HIDUPKATOLIK.com – Ada satu pengalaman yang tidak pernah dilupakan Pastor Hendrik ketika merayakan Natal di Desa Kedang Ipil.
Mobil melaju cepat melewati hutan sawit dari arah Tenggarong, Kutai Kartanegara Timur. Menyusuri jalanan beraspal yang begitu mulus, mata dimanjakan oleh pemandangan hijau. Beberapa kali, sisi kanan dan kiri, terlihat bekas tempat pengolahan batu bara.
Tidak terasa, pemandangan sisi kiri dan kanan berubah menjadi rumah warga. Mobil mulai diperlambat. Tidak ada lagi aspal mulus. Jalan lurus itu dipenuhi dengan batu-batuan dan krikil. Goncangan mulai dirasakan dan berlangsung sekitar 30 menit dalam perjalanan. Sampai pada sebuah jembatan yang terbuat dari kayu yang dibawahnya mengalir sebuah sungai kecil. Kemudian goncangan lebih terasa karena batu dan kerikil yang dilewati semakin besar.
Sampailah di sebuah rumah panggung dengan cat warna biru cerah. Orang-orang mulai masuk ke dalam tanpa menggunakan alas kaki. Di dalam terdapat panggung yang disiapkan untuk altar. Tapi tidak ada kursi. Mereka duduk di lantai. Tidak ada air conditioner, mereka membuka semua jendela. Di pintu depan, tertera tulisan Gereja Santo Paulus Stasi Kedang Ipil. Dari arah pastoran, Ketua Stasi Agustinus Hairudin menyambut dengan hangat “Selamat datang di Desa Kedang Ipil”.
Natal Pertama
Desa Kedang Ipil adalah desa yang terletak di Kecamatan Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Jika bertolak dari Tenggarong, maka jarak yang akan ditempuh sekitar 74 km dan menghabiskan waktu sekitar 2 jam 30 menit baik dengan mobil ataupun motor.
Warga Desa Kedang Ipil adalah orang Kutai. “Kami itu orang Kutai Adat Lawas, yang berarti masih berpegang teguh pada adat dan tradisi leluhur,” ungkap Polikarpus Sartin salah satu umat stasi. Apabila umumnya orang Kutai beragama Muslim, tidak di tempat ini, mereka adalah umat Katolik.
Riwayatnya, Katolik masuk ke Desa Kedang Ipil pada tahun 1983. Kemudian suku asli Desa Kedang Ipil yakni orang Kutai dibaptis secara Katolik pada bulan Desember tahun 1984 “Tepatnya tanggal 24 Desember, jadi Natal pertama kami saat di baptis,” jelas Sartin, yang termasuk menjadi baptisan pertama.
Lomba 17-an
Selain keunikan karena mereka orang Kutai, persiapan Natal yang mereka lakukan juga menarik. Dalam menyambut Natal, seperti pada tahun-tahun sebelumnya, umat bergotong royong untuk menyiapkan apa yang dibutuhkan saat hari Natal. Contoh, membuat kandang Natal, membersihkan stasi (dulu sebelum memiliki stasi, umat misa di Balai Desa), memasang tenda, potong kayu bakar, dan sebagainya. “Persiapan ini dijadualkan dan dibacakan setiap Misa/ ibadat mingguan,” ujar Hairudin.
Hairudin menambahkan, umat berkumpul saat Misa malam Natal di tanggal 24 Desember dan 25 Desember dan semua itu berpusat di gereja stasi. “Jika ada acara dengan keluarga di rumah ya setelah tanggal itu,” ungkapnya.
Tidak hanya berjibaku bersama, umat Desa Kedang Ipil mengadakan lomba dalam rangka menyongsong lahirnya Yesus. “ Lombanya umum, seperti lomba enggrang, bawa kelereng, cerdas cermat, persis seperti lomba 17 Agustusan. Kami tidak tahu sebenarnya Natal harus gimana. Kami hanya ingin meramaikan Natal, Natal kan perayaan. Jadi hadiah lomba akan diberikan oleh romo saat acara malam Natal,” ujar Sartin.
Lambat laun, setelah ada pembinaan iman di tahun 1996, lomba yang diadakan mulai mengarah ke liturgis seperi lomba baca Kitab Suci, doa pokok, doa spontan dan lomba mewarnai. Menurut Sartin, sampai sekarang, umat belum terlalu mendalami soal Natal itu apa, mereka meramaikan saja. Yang penting Natal itu soal kelahiran Tuhan Yesus dan itu harus dipestakan. “Spiritualitasnya mungkin belum ada karena balik lagi, belum telalu mendalami,” akunya.
Hairudin menambahkan, baginya Natal adalah pesta keluarga besar. Perayaan Natal adalah momen mengajak umat menggerakan ciri khas Katolik. Selain mengakrabkan iman, umat bisa menjalin kebersamaan dengan keluarga satu stasi.
Bayi Sungguhan
Stasi Kedang Ipil ini dibawah naungan Paroki St. Pius X, Tenggarong serta dibina oleh para Imam Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini/SVD). Salah satunya yang pernah mengunjungi Desa Kedang Ipil adalah Pastor Hendrikus Nuwa, SVD. Pastor yang akrab disapa Pastor Hendrik ini mengatakan fenomena kampung orang Kutai yang beragama Katolik satu-satunya adalah Desa Kedang Ipil. Ini membuat kantor kecamatan kaget dan menepis fakta itu.
Dulu, Pastor Hendrik mengungkapkan, pergi ke Desa Kedang Ipil itu harus melewati sungai. Belum ada jalan darat. “Dari Kota Bangun biasanya pakai perahu, kadang melihat kondisi airnya. Kami naik kapal dari Tenggarong ke Kota Bangun. Tiba jam lima sore, lalu menginap di Kota Bangun dulu. Besoknya, baru ke Kedang Ipil lewat sungai. Total 2 hari yang ditempuh. Nah, sekitar 2008-an baru ada jalan darat,” tuturnya.
Tahun 1987, Pastor Hendrik mendapat kesempatan memimpin Misa Malam Natal di Desa Kedang Ipil. Ada satu hal yang tidak pernah ia lupakan. “Saya ingat betul, pertama kali mereka buat drama Natal, bayi Yesusnya itu bayi sungguhan. Untung tidak menangis bayinya selama ditaruh di palungan,” ungkapnya.
Pastor Hendrik mengakui, umat Desa Kedang Ipil sangat hidup di desa yang cukup besar dan 80% mayoritas Katolik. Namun memang secara perekomian sangatlah sederhana. Sehari-harinya, kegiatan warga Desa Kedang Ipil ini mengambil air di pohon aren untuk dibuat menjadi gula, ternak ikan atau sarang burung walet, buka warung, dan membuat tusuk sate. “Sekarang ini, mereka sedang berupaya dalam pembagunan gedung stasi baru karena jika perayaan hari besar, stasi yang sekarang tidak muat,” ujarnya.
Bagi Pastor Hendrik, adat memang masih kental dalam kehidupan umat Desa Kedang Ipil tetapi mereka tidak menyampingkan keyakinannya pada Kristus. Salah satunya, selalu setia merayakan Natal dengan kebiasaan yang sudah terbentuk dan dengan cara sederhana.
Karina Chrisyantia
HIDUP NO.51 2019, 22 Desember 2019