HIDUPKATOLIK.com – Riwayatnya dalam memeluk agama Katolik tergolong unik. Umat Kedang Ipil tetap mengimani walaupun harus dijauhi.
Menurut cerita beberapa tokoh Adat Desa Kedang Ipil, Kedang artinya sungai. Kata kedang awal mulanya disebut Kaddang yang memiliki arti sama dengan sungai. Sedangkan Ipil adalah nama pohon sejenis bengkirai dan meranti yang hidup di sepanjang aliran sungai Kedang Ipil. Jadi Kedang Ipil mempunyi arti sungai kayu Ipil yang melambangkan kesuburan alam dan kekuatan manusia yang bersumber pada Sang Pencipta.
Desa yang terletak di daerah jalan poros Tenggarong menuju Kota Bangun ini masih kental dengan adat istiadat Kutai Adat Lawas. Suku Kutai merupakan salah satu dari kelompol suku dayak yakni dayak ot danum yang tinggal di wilayah Kalimantan Timur. Kutai, identik dengan beragam Islam. Namun, suku Kutai yang mendiamin Desa Kedang Ipil cukup memiliki perbedaan dari suku Kutai lainnya.
Karya Awam
Acara penyuluhan peternakan di Desa Kedang Ipil, Kecamatan Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara, telah usai. Sejumlah warga ada yang langsung kembali ke rumah masing-masing, namun ada juga yang bertahan di balai desa. Hari itu telah larut. Yupensius Ayon Yunius dan dua rekannya, petugas penyuluh peternakan lapangan kecamatan, menunda untuk merapikan perlengkapan yang dipakai selama kegiatan tadi.
Ayon mengira, ada pertanyaan atau persoalan yang ingin mereka sampaikan. “Apakah ada pertanyaan atau persoalan yang ingin disampaikan,” tanya kelahiran Sekolah Darat, Kutai Barat, 13 Mei 1950.
Tak ada satu orang pun yang angkat bicara. Situasi menjadi hening seketika. Selang beberapa menit kemudian, seorang pria yang duduk paling depan buka suara, “Kami tidak memiliki persoalan. Kami ingin pindah agama dan memperbaiki iman kami,” jawab warga, seperti dikutip Ayon, ketika dihubungi lewat telepon, Kamis, 12/12.
Ayon kaget mendengar pernyataan itu. Perasaan itu kian bertambah setelah dirinya mengetahui, bukan hanya satu tapi banyak orang yang ingin menjadi Katolik. “Kepala desa, sekretaris desa, tokoh adat, dan para orangtua,” beber Ayon, menyebut sejumlah warga Kedang Ipil yang ingin pindah agama.
Ia mengakui, malam itu juga dirinya sangat khawatir. Ayon tak ingin muncul tudingan kepadanya telah mengajak atau memaksa warga untuk menjadi Katolik. Kelu lidahnya. Ia meminta saran kepada dua rekannya, sesama PPL. Mereka beragama Islam, sama keyakinan dengan sejumlah warga yang mengajukan permintaan tadi.
Ayon merasa diteguhkan oleh kedua rekannya itu. Mereka meminta dirinya tak perlu khawatir. Sebab, keinginan itu (pindah agama) muncul atas inisiatif warga, bukan karena ajakan atau paksaan darinya. “Kamu saksi mata yah peristiwa malam ini,” ujar Ayon kepada rekan-rekannya itu.
Malam itu, kenang lulusan Sekolah Peternakan Malang, Jawa Timur ini, sempat terjadi ketegangan antara ayah dengan anaknya. Si Anak tak setuju dengan keputusan ayahnya untuk menjadi Katolik. Bahkan, anak itu mengancam, jika sang ayah meninggal, dirinya dan keluarga takkan memakamkannya. “Tidak apa-apa, masih ada warga di sini (Kedang Ipil) yang bersedia untuk menguburkan saya,” ungkap Ayon, mengulang perkataan sang ayah kepada anaknya.
Suami Elisabeth Rupai itu keberatan untuk mengabulkan permintaan sejumlah warga yang berniat menjadi Katolik. Ia meminta mereka untuk berkanjang dalam iman yang sudah dianut. Jawaban Ayon kepada mereka singkat dan sederhana, apa pun agama yang kita anut, tujuannya hanya satu dan sama, yakni Tuhan.
Pasca kejadian malam itu (keinginan sejumlah warga untuk menjadi Katolik), Ayon mengakui, sejumlah orang di Kantor Kecamatan Kota Bangun antipati terhadapnya. Dirinya sempat dilaporkan kepada bupati, Kapolres, dan Kodim telah melanggar kode etik pekerjaan. “Saya sempat dilaporkan oleh orang kecamatan bahwa saya bukan memberikan penyuluhan tapi justru penginjilan,” ujar Ayon menjelaskan isi tuduhan kepadanya.
Ia mengajak dua rekan PPL waktu itu untuk menjelaskan kronologi peristiwa. Ayon tak terbukti bersalah atau melanggar aturan. Selang setahun kemudian, pihak kabupaten meminta bantuan kepada para pastor di Paroki St Pius X Tenggarong untuk menyediakan tenaga pastoral untuk pendidikan iman bagi warga di desa Kedang Ipil.
Hingga kini, Ayon sama sekali tak mengetahui, mengapa warga saat itu menyampaikan niat mereka untuk menjadi Katolik di hadapannya. Padahal, keberadaan dan karya misi Katolik belum menyentuh daerah tersebut kala itu. “Saya datang ke sana (Kedang Ipil) karena tugas. Saat ke Kedang Ipil, saya hanya memberikan penyuluhan kepada mereka soal peternakan, seperti cara memelihara ayam atau kambing, serta membuat kandang hewan ternak itu,” ujarnya.
Ia ingat, satu kali, dirinya sempat membantu warga untuk membuat kandang kambing. Lantaran warga tak memiliki uang, Ayon meminta mereka untuk membuat proposal dan mengirim ke Dinas Peternakan Kabupaten Kutai Kartanegara. Ternyata, lanjut Ayon, jangankan membuat proposal, warga di sana bahkan tak mengetahui istilah tersebut.
Ayon turun tangan langsung. Ia membantu warga dengan membuatkan proposal. Setelah jadi, warga mengirim proposal itu ke kantor dinas peternakan. Warga amat gembira begitu mengetahui proposal tersebut dikabulkan.
Ketua Stasi St Paulus Kedang Ipil, Hairudin, dalam makalahnya Sejarah Misi Masuknya Agama Katolik dalam Budaya, Adat, dan Tradisi Orang Kutai Adat Lawas di Desa Kedang Ipil, menjelaskan, perkenalan warga Kedang Ipil dengan agama Katolik yang terjadi tahun 1983 direspons dengan antusias dan penuh semangat oleh Kepala Adat Kutai Kedang Ipil, Oten. Sebagai pemimpin adat di sana, ia mengatakan memilih agama Katolik yang berciri khas penderitaan karena mereka sudah mengalami penderitaan.
Sebelum agama Katolik masuk ke Desa Kedang Ipil, warga di sana sudah ada yang memeluk agama Islam dan Protestan. Jauh sebelum agama-agama Abrahamik itu muncul di sana, orang Desa Kedang Ipil menganut kepercayaan animisme.
Makalah Hairudin itu menegaskan jasa Ayon bagi perkembangan misi Katolik di bumi Kutai. “Awal mula atau masuknya agama Katolik di desa Kedang Ipil diperkenalkan oleh seorang awam, yang bermukim di Kecamatan Kota Bangun, yaitu Bapak Ayon. Bapak Ayon bekerja sebagai penyuluh peternakan di Kecamatan Kota Bangun yang cakupan atau wilayah pelayanan kerjanya adalah desa Kedang Ipil.”
Paling tidak dulu, warga diajari Salam Maria, Bapa kami, Aku percaya, Doa tobat kemudian dibabtis. Misa perdana umat Desa Kedang ipil diselenggarkan di Balai Desa, setelah itu untuk ibadat biasa, mereka pindah-pindah ke rumah umat. tapi pindahnya per tahun. Selang waktunya sekitar 6 bulan sekali ganti.
Baptis Massal
Tahum 1983 itu, tahun di mana Pastor Martin Anggut, SVD menginjak tanah Borneo Timur. Saat itu ia bertugas sebagai romo rekan di Paroki Tenggarong. Kepala paroki saat itu almarhum Pastor Felix Mado, SVD. Waktu Ayon melapor soal situasi warga di Desa Kedang Ipil. Pastor Martin teringat bahwa dulu sempat heboh. “Karena orang Kutai mau memeluk Katolik,” kenangnya.
Setelah mengirimkan katekis ke sana, dilakukan pengajaran Katolik selama setahun. Kemudian 1984, Pastor Martin diutus ke sana untuk baptisan. “Itu bukan hanya penerimaan Sakramen Baptis, buat yang sudah menikah, saya memberi ulang Sakramen Perkawinan. Saya baru ini membaptis selama dua hari berjumlah ratusan orang. Hari pertama 144 orang, dan hari berikutnya dibaptis 27 orang,” jelasnya.
Bagi Pastor Martin hal ini merupakan keistimewaan. Selain berkat dari Ayon, juga merupakan keistimewaan dalam karya misi SVD di wilayah Tenggarong. Dari penduduk aslinya suku Kutai, justru melahirkan satu peristiwa istimewa di mana penduduk dari Kampung Kutai yaitu Kedang Ipil memberikan diri untuk menjadi orang Katolik.
“Fenomena seperti ini itu sesungguhnya adalah rahmat Tuhan. Siapa yang sangka juga, jika Tuhan yang punya jalan ya akan berjalan seperti kehendak-Nya” pungkasnya.
Menerima Inkluturasi
Salah satu baptisan pertama, Polikarpus Sartin mengakui bahwa menjadi Katolik pada saat itu bukan didasarkan atas iman. “Dilihat saat itu agama Katolik bisa mempertahankan tradisi yang kami anut. Alasannya manusiawi sekali kok, kami tidak mau tradisi kami hilang” ungkapnya. Misalnya, Sartin menambahkan, ada tradisi kami terdahulu soal berburu binatang yang kami dapat dan harus dimakan. Biasanya, hasil berburu itu babi hutan.
Hairudin menambahkan, ada tradisi untuk orang yang sudah meninggal, doadoa adat yang dipercaya menghantarkan roh-roh orang tersebut. Menurutnya, hal ini masih sejalan dengan agama Katolik yang dimana umatnya juga mendoakan arwah orang meninggal.
“Selain itu, dalam tradisi kami, kami meyakini bahwa jika seseorang selama hidupnya baik, kami bernazar kepada dia. Kalau di adat menyebutnya kalungan. Supaya dia mendoakan kami. Kalau di Katolik, umat berdoa juga kepada melalui para orang Kudus. Semacam itu kolerasinya,” jelas Hairudin. Sartin dan Hairudin sepakat, hal-hal yang seperti inilah, jika mereka meninggalkan adat berarti dianggap tidak menghormati leluhur.
Teologi Salib
Seiring berjalannnya waktu, agama-agama lain mulai masuk mempengaruhi. Tetapi umat tak tergugah sedikit pun. “Tahun 1985-an sudah mulai ada warga yang pindah karena alasan perkawinan juga sekolah. Bukan kami mengada-ada tapi dulu saat sekolah, kami harus Muslim. Padahal itu sekolah umum,” kenang Sartin.
Tidak dipungkiri, umat Desa Kedang Ipil agaknya dijahui dengan kampung sekitar. “Kalau perayaan besar adat, di mana semuanya berkumpul, kami makan terpisah. Karena kami Katolik. Biasanya mereja makan duluan di ruang lain, kami di ruang lainnya juga. Ya mereka bilang kami najis. Tapi dari cerminan itu lah kami tetap menerima Katolik,” ungkapnya.
Soal penolakan, Pastor Hendrikus Nuwa, SVD tidak heran mendengarnya. Baginya, peristiwa ini memang sempat menimbulkan penolakan dari pemerintah kecamatan yang menyangkal mereka sebagai orang Kutai. Juga pada awalnya, Pastor Hendrik menuturkan, bahwa pelayanan ke sana harus melewati laporan baik di Kantor Agama kecamatan maupun di desa “Tidak dipersulit, tapi wajib lapor biar ada catatan,” ujarnya.
Pernah suatu kali, Pastor Hendrik bertanya pada kepala Adat saat itu, Oten, kenapa tidak terpengaruh dengan keyakinan lain. Oten hanya menjawab, “Kami orang miskin. Katolik itu agama sengsara jadi cocok dengan kita yang menderita,” ungkap Pastor Hendrik mengutip Oten.
Dengan keheranan, Pastor Hendrik cukup salut terhadap umat Desa Kedang Ipil. “Mereka lalu menghubungkan penderitaan/sengsara yang dialami karena mereka orang sederhana. Ya memang zaman itu, desa itu terpencil sekali. Saya sendiri kaget mereka sudah mengimani teologi salib. Mungkin guru agamanya waktu itu mengajarkan soal kisah sengsara Yesus. Walaupun maknanya dikaitkan dengan kondisi mereka yang miskin betul,” tuturnya.
Di samping itu, lekat diingkatan Sartin bahwa banyak yang datang dan menawarkan kemewahan. Justru itu, Sartin mengatakan, membuat umat Desa Kedang Ipil tidak tertarik.
Umat Desa Kedang Ipil memang sederhana. Seperti yang diceritrakan sebelumnya, mata pencaharian mereka berkebun, berternak, membuat gula aren sampai membuat tusuk sate. Uang yang mereka dapatkan mungkin hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari saja.
“Kehidupan kami secara ekomoni itu kurang. Hidup enak, kami tidak pernah rasakan, tapi kalau soal susah kami rasakan. Katolik tidak pernah menawarkan hidup enak. Sudah terbiasa hidup jereh kalau kata orang sini, artinya hidup susah” jelas Sartin.
Diakui oleh Sartin dan Hairudin, memang spiritualitas umat Desa Kedang Ipil dalam mengimani Kristus belum sepenuhnya mendalam. Tetapi, lagi-lagi, dengan cara hidup mereka yang sederhana dan dengan pengalaman yang mereka alami semasa hidup, mereka belajar memaknai Kristus.
Agustinus Hairudin, Karina Chrisyantia, Yanuari Marwanto
HIDUP NO.51 2019, 22 Desember 2019