web page hit counter
Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Diskusi untuk Mencari Solusi

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Membahas pelecehan dan penyalahgunaan wewenang dalam Gereja bukanlah hal tabu. Justru ini harus dilakukan, bukan untuk menjelek-jelekkan Gereja kita, tetapi untuk mencari solusi.

Kejahatan seksual di lingkungan Gereja Katolik mulai menjadi perhatian publik sejak 2002 silam. Kasus-kasus yang terkuak selama ini secara umum berasal dari Amerika Serikat, beberapa negara di Eropa, India, Chile, dan Australia. Pada 2017, Gereja Katolik di Australia harus membayar A$ 276,1 juta atau sekitar Rp 2,6 triliun sebagai kompensasi kepada ribuan korban pelecehan anak yang terjadi di lembaga-lembaga gereja selama rentang 35 tahun, atau sejak 1980.

Di Indonesia, kasus kekerasan atau pelecehan seksual yang menimpa anak-anak belum ada yang mencuat. Namun, tak berarti persoalan tersebut tak ada di sini. Data sementara yang dimiliki oleh Badan Kerjasama Bina Lanjut Imam-Imam Indonesia (BKBLII) saat ini ada 56 korban pelecehan seksual dalam lingkungan Gereja. Para korban itu antara lain: seminaris atau frater, suster, dan awam.

Menurut Sekretaris Pelaksana BKBLII, Pastor Joseph Kristanto Suratman, informasi tersebut diperoleh dari 16 informan serta data BKBLII. Para korban tersebut berada pada rentang usia enam hingga 20 tahun. Mirisnya, korban baru mendapatkan bantuan konseling paling cepat sepuluh tahun pasca kejadian. Korban dari kalangan awam justru menjadi kelompok yang paling lama mendapat penanganan. Mereka (korban awam) baru mendapatkan konseling sekitar 21 tahun pasca kejadian.

Kalangan Religius
Sementara itu, berdasarkan informasi yang diperoleh dari 16 informan, pelaku kejahatan terbanyak adalah kaum religius. Kelompok ini adalah diakon, imam, serta uskup. Dari kalangan tersebut sejauh ini ada 33 pelaku berusia 28-52 tahun. Sementara di luar itu –kelompok “non religius” seperti istilah yang dipakai oleh Pastor Kristanto– terdapat 23 pelaku. Mereka melakukan kejahatan itu saat berusia 15-65 tahun. Kasus-kasus pelecehan ini baru diketahui setelah lebih dari satu dekade.

Data-data tersebut dibeberkan Pastor Kristanto saat diskusi buku Pelayanan Profesional Gereja Katolik dan Penyalahgunaan Wewenang Jabatan, di Unika Atma Jaya, Jakarta Selatan, Sabtu, 30/11.

Buku yang disusun oleh BKBLII dan Komisi Seminari KWI pada 2017 itu sebagai bahan pendampingan bagi para klerus, anggota lembaga hidup bakti, dan serikat kerasulan, terhadap persoalan seputar pelecehan seksual dan tanggung jawab untuk menangani serta memulihkan para korban, sekaligus upaya konkret pencegahan agar kejadian serupa tak terulang.

Pada 2013, Takhta Suci mengumumkan kehadiran satu komisi baru yakni Komisi Perlindungan Anak. Pastor Kristanto mengatakan, keberadaan komisi ini masih menjadi pertanyaan Konferensi Waligereja Indonesia. Sementara wewenang untuk membentuk komisi baru itu ada di tangan presidium. Meski demikian, lanjut mantan Rektor Seminari Tinggi St Paulus Kentungan Yogyakarta sekaligus Sekretaris Komisi Seminari KWI ini, Gereja telah memulai gerakan-gerakan merespons seruan Bapa Suci terkait pelecehan seksual. “Kami sedang memimpikan suatu tempat yang bisa digunakan untuk semacam “rehabilitasi” bagi para klerus dan biarawan-biarawati. Ini menyangkut tempat, tenaga ahli: dokter, psikiater, dan lainnya, yang dinamakan center for growth,” ujarnya.

Tempat tersebut, tambah Pastor Kristanto, bukan tempat untuk “mereka yang bermasalah” melainkan bagi imam-imam muda yang mau lebih mengenal diri sendiri. Karenanya, Pastor Kristianto meminta para imam, bruder, suster, guru, dan pelayan Gereja lain untuk membaca Undang-Undang Perlindungan Anak yang ada dalam buku Pelayanan Profesional Gereja Katolik dan Penyalahgunaan Wewenang Jabatan, “Alangkah baik bila dibaca secara tuntas. Undang-undang ini membantu membangun sikap yang tepat terhadap anak, pelayanan yang integral dan profesional,” tuturnya.

Sejak Juli tahun lalu, BKBLII juga telah mengadakan seminar dan workshop bertajuk “Pelayanan yang Integral & Profesional” dalam tiga gelombang masing-masing selama tiga hari. Bahasannya seputar protokol pelayanan Gereja Katolik secara profesional dan integral dari perspektif hukum dan psikologis. Peserta seminar ini adalah para uskup, suster, imam, bruder, dan frater. Sayangnya, dari 35 uskup, hanya sepuluh uskup yang ikut dalam seminar ini.

Upaya-upaya BKBLII menjadi salah satu jawaban atas seruan dan harapan Paus Fransiskus agar dilaksanakan penyadaran dan pendampingan di setiap level pelayanan dan seluruh aspek kehidupan Gereja.

Saat ini, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah menyediakan layanan hotline pengaduan korban untuk memudahkan pelaporan kasus kekerasan anak. Dalam lingkungan Gereja, layanan ini belum ada, kecuali kongregasi Serikat Yesus yang memiliki lembaga khusus untuk menangani ini.

Pastor Kristianto menambahkan, saat ini untuk pengaduan bisa langsung ditujukan kepada pastor paroki, ketua unio atau paguyuban imam-imam diosesan, serta bisa langsung kepada uskup setempat bila kasus berkaitan dengan imam diosesan. Sementara untuk klerus tarekat, bisa langsung melaporkan kepada provinsial kongregasi. Yang menjadi persoalan, pelaku bisa saja berasal dari pihak-pihak yang disebutkan ini.

Upaya Konkret
Psikolog Unika Atma Jaya, Lidia Laksana Hidajat, mengatakan, para frater dampingannya yang pernah mengalami kekerasan seksual pada masa kecil, sering merasa tidak pantas untuk melanjutkan panggilannya karena merasa diri kotor. Sementara, dalam wawancara terpisah dengan KPAI, dikatakan korban kekerasan seksual berpeluang menjadi pelaku. Rata-rata pelaku kasus yang ditangani KPAI adalah mereka yang pernah menjadi korban, tetapi tidak ditangani secara baik.

Kasus pelecehan seksual yang terjadi dalam lingkungan Gereja oleh mereka yang berperan sebagai pelayan, khususnya klerus –uskup, imam, diakon– terhadap awam, menurut sosiolog Fransiska Saveria Erry Seda, dapat dilihat dalam relasi kekuasaan, baik secara sosial maupun psikologi.

Penanganan persolan ini, lanjut Erry Seda, membutuhkan diskusi serta upaya yang lebih konkret dalam tubuh Gereja. Diskusi terkait masalah serius ini, lanjutnya, mesti dilakukan. Bukan bermaksud untuk menjelek-jelekkan “Gereja kita”, tetapi justru untuk mencari solusi agar apa yang terjadi di Boston, Los Angeles, Seattle tidak terjadi di Gereja Indonesia.

Hermina Wulohering

HIDUP NO.50 2019, 15 Desember 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles