HIDUPKATOLIK.com – Dengan melihat Kristus dalam wajah sesama yang membutuhkan, SSV mengajak setiap orang untuk lebih peka pada sesama yang membutuhkan uluran tangan kasih.
Prancis mengalami pergolakan yang dikenal dengan Revolusi Prancis. Peristiwa ini meletus tahun 1789 dan mengakibatkan krisis berkepanjangan. Orang-orang sudah tidak lagi peduli dengan sesamanya. Pemerintahan saat itu juga sibuk mementingkan diri sendiri. Frederik Ozanam, seorang mahasiswa, menyadari bahwa krisis seperti itu tidak bisa dibiarkan terus berlangsung. Ia dan beberapa temannya membuat diskusi mengenai peranan Gereja yang berguna bagi kehidupan masyarakat.
Namun, saat itu aksi menyerang Gereja baik secara fisik, maupun dengan ajaran yang membawa suasana anti Gereja semakin marak. Kaum anti agama mulai mempertanyakan bagaimana iman Katolik menunjukan hasil yang nyata. Tergugah hati Ozanam dan teman-temannya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Maka mereka mencari cara menghasilkan buah yang nyata. Lalu terjadilah perjumpaan dengan seorang suster Puteri Kasih yang bernama Suster Rosalie Rendu, PK. Lalu, Suster Rosalie mendorong mereka berkarya amal. Ia memberikan beberapa alamat keluarga miskin dan nasehat mengenai cara mengunjungi kaum miskin.
Ozanam dan teman-temannya belajar melihat Tuhan Yesus dalam pribadi orang miskin. Sejak saat itulah mereka merasa menemukan jalan hidup dan terbentuk kelompok yang diberi nama Konferensi Cinta Kasih. Konferensi tersebut mengambil fokus kegiatan yakni mengunjungi dan membantu kaum miskin.
Tahun 1834, Jean Leon le Provost, anggota tertua konferensi saat itu, mengusulkan agar mengambil Santo Vinsensius sebagai pelindung, teladan, dan nama serikat. Santo Vinsensius terkenal sebagai penggerak kaum awam di Gereja dan kasihnya pada orang miskin. Kemudian Konferensi Cinta Kasih berubah nama bernama Serikat Sosial Vinsensius (SSV) atau dalam bahasa lain, Society of St. Vincent de Paul. Selanjutnya serikat ini terus berkembang di berbagai kota di Prancis, bahkan mulai berkembang pesat di berbagai negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Karya Awam
Kurang lebih pada tahun 1960, SSV hadir di Indonesia dan disebarluaskan para pastor Konggregasi Misi/Congregatio Missionis (CM). Ketua SSV Dewan Daerah Jakarta, Robert Cornelis Lefteuw yang akrab disapa Robby menjelaskan bahwa awal mula SSV berkiprah di daerah Jawa Timur. “SSV ini semangatnya dijiwai oleh Konggregasi CM maka sekarang berpusat di Surabaya,” ungkap Robby. Seiring berjalannya waktu, tambah Robby, berkembanglah SSV di Jawa Tengah lalu sampai ke Bandung, Bogor (Jawa Barat), DKI Jakarta, kemudian tembus sampai ke luar Jawa, seperti Lampung, Pontianak (Kalimantan Barat), dan Lombok (Nusa Tenggara Barat).
Robby menuturkan, organisasi ini merupakan karya awam kepada orang-orang miskin. Dan, mungkin bukan di bawah naungan Gereja. Tetapi karya misinya adalah berdasarkan dari Injil. “Ketika Aku lapar, Engkau memberiku makan, ketika Aku telanjang, Engkau memberikanku pakaian, ketika Aku dipenjara Engkau menolong aku,” tambah Robby, mengutip Injil Matius 25:35-40.
Sesuai visi dan misinya, SSV hadir sebagai Gereja Pelopor Kaum Miskin. SSV berfokus dalam membangun kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik lagi. Karya SSV tidak memandang suku, ras, agama, dan budaya. Tentu, kegiatan SSV adalah mengunjungi orang-orang terlantar atau yang membutuhkan.
“Dengan berkunjung kepada yang membutuhkan, kami saling bertegur sapa dan memberikan semangat bahwasanya mereka tidaklah sendiri. Kami mencoba memberi kailnya supaya dari kail ini, mereka bisa berusaha. Misalkan, sudah ada usaha tetapi bangkrut. Di situ kami bantu untuk bisa kembali lagi usahanya. Entah mencari donasi atau kami sisihkan apa yang kami punya, ” jelas Robby.
Dalam struktur SSV, unit yang terkecil yakni konferensi. Kemudian dipersatukan dalam dewan daerah, wilayah, nasional sampai dewan umum di Paris. Konferensi biasanya diberi nama sesuai dengan nama para orang kudus. Seperti di daerah Cijantung, Jakarta Timur, ada 3 konferensi yaitu Konferensi Santa Theresia, Konferensi Santa Theresia Avila, dan Konferensi Santa Louisa.
Menurut Robby, dalam kegiatannya, masing-masing konferensi memiliki keunikan atau warna tersendiri. Contoh, Konferensi Santa Louisa fokus pada kunjungan orang-orang di penjara; Konferensi Santa Theresa Avila pada pendampingan anak, seperti memberi imunisasi, dan bagi-bagi bubur kacang hijau di pertemuan di posyandu. Di daerah Tanjung Priuk, Jakarta Utara, Konferensi Santa Clara berkutat dalam penyediaan sembako murah. Lain hal dengan konferensi Santa Theresia yang kerap berkunjung ke panti asuhan. “Jadi masing-masing konferensi sudah memiliki aturannya sendiri. Misalkan, selain pelayanan, mereka minimal sebulan atau dua minggu sekali berkumpul untuk baca firman,” ungkap Robby.
Organisasi Orang Muda
Melihat kembali sejarahnya, SSV sebenarnya adalah organisasi orang muda karena dipelopori pertama kali oleh seorang mahasiswa. Faktanya, Robby mengungkapkan, saat dulu ia pertama kali bergabung, anggotanya kebanyakan sudah sepuh. “Ternyata mereka bergabung dari usia muda dan setia dalam organisasi ini sampai tua,” ujarnya.
Dulu, Robby menambahkan, SSV memiliki satu konferensi yang berisi anak muda, namun seiring berjalannya waktu, semangatnya luntur. “Mungkin karena kemajuan teknologi, sehingga orang lebih tertarik untuk melihat gadget dari pada membantu sesamanya,” tuturnya. Maka, menurut Robby, target SSV Indonesia sekarang ini adalah merekrut anak-anak muda . Tidak dipungkiri kegiatan mengurus orang-orang yang berkebutuhan bukanlah kegiatan yang menarik, padahal sangatlah penting apalagi di kota besar seperti Jakarta.
“Dasarnya, hidup menjadi berkat. Kami sadar hidup ini bukan untuk diri sendiri, tapi bagaimana bentuk kasih Tuhan harus dinyatakan. Itu spirit yang kami sadari karena segala kebutuhan kami masih tercukupi. Kami berbagi meskipun kadang bukan barang, tapi sapaan. Itu membuat perubahan yang luar biasa,” tegas Robby.
SSV tidak mau menonjolkan jati dirinya, tetapi lebih ingin mengajak dan memberi semangat untuk orang di sekitar agar lebih peka terhadap lingkungan terdekat. Masih banyak yang memerlukan uluran tangan. SSV pun mengetuk setiap hati individu untuk hadir dan mulai bertindak di tengah masyarakat.
Karina Chrisyantia/Yola Salvia
HIDUP NO.50 2019, 15 Desember 2019