HIDUPKATOLIK.com – Awal memulai hidup sebagai pertapa, Romo Yohanes Indrakusuma menggabungkan semangat Karmel dan semangat Karismatik. Ia berharap, cara hidup yang ia ajarkan akan mengantar banyak orang merasakan sukacita kasih Allah.
Malam sebelum puncak perayaan 40 Tahun Pertapaan Karmel Ngadireso, Tumpang, Malang, Jawa Timur, K. H. Zain Baik berkunjung ke pertapaan yang terletak di sebelah Barat Gunung Semeru itu , 6/12. Saat itu di tengah suasana santap malam, Gus Zain, panggilannya, terlihat akrab dalam kebersamaan dengan Romo Yohanes Indrakusuma, CSE. Di antara keduanya, seakan tak ada jarak.
“Saya ini kiai untuk santri-santri gila,” begitu, Gus Zain sesekali bercanda. Gurauan itu memang tidak sepenuhnya hanya “candaan”. Pondok Pesantren (Ponpes) Az Zainy yang dipimpin Gus Zain memang dikenal sebagai salah satu pusat rehabilitasi mental di daerah Malang. Sudah sekitar lima tahun ini, antara Ponpes Az Zainy dan Pertapaan Karmel Ngadireso memang memiliki hubungan yang istimewa.
Tak mengherankan, saat pertapaan yang didirikan Romo Yohanes, sapaan akrab Romo Yohanes Indrakusuma, CSE merayakan empat dekade kelahirannya, Gus Zain datang bersilaturahmi. “Ini adalah salah satu bentuk kebersamaan kita hidup antarumat beragama saling hormat menghormati. Pertapaan yang sudah 40 tahun didirikan Romo Yohanes ini menjadi ikon bagi Beliau dengan komunitasnya, kemudian bisa nyambung dengan masyarakat sekitar,” ujar Gus Zain.
Hidup Baru
Setelah 40 tahun berdiri, sejak 8 Desember 1979, Pertapaan Karmel Ngadireso kini tidak hanya menjadi tempat untuk “menyepi”. Kehadirannya juga menjadi berkat bagi semua orang. Saat mulai tinggal di pertapaan ini, Romo Yohanes menempati sebuah rumah kecil yang kini menjadi museum. Dari yang awalnya menjalani kehidupan seorang diri, cara hidup ini kemudian menginspirasi banyak orang.
Orang-orang yang mengikuti cara hidup Romo Yohanes ini kemudian hari menjadi Kongregasi Suster Putri Karmel (P. Karm), Kongregasi Carmelitae Sancti Eliae (CSE), dan Komunitas Tritunggal Mahakudus (KTM). Selain itu, masih ada ribuan lain yang mengikuti teladan hidup Romo Yohanes dengan caranya masing-masing.
Romo Yohanes berharap, dengan adanya Pertapaan Karmel Ngadireso, banyak orang boleh mengenal Tuhan dan mengalami kasih-Nya. Ia berpendapat, pada zaman ini, banyak orang kehilangan arah dalam hidup mereka. Di tempat ini, orang-orang ini dapat mengalami kasih Tuhan. “Bila mereka mengalami kasih Tuhan, mereka akan menjadi baru,” katanya.
Semua adalah penyelenggaraan Ilahi. Romo Yohanes pun pada mulanya tidak membayangkan, bahwa cara hidupnya ini akan menginspirasi ribuan orang. Ia menceritakan, motivasi awal ia tinggal menyendiri di Ngadireso, hanya ingin hidup sebagai pertapa dan menghayati hidup kontemplatif.
Waktu memulai kehidupan di Ngadireso, sebagai seorang imam Karmel (Ordo Fratrum Beatissimae Marie de Monte Carmelo/OCarm), Romo Yohanes menggabungkan semangat Karmel dan Karismatik. Ia mengenang, semua perjalanan ini terjadi secara spontan, tidak ada yang merencanakan. Ketika satu per satu ada yang datang bergabung, ia pun mengajarkan cara hidup yang sama seperti yang ia hayati.
Bagi Romo Yohanes, semua yang terjadi selama 40 tahun ini adalah karya Tuhan sendiri. Ia percaya, karena ini adalah karya Tuhan, maka karya ini akan terus berkembang, dengan atau tanpa kehadirannya. Ia menganggap dirinya hanya “alat kecil” di dalam karya Tuhan yang besar itu. Ia memang yang pertama memulai karya ini, namun ia melihat, Tuhan yang akan terus merawatnya. “Memang saya dipakai Tuhan untuk menanamkan ini dan memberikan cara hidup dan sebagainya,” ujarnya.
Rencana Allah
Sehari sebelum puncak perayaan, Nunsius Apostolik untuk Indonesia, Mgr. Piero Pioppo meresmikan dan memberkati sebuah Gua Maria yang terletak di salah satu satu bagian Pertapaan Ngadireso. Peresmian ini dihadiri setidaknya 400 umat yang datang dari berbagai daerah di Indonesia. Sebagian besar anggota KTM.
Hari berikutnya, Mgr. Pioppo memimpin Misa Syukur 40 Tahun Pertapaan Karmel Ngadireso. Ia didampingi Uskup Malang, Mgr. Henricus Pidyarto Gunawan, O.Carm; Uskup Maumere, Nusa Tenggara Timur, Mgr. Edwaldus Sedu; Uskup Agung Emeritus Medan, Sumatera Utara, Mgr. A.G. Pius Datubara OFMCap; dan Uskup Emeritus Bogor, Jawa Barat, Mgr. Mikael C. Angkur, OFM.
Dari terang yang murni dari Perawan Maria yang Dikandung Tanpa Noda, setiap orang berkumpul di Pertapaan Ngadireso untuk merayakan 40 kehadiran pertapaan. Mgr. Pioppo mengatakan, dengan hadirnya Gua Maria di pertapaan itu, maka Bunda Maria menjadi pusat pertapaan. “Bila kita memandangnya dengan iman dan kasih seorang anak, dengan jelas kita mengerti betapa besar kasih Allah bagi kita,” ujarnya.
Mgr. Pioppo melanjutkan, dalam suratnya, St. Paulus menunjukkan, bahwa sejak awal Allah menghendaki manusia menjadi kudus dan tak bercela di hadapan-Nya. Allah mengendaki, setiap orang menjadi anak-anak-Nya melalui perantaraan Yesus Putra-Nya. “Inilah cita-cita tertinggi yang Allah ukir dalam hati manusia. Inilah rencana hidup yang diberikan Allah kepada kita,” imbuhnya.
Untuk Gereja
Mgr. Pidyarto memiliki kesan pribadi pada Pertapaan Ngadireso. Ia mengenang, ketika masih menjalani masa studi di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang, Romo Yohanes adalah salah satu dosen di sana. Sebagai frater saat itu, ia bertugas mengantar Romo Yohanes setiap kali pulang ke pertapaan setelah selesai mengajar. Satu kali ketika hujan lebat, di perjalanan pulang dari pertapaan, mobil yang ia kendarai hampir terbalik. “Tetapi itu kenangan indah, karena saya masih hidup,” ujar Mgr. Pidyarto.
Mgr Pidyarto memandang karisma yang diberikan kepada Tarekat CSE dan Putri Karmel adalah juga untuk kepentingan Gereja. Salah satu bentuknya adalah pelayanan kepada umat. Ia berharap, pertapaan ini tetap menjadi oase rohani bagi banyak orang yang merindukan pengalaman rohani yang sejati. “Terima kasih atas pengabdian mereka yang bekerja di tempat ini,” katanya.
Empat dekade bukanlah waktu yang singkat, Pemimpin Umum Tarekat Putri Karmel, Suster Petra, P. Karm bersyukur telah menjadi bagian dari perjalanan panjang ini. Begitu banyak orang yang datang ke pertapaan ini dan akhirnya mengalami pengalaman pribadi dengan Allah.
Suster Petra merasa gembira karena ia melihat penghayatan hidup yang ditanamkan Romo Yohanes dihayati dengan sungguh-sungguh oleh para suster, imam CSE, dan ribuan umat. Ia melihat, semakin banyak umat yang dibawa untuk mengalami kedekatan dengan Allah. Ia juga bersyukur, perkembangan kongregasi yang didirikan Romo Yohanes berjalan dengan baik. “Visi misi kami adalah terlebih dahulu mengalami Allah dan membawa umat untuk mengalami hal yang sama,” ujarnya.
Antonius E. Sugiyanto (Malang)
HIDUP NO.50 2019, 15 Desember 2019