HIDUPKATOLIK.com – Romo Erwin, bagaimana saya menghadapi istri saya yang hampir selalu mendesak agar kami bercerai. Dia merasa lelah dan jenuh mengurus saya yang berpenyakitan dan tak kunjung sembuh. Saya sama sekali tak ingin bercerai. Saya kuatir jika hal itu terjadi amat merugikan dua anak kami yang masih kecil. Apa yang harus saya lakukan, Romo?
Jonathan, Jakarta
Bapak Jonathan yang baik, menjadi seorang suami memang mengandung suatu konsekuensi. Anda dan para suami lain menginginkan pasangan hidup Anda bahagia. Kebahagiaan itu harus diciptakan berdua. Ketika salah satu mengalami ketidakmampuan, maka tantangan bisa terjadi. Salah satu yang paling sering muncul adalah ketika pasangan berubah menjadi pribadi yang lain, karena ia mengalami sakit, persoalan hati, dan mengubah pola serta gaya hidupnya.
Ketika Anda sakit, tentu Anda akan bergumul dengan rasa itu. Perasaan tersebut sedikit banyak mengubah Anda menjadi pribadi “yang lain”, dalam hal ini tak diinginkan oleh istri Anda. Perubahan sekecil apa pun, tanpa disengaja maupun disengaja, akan membawa perasaan berbeda dari pasangan Anda. Menurut saya, bukan karena sakit saja yang membuat ia lelah, tapi juga perubahan Anda yang mungkin menjadi lebih sensitif, ingin diperhatikan, mudah marah, atau mungkin gampang putus asa.
Pasangan menikah dipersatukan Allah karena ingin menjalani segala sesuatu berdua, dalam susah dan senang, sehat dan sakit, suka dan duka, dan akan menghadapi berdua sampai maut memisahkan. Saya percaya ini diketahui oleh Anda berdua. Akan tetapi tak tertutup kemungkinan perasaan lelah, jengkel, dan putus asa melanda. Saya harap, Anda menyadari ini dan jangan merasa itu semua hak Anda sebagai orang sakit.
Kemarahan dan keputusasaan itu muncul karena situasi yang tak kunjung berubah. Jadi, kalau mau menyelesaikan masalah keputusasaan ini, perlu ada perubahan, entah itu perubahan fisik (harapan sembuh) maupun perubahan sikap yang melengkapi situasi sakit itu. Semoga Anda memahami.
Begini, dalam situasi sakit, biasanya kebanyakan orang merasa layak dan pantas untuk bersikap “menuntut”, seperti perhatian, dilayani, dimengerti, dan sebaliknya tidak menuntut diri untuk melayani, memperhatikan, mengucapkan terima kasih, memuji perhatian pasangan, atau mengurangi tuntutan.
Situasi berat sering diperberat dengan sikap yang menuntut dari pihak penderita sakit, sehingga pasangan merasa tuntutan bagi dirinya terlalu banyak dan tak adil. Ia ingin bahagia dan diperhatikan; ia ingin dimengerti dan bahkan dilayani oleh pasangannya juga. Kalau itu tidak mungkin, karena Anda sakit, tentu pengorbanannya akan bertambah lagi. Bayangkan betapa beratnya pengorbanan istri dalam situasi ini.
Saya sangat mengerti, situasi ini juga berat buat Anda yang sedang sakit. Akan tetapi, barangkali dengan inspirasi ini, Anda dapat menambah lagi semangat hidup dan perhatian Anda. Anda harus punya kemauan untuk sembuh! Anda harus membangun kekuatan penyembuhan itu dari dalam diri Anda. Maaf, Anda tak memberi tahu apa penyakit Anda. Semoga itu semua dapat disembuhkan dengan hati yang gembira dan iman yang kuat.
Anda tentu harus mengulang-ulang firman ini, “hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang.” (Amsal 17:22). Penyakit adalah suatu kenyataan hidup ini, melengkapi kesenangan dan keberuntungan kita. Jadi, kalau kita mau menerima keberuntungan dan kegembiraan, mengapa kita tidak menerima pengalaman sakit? Penerimaan berarti tidak marah berlarut-larut, tapi mendekatkan diri kepada Tuhan dan memohon kesembuhan dengan hati yang gembira dan percaya.
Semoga Bapak, Ibu dan keluarga tetap mengingat janji perkawinan untuk tetap setia dalam untung dan malang. Semoga itu diusahakan berdua, dan bukan oleh salah satu saja. Anda harus berjuang untuk percaya dan mengucapkan terima kasih kepada istri dan anak-anak yang telah melayani. Sikap itu harus dikembangkan dengan senang hati. Tuhan memberkati Anda dan keluarga.
Alexander Erwin Santoso, MSF
HIDUP NO.44 2019, 3 November 2019