauhan.
Beberapa malam kemudian, Widya menyapaku via messenger. Jelang tengah malam.“Belum tidur?”
Sejak saat itu kami jadi sering ngobrol via messenger. Semula dia banyak bercerita tentang situasi di rumah sakit, tempat ia berkarya sebagai dokter anak, juga tentang kedua anaknya. Kami sama-sama punya anak dua. Kami juga banyak
diskusi tentang karakter manusia. Tak heran, profesi kami sama-sama ngurusi anak-anak. Aku memang banyak memberi pelatihan kepemimpinan untuk anak-anak. Bisnisku pun bergerak di bidang industri mainan kreatif untuk anak. Di paroki, aku juga aktif mendampingi anak-anak PIA (Pembinaan Iman Anak). Namun lama kelamaan, Widya banyak curhat tentang keluarganya. Betapa kesibukannya praktik membuatnya agak disisihkan keluarga besar masnya. Obrolan kadang diselingi dengan mengenang masa-masa kami di sebuah SMP Katolik yang tidak saling kenal. Aku memang termasuk murid yang pendiam, sehingga tak mudah diingat. Aku pun lupa dia. Sampai suatu ketika..
“Maem siang bareng yuk!” ajakku. “Dekat Gubeng ada kafe yang asyik!”
“Yuk!” sambutnya.“Moga aku gak lupa wajahmu!” godanya.
Jumpa pertama lanjut jumpa berikutnya. Di beberapa siang, selepas dia praktik, entah di parkiran mal atau kafe kecil. Widya mulai banyak menghadiahi aku dengan aneka paper craft buatannya. Rupanya untuk menjaga emosi pasiennya, ia sering menghadiahi paper craft atau
hadiah-hadiah lainnya. Cara jenial untuk pendekatan ke pasien. Paper craft Dokter Widya itu pun jadi gift buat anak-anak asuhku di PIA.
Suatu siang, di parkiran Mal Tunjungan Plaza. Kami sepakat ngobrol di parkiran, di mobilku. “Masku nganyelke!” kisahnya. “Malam minggu kemarin kami njagong. Dia bawa mobil ngebut, terus ngerem mendadak. Marah-marah. Hanya gara-gara aku praktik kesorean. Anyel aku, sekian tahun kawin kok gak pangerten sama profesiku!”
Aku terus mendengarkan Widya
menumpahkan kekesalannya. “Sayang, maaf ya, aku jadi menumpahkan ke kamu semua. Habis ke siapa lagi?”
“Tumpahkan semua, sayang. Kamu ingat janji kita kan? Meski kita saling jatuh cinta, jatuh cinta yang sangat terlambat, tapi kita sama-sama janji akan saling membantu kalau keluarga kita ada masalah. Cinta kita akan lebih banyak agapenya, ketimbang eros. Wis sepuh je!” tuturku sambil kupeluk Widya yang matanya mulai basah.
“Iya, kok kita baru ketemu sekarang ya. Telat banget. Kanca SMP. Kuliah di universitas yang sama, kok baru ketemu lagi sekarang,” ujarnya lirih. “Kalau malam, saat melakukan Latihan Rohani yang kamu ajarkan, aku suka merasa berdosa. Hubungan kita ini kan ….dosa ya…”
“Aku cuma minta sedikit hatimu kok, sayang. Berikan aku sepotong hatimu…yang paling pelosok, yang paling kecil!” rayuku.
“Lha, yang besar buat siapa?”
“Buat masmu, buat anak-anakmu!”
Dia mempererat peluk. “Detak jantungku selalu beda kalau tengah bersamamu. Ada getar yang tak biasa….selama ini detaknya teratur, sangat teratur.
Seperti hidupku.”
***
Siang itu setelah rapat pagi di sebuah kafe di daerah Darmo, aku janjian dengan Widya di MalGrand City.
“Sayang, awake dhewe gak sidho maem siang ya. Aku bawa bekal,” tulisnya di pesan w.a.
Ada yang tak biasa, “Ono opo?”
“Ada nomor tak dikenal menelepon terus, lalu ada pesan sms ancaman. Wedhi aku!”
“Oke. Boleh minta sms nya, sayang?
Nomornya juga ya…”
Minggu siang, di aula parokiku.
“Cinta itu harus dirawat. Kalau tidak, dia akan mati. Jika kalian sebagai pasangan rajin merawatnya, bahkan cinta itu akan tumbuh…” uraiku saat menjadi fasilitator Membangun Rumah Tangga (MRT). “Seperti sebuah rumah, cinta harus dirawat rutin. Ada perawatan harian, mingguan, bulanan. Agar rumah tersebut tidak perlu perawatan khusus…yakni membutuhkan orang lain di luar pasangan…untuk membantu anda berdua.” Kulirik istriku yang mendampingiku di pembekalan untuk para pasangan yang mau menikah secara katolik. “Perkawinan Katolik kuwi monogami, dan sekali untuk seumur hidup! Nguantek luecek, yo tetep ambek pasanganmu. Monggo, nek gak cocok, bubar saiki ae!”
Para peserta tertawa lebar. Istriku sudah menyiapkan diri untuk ice breaking game.
Selesai pembekalan, di perjalanan pulang, istriku berbisik,” Kamu ngomong tadi pasti tidak dengan hati!”
“Maksudmu?”
“Ada pesan w.a pakai ‘sayang-sayangan’ kutemukan semalam di hape kamu. Kamu lupa clear chat!”
“Dari fans….hehehe…”
“Hentikan!” ujarnya singkat. “Nek gak gelem, suatu hari aku akan laporkan kelakuan fans mu itu ke rumah sakit tempat perempuan itu begitu dihormati!”
***
“Sayang, aku mulai diteror. Katanya ada foto kita yang akan dia sebar ke kantorku. Aku takut!” pesan Widya suatu pagi.
“Orang yang meneror kamu itu mitra bisnisku,” jelasku. “Biar aku yang akan mengatasi!” aku sengaja tak menyampaikan ‘ancaman’ istriku kepadanya. Aku mulai tahu, Widya adalah sosok yang lurus dan lugu. Ia nyaris tak punya gejolak besar dalam hidupnya. Semua lancar. Maka aku tak ingin mengganggu garis lurus hidupnya.
***
Hari itu kami bertemu agak sore di lokasi parkir dekat Tunjungan Plaza. Aku yang pindah ke mobilnya. Wajah Widya tampak capek. “Tadi aku kesulitan membujuk pasienku. Ibunya galak….bikin
capek ….mana jaringan di rumah sakit lagi error! Jadi aku marah-marah terus sama perawat!”
“Ternyata ngurusi anak-anak ya mesti ngurusi ibunya juga ya. Kamu sudah terbiasa sabar kan?”
Setelah Widya agak tenang.“ Aku sudah bicara dengan mitraku. Dia sudah mengaku, dia yang menerormu. Waktu itu dia merasa dapat tekanan dariku, maka dia mulai kalang-kabut. Bisnisnya sedang anjlok pula. Maaf ya sayang, kamu jadi
korban.”
Widya terdiam lama. Matanya tiba-tiba basah. Ia memelukku. “Aku mulai banyak takut. Detak jantungku sering bergejolak saat ingat kamu. Ingat kita.“ Widya mempererat peluknya. “Sabtu minggu
kemarin aku dua kali ikut misa manten…seperti biasa, aku selalu ‘kena’ saat kedua mempelai melakukan janji perkawinan…aku kok pingin detak jantungku seperti dulu lagi ya…ngono ngono ae…”
Aku tak pernah menyampaikan betapa aku juga sering ‘kena’ ketika ada beberapa pasangan yang konseling, ketika sedang menjadi nara sumber. Namun aku selalu membatalkan ‘menyampaikan masalahku’ saat sudah ketemu Widya.
***
Suatu hari, Widya mendapat tugas pelayanan ke Denpasar. Aku mengajaknya bertemu di sana. Di sebuah resto alam di tepi sawah di Ubud, kami bertemu.
“Sayang!”
“Ya…”
“Aku pingin kembalikan detak jantungmu seperti dulu!”
Widya menangis sambil memelukku. “Aku sayang kamu…tapi aku gak kuat menahan ini semua!”
“Pada akhirnya, kita memang harus kembali ke keluarga. Aku bahagia pernah mencintai kamu seperti ini…tapi aku lebih bahagia kalau detak jantungmu kembali seperti dulu!”
Kami berpelukan lama. Ada rasa getir di dalam hati.
“Kita harus sama-sama merawat cinta yang sudah diikat janji perkawinan. Dengan pasangan kita masing-masing. Namun, sebelum kamu ‘kukembalikan’, boleh aku minta sesuatu? Demi masmu?”
“Apa, sayang?”
“Kurangi jadwal praktikmu. Kamu selama ini praktik di 3 rumah sakit. Sabtu pun kamu praktik. “
“Gak gampang, lho! Aku sudah terikat kontrak! Lagipula, kasihan pasienku…”
“Ya diselesaikan dulu…demi masmu. Cobalah…seperti juga yang kurasakan pada istriku, masmu pasti sangat mencintaimu. Tentu dengan caranya. “
Sambil memandang sawah yang diterangi lampu di sana sini, kami saling berpegangan tangan. Saling menatap. Lalu kupeluk Widya.
***
Setelah itu, kami jarang berkomunikasi. Sesekali aku sapa dalam canda,” Detak jantungmu sudah kembali seperti dulu?”
“Sudah! Oh ya, aku mau pamer. Sekarang aku cuma praktik 3 hari seminggu!”
“Bagus!”
Gubeng, November 2019
Eko Praptanto
HIDUP NO.52 2019, 29 Desember 2019