HIDUPKATOLIK.com – Mereka belum memiliki gereja yang layak. Natal tahun ini, mereka untuk pertama kali membuat kandang Natal. Hal ini sesuai seruan Paus Fransiskus dalam Surat Apostoliknya.
Hingga saat ini, Gereja Paroki Santo Thomas Rasul Bobong, Taliabu, Maluku Utara, terus berjuang. Mereka berusaha memiliki gereja yang pantas. Selama ini mereka merayakan Ekaristi di halaman dengan mendirikan tenda atau rumah umat.
Seperti Natal sebelumse-belumnya, tahun ini umat paroki, yang dikawal Pastor Thomas Ratuanak, masih merayakan Natal di bawah tenda. Demi merayakan Natal yang layak, nyaman, dan terhindar dari hujan dan panas, umat paroki berbondong-bondong memagari tanah gereja dengan tembok seadanya lalu memasang tenda dari terpal. Lantainya juga seadanya, dari semen kasar yang mana semen itu dibeli dari hasil swadaya umat dan bantuan beberapa donatur.
Pastor Thomas bercerita umat di Taliabu masih terus berjuang mendirikan gereja yang nyaman. Selain karena medan pastoral yang sulit, mayoritas umat hidup dalam kemiskinan. Tetapi tahun ini kami berniat ingin merayakan Natal dan tahun baru dalam persekutuan dengan Gereja universal. “Satu hal yang bisa menyatukan persekutuan kami dengan Gereja universal adalah kami ingin memiliki kandang Natal sebagaimana harapan Paus Fransiskus dalam Surat Apostolik Admirabile Signum beberapa waktu lalu,” ujar Pastor Thomas.
Kandang Pertama
Pastor Thomas bercerita, adanya kandang Natal tahun ini menjadi istimewa karena Natal umat dipastikan belum memiliki kandang Natal di gereja. Kalau kandang Natal ada, tetapi itu dipasang di rumah, bagi umat Katolik yang tingkat ekonominya cukup. Hal ini terkait dengan aksesoris kandang seperti penyediaan lampu kerlapkerlip dan aksesoris lainnya yang dirasa mahal.
“Maka itu umat sering melupakan kandang Natal dan lebih memilih pohon Natal. Pertimbangan mereka sederhana, pohon Natal tidak harus dibeli dengan harga mahal. Cukup mencari pohon-pohon di hutan yang mirip pohon Natal lalu dihiasi dengan kertas dan diletakan di rumah,” jelasnya.
Di tahun ini, Natal dirayakan dalam suasana kegembiraan. Umat memiliki gedung gereja seadanya, dengan sebuah kandang Natal sederhana terletak di dalamnya. Demi memiliki kandang Natal, Pastor Thomas sendiri harus berjuang sampai di Pulau Ternate, Ibu Kota Provinsi Maluku Utara, untuk mencari bantuan membeli patungpatung Natal. “Syukur, bahwa tahun ini, di dalam kandang Natal sudah ada patung Yesus, Maria dan Yoseph, serta tiga raja, dan gembala-gembala,” cerita pastor yang ditahbiskan 29 November 1987 ini.
Kehadiran patung-patung dalam kandang Natal dirasakan anak-anak sebagai sesuatu yang baru dan menarik. Karena gereja tidak memiliki pintu, terbuka begitu saja, sehingga anak-anak setiap hari bermain di depan kandang sambil mengamati patung-patung itu. Apalagi kandang Natal itu sekarang diberi lampu-lampu yang berwarna-warni. “Kesempatan itu saya gunakan untuk berkatekese tentang makna Natal dan mengapa gereja memiliki kandang Natal,” kata Pastor Thomas.
Terkait kehidupan umat, Giuseppe Paolu Laiyang, seorang penyuluh dari kantor Kementerian Agama Katolik Kepulauan Taliabu mengatakan, di sini akses pendidikan untuk anak menjadi persoalan lain. Belum lagi kepercayaan tradisional yang telah lama mengakar.
“Umat Katolik meski sudah mengenal Kristus tetapi masih terkontaminasi dengan kepercayaan-kepercayaan tradisional. Ini tugas berat dalam berkatekese tentang iman Katolik,” ujarnya.
Ia melanjutkan, Gereja Taliabu masih terus bertahan. Gesekan-gesekan baik antarwarga masyarakat, antarumat beragama, antar-suku masih rentan terjadi di Taliabu. “Ada satu hal yang menjadi prioritas utama adalah mendirikan gereja. Sebab dengan adanya gereja, identitas orang Katolik Taliabu semakin jelas,” ujarnya.
Ungkapan Iman
Saat ini di Paroki Taliabu terdapat empat stasi dan masih tidak memiliki gereja. Pelayanan dijalankan di rumah-rumah umat atau di alam terbuka. Tidak ada pastoran, sehingga pastor harus beristirahat di tenda, bekas kandang ayam yang disulap menjadi rumah sementara.
Meski begitu, Natal tahun ini dirasakan sebagai perayaan yang istimewa dan berkesan. Meski tidak memiliki gereja, Pastor Thomas menganjurkan agar setiap stasi membuat kandang Natal. Letak kandang dan posisi, tergantung kebijakan dewan stasi, juga atas pertimbangan lokasi mana yang dipakai untuk Misa.
Misal, di Stasi St. Paulus Bawang, karena perayaan Misa dilaksanakan di dua tempat, yaitu di rumah warga dan tanah lapang, sehingga mereka terpaksa membuat dua kandang Natal dengan satu pasang patung-patung Natal. Jadi bila Misa malam Natal di rumah warga, patung-patung Natal dipindahkan ke situ. Sebaliknya Natal pagi, bila Misa di tanah lapang, patung-patung itu juga dipindahkan. “Momen ini dilaksanakan dengan sukacita. Mereka melihat peristiwa ini sebagai ungkapan iman sebagaimana peristiwa Maria ketika hendak melahirkan tetapi tidak ada tempat bagi dirinya. Pesannya sederhana, supaya Kristus lahir di hati kita, perlu sedikit perjuangan seperti Maria dan Yoseph,” ungkap Pastor Thomas.
Meski terkesan umat “dipaksakan” memiliki kandang Natal, tetapi di pihak lain, umat sangat antusias dan bahagia. Di Stasi Bawang, yang hanya memiliki 11 kepala keluarga dengan 48 jiwa, Misa berjalan dalam kemeriahan. “Saya tegaskan mungkin lebih meriah perayaan Natal daripada di paroki-paroki yang mewah. Anak-anak bernyanyi dengan kelucuan mereka. Karena sudah ada kandang Natal, mereka juga berusaha tampil bersih. Malam Natal anak-anak membawa obor sebagai pengganti lilin, persembahan juga beragam baik hasil bumi maupun ternak seperti ayam dan lainnya,” cerita imam Keuskupan Amboina ini.
Satu hal yang selalu ditekankan Pastor Thomas setiap mempersiapkan Natal adalah usaha orangtua untuk memberikan gambaran yang jelas tentang Natal dalam keluarga. Gambar yang mempesona dari gambaran Natal tidak sekadar berhenti pada membangkitkan rasa heran dan takjub, sebagaimana disampaikan Paus dalam Admirabile Signum.
“Saya menegaskan kepada keluarga agar selalu menghadirkan gambaran yang jelas tentang Yesus kepada anak-anak. Bahwa Yesus kendati lahir dari kesederhanaan, tempat yang tidak layak, derajat-Nya tetap sebagai Anak Allah. Keluarga Katolik juga harus sadar bahwa ketidaklayakan karena faktor ekonomi tidak menyurutkan semangat menjadi orang-orang besar,” jelas Pastor Thomas.
Menyambung Hidup
Katekis Yohanes yang sering melayani bersama Pastor Thomas menambahkan, umat Paroki Talibu terdiri dari keluarga muda yang kebanyakan baru menerima iman Katolik. Dahulu, mereka berakar pada budaya animisme atau penghayat iman lokal. Untuk menyambung hidup, kebanyakan umat berburu, bertani, dan melaut. Tetapi profesi mereka tidak tetap. Sebelum adanya paroki di Taliabu, umat sering pergi merayakan Misa di paroki diasora di Ternate, Mangole, dan Sanana.
Masyarakat Taliabu kebanyakan pendatang dari Pulau Buton dan Sulawesi. Di Maluku Utara yang adalah provinsi kepulauan data di Sekretariat Keuskupan Amboina tahun 2018 menjelaskan bahwa umat Katolik di Kabupaten Taliabu berjumlah sekitar 1.560-an jiwa yang tersebar di 32 desa.
Satu hal yang selalu diingat Yohanes dari pesan umat Taliabu, saat ia berhalangan untuk datang, maka ia harus mengabari umat, sehingga mereka tidak menunggunya. Ketika Yohanes tidak datang, maka umat bisa pergi ke kebun untuk bekerja. “Mereka seperti domba yang hilang. Kendati begitu kami percaya bahwa di Taliabu, Gembala sejati tidak akan melupakan kami,” jelas Yohanes.
Yusti H. Wuarmanuk
Laporan: Giuseppe Paulo Laiyan (Taliabu)
HIDUP NO.52 2019, 29 Desember 2019