web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Rekam Jejak

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Rekam jejak menjadi term yang diperbincangkan ketika sedang ada recruitment terbuka pengisian jabatan publik. Secara leksikal, term “rekam jejak” digunakan dalam konteks beragam.

Istilah “rekam jejak” tidak dikenal sebelum tahun 1952. Berasal dari kata “rekam” (record) dan “jejak” (track) yang masing-masingnya sudah digunakan ratusan tahun lamanya. Orang Inggris menggunakan “rekam jejak” untuk mendeskripsikan prestasi maupun kegagalan dalam dunia bisnis. Di Amerika Serikat, kata ini menggambarkan performa orang atau organisasi dalam memecahkan suatu masalah. Di Indonesia, rekam jejak berarti “catatan kinerja masa lalu seseorang, organisasi, dan sebagainya”.

Mendiskusikan rekam jejak adalah menyoal etika pejabat publik. Term “rekam jejak” semula merujuk ke aktivitas merekam (record) jejak dan kecepatan kuda di lintasan pacuan (track). Ini dilakukan untuk mengevaluasi performa kuda. Evaluasi itu berujung pada keputusan kuda itu layak diturunkan dalam lomba atau posisinya digantikan oleh kuda yang lain.

Dalam konteks perekrutan pejabat publik, amatan cermat pada “rekam jejak” seseorang memungkinkan kita mengevaluasi pantas tidaknya dia menduduki jabatan publik. Dengan begitu, kita sedang memasuki ranah etika, karena menimbang layak tidaknya seseorang menduduki jabatan publik. Untuk sementara, kita mengabaikan dahulu ukuran layak tidaknya berdasarkan patokan moralitas tradisi atau patokan norma agama tertentu. Alasannya, ada prinsip yang dapat diterima sebagai moralitas bersama di Indonesia, salah satunya adalah perilaku jujur.

Ketidakcocokan patokan moral sering terjadi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan. Itu nyata dalam perekrutan pejabat publik. Masyarakat kadang tidak berdaya menghadapi keputusan penguasa yang mengangkat pejabat publik tertentu dengan rekam jejak yang buruk. Celakanya, berbagai protes masyarakat tidak digubris karena alasan prosedur perekrutan yang sudah tepat, misalnya pengadilan belum memutuskannya, kita tidak boleh berprasangka buruk, yang bersangkutan sudah mengklarifikasinya, dan sebagainya.

Pacuan kuda adalah tontonan publik. Siapa pun bisa mengevaluasi kinerja kuda di lintasan pacu. Sifat kepublikan “rekam jejak” ini seharusnya berlaku juga dalam perekrutan pejabat publik. Siapa pun warga negara dapat mengevaluasi layak tidaknya seseorang menduduki jabatan publik. Catatan warga negara itu harus dipertimbangkan secara serius karena akan memengaruhi keberhasilan karya pejabat publik tersebut, entah itu pemberantasan korupsi, penegakan hak asasi manusia, transparansi dan akuntabilitas pemberitaan, dan semacamnya.

Maka, ketika pemegang kekuasaan mengabaikan penilaian masyarakat dan “ngotot” mengangkat orang yang buruk rekam jejaknya, kita dihadapkan pada empat realitas sekaligus. Pertama, perekrut atau penguasa mempertahankan rekam jejak buruk pejabat publik itu karena hubungan yang saling menguntungkan antarkeduanya.

Kedua, pejabat publik itu buruk rekam jejaknya tetapi ada potensi untuk berubah menjadi lebih baik. Para perekrut dan penguasa memberi kesempatan kepadanya untuk berkembang. Demi alasan ini, keberatan masyarakat bisa diabaikan–sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan legal pengangkatan pejabat publik.

Ketiga, pejabat publik itu baik rekam jejaknya dan dia terpilih oleh para perekrut (penguasa) yang juga memiliki rekam jejak yang baik. Keadaan ideal semacam ini hampir mustahil terjadi terutama ketika praktik politik masih diwarnai oleh tawar-menawar kepentingan.

Keempat, terjadi bahwa banyak calon pejabat publik yang baik rekam jejaknya tetapi tidak dipilih karena buruknya rekam jejak perekrut (penguasa). Masyarakat mendukung tokoh tertentu yang baik rekam jejaknya tetapi sering (di)kalah(kan) dalam proses perekrutan.

Dalam konteks perekrutan pejabat publik di Indonesia, tampaknya kemungkinan pertama dan keempat yang terus merajalela. Jika ini benar, kita tidak hanya bingung dengan penggunaan term “rekam jejak”, tetapi juga mengalami penumpulan kesadaran moral publik. Dan kita tidak pernah tahu sampai kapan keadaan semacam ini akan dipertahankan.

Yeremias Jena

HIDUP NO.45 2019, 10 November 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles