web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Komitmen Filsafat di Hadapan Realitas

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Filsafat harus menampilkan eksistensi manusia sebagai subjek yang sadar diri, sebagai persona yang secara individual bermartabat dan tidak mudah dilindas perubahan.

Relevankan studi filsafat di tengah era manusia yang semakin tenggelam dalam situasi serba praktis? Pertanyaan ini dilontarkan seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT), dalam International Symposium on Philosophy and Contextual Theology. Simposium yang mengangkat tema, Love the Light the Wisdom, itu menghadirkan keynote speaker Pater Stephen B. Bevans, SVD.

Pertanyaan ini mewakili keragu-raguan banyak mahasiswa, berhadapan dengan dunia dewasa ini yang ditandai dengan spesialisasi pada teknologi dan ilmu pengetahuan empiris. Menjawab pertanyaan ini, Pater Bevans mengatakan, filsafat dan teologi memiliki arti sebagai pemikiran dasar, yang melahirkan doktrin-doktrin besar kenegaraan, moralitas, sosialitas, bahkan juga keagamaan, yang hingga kini menjadi pembicaraan banyak orang. “Dilihat secara demikian, filsafat boleh dikatakan memberikan dasar-dasar pemikiran untuk pegangan hidup (weltanschauung), wawasan luas, dan proyeksi ke masa depan yang jauh,” ujar Bevans.

Kendati begitu, Profesor Emeritus dari Catholic Theological Union, Chicago, Amerika Serikat ini mengatakan, tidak bisa dipungkiri persoalan-persoalan konkret dan sederhana, hal-hal praktis dalam kehidupan, termasuk juga bahasa sehari-hari yang digunakan oleh orang-orang biasa, kiranya akan kurang mendapat perhatian filsafat. Filsafat berangkat dari hal-hal yang umum, prinsipil atau mendasar.

Prototipe Fachidiot
Ketua STFK Ledalero, Pater Otto Gusti Madung, SVD mengatakan “kebencian” terhadap filsafat yang abstrak dan “kosong”, serta keenggananan terhadap kecenderungan filsafat yang ambisius itu diperkuat dengan hadirnya ilmu-ilmu terapan. Para filsuf berupaya mengaktualisasikan filsafat di tengah perkembangan ilmu-ilmu praktis, kendati begitu selalu terjadi perkembangan dengan semakin banyak bidang semakin banyak pula kajiannya. “Apakah filsafat kehilangan peran?” tanyanya.

Alumnus Hochschule für Philosophie München, Jerman ini kemudian merumuskannya dalam kerangka Pesta Emas STFK Ledalero dan STF Driyarkara Jakarta. Baginya, filsafat tetap punya peranan penting, tetapi tidak di semua masa. Karena itu, pertanyaan tentang apakah penting belajar filsafat, bukan sebuah pertanyaan yang selesai di masa ini. Masa yang akan datang dengan persoalan-persoalan tertentu, filsafat masih akan dipertanyakan.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga Lima Tahun ke Depan

Membuka cakrawala berpikir manusia di zaman praktis ini, Pater Otto memulai dengan sebuah ide filsafat Karl Marx (filsuf Abad XIX) dan Friedrich Engels (penggiat Marxisme) saat menjalani pengasingan di Brussel, Belgia tahun 1845. Keduanya merumuskan arti dari komunisme atau masyarakat tanpa kelas. Menurut mereka, komunisme adalah sebuah masyarakat yang membuka ruang bagi setiap orang, untuk bekerja apa saja sesuai keinginannya seperti berburu binatang liar di pagi hari, menjadi nelayan di siang hari, menjalankan profesi sebagai gembala hewan di sore hari dan kritikus sastra atau filsuf setelah makan malam (Richard David Precht, 2018). Itulah gambaran masyarakat tanpa spesialisasi, tanpa kelas. Orang boleh bekerja apa saja sesuai dengan keinginan dan minatnya.

Belasan tahun silam kondisi yang sama juga masih dialami oleh para tamatan STFK Ledalero, juga STF Driyarkara. Mereka dengan mudah dapat bekerja apa saja, sebab bursa pasar kerja belum menuntut spesialisasi yang ketat. “Para filsuf dan teolog yang biasa mendapat julukan ‘ilmuwan yang tahu banyak tentang sedikit’ dengan mudah menembus segala ruang pasar kerja,” jelas Pater Otto.

Pater Otto mengakui, era bagi para generalis, waktu bagi para cendekiawan yang tahu banyak tentang sedikit, sudah berlalu. Dunia kerja yang semakin kompetitif menuntut spesialisasi dari calon tenaga kerja. Bahkan, prototipe ideal seorang ilmuwan dewasa ini adalah fachidiot, orang yang ahli sekali di bidangnya namun tidak tahu apa-apa tentang ranah kehidupan yang lainnya. “Tantangan spesialisasi ini menjadi lebih rumit lagi, ketika dikombinasikan dengan perkembangan dunia ekonomi, yang ditandai dengan proses digitalisasi,” ujarnya.

Baca Juga:  Buah-buah Sinode III Keuskupan Sibolga Harus Menjadi Milik Seluruh Umat

Pater Otto melanjutkan, di kebanyakan negara industri maju, tenaga kerja manusia perlahan-lahan mulai diambil alih oleh apa yang dikenal dengan nama artificial intelligence atau kecerdasan buatan seperti robot, komputer, dan lain-lain. Lagi-lagi akan muncul pertanyaan, di mana posisi filsafat dan teologi di era artificial intelligence zaman ini?

Kebebasan dan Kreativitas
Menjawab pertanyaan ini Romo F.X. Mudji Sutrisno, SJ mengharapkan agar perlu belajar dari pribadi Romo Nicolaus Driyarkara, SJ. Dalam sebuah buku yang ditulisnya, Driyarkara: Filsuf yang Mengubah Dunia, Romo Mudji mengatakan, Driyarkara menampilkan eksistensi manusia sebagai subjek yang sadar diri, sebagai persona yang secara individual bermartabat dan tidak mudah dilindas oleh perubahan.

Menurut Romo Mudji, setiap manusia dalam proses pendidikan, harus mampu mengartikan dunianya secara bebas dan kreatif. “Jadi bukan indoktrinasi zaman yang menggunting dan tidak memberi tempat pada kebebasan berpikir dan kreativitas manusia,” ujarnya.

Di zaman ini bukan sesuatu yang mudah menggugah kaum muda menekuni ilmu filsafat di tengah masyarakat yang pikirannya mulai “menggado-gado”, tidak runtut, dipilah-pilah oleh berbagai persoalan. Romo Mudji tak menolak realitas, bahwa filsafat sebagai profesi, masih kalah pamor dengan bidang ilmu lain. Tentu filsafat perlu waktu luang. “Sebab sebelum kebutuhan pokok terpenuhi, maka filsafat sebagai profesi akan tetap pada posisinya, tidak laku,” tegasnya.

Maka, peran utama STF Driyakara dan STFK Ledalero adalah kembali mempertegas komitmennya, yaitu berusaha mengantar pada pendalaman mendasar, sistematik, rasional, radikal, dan kritis atas persoalan Hak Asasi Manusia. “Ini salah satu nilai yang ditekankan sang pendiri Driyarkara, di mana usaha untuk menangkap lebih jeli isu-isu pokok zaman ini dan memberi analisis yang menyeluruh, bertolak dari nilai hidup yang dihayati manusia,” tegas Romo Mudji.

Untuk menjawab persoalan ini sejak lama STF Driyarkara dan STFK Ledalero sudah terlibat dengan kelompok-kelompok studi dan diskusi-diskusi sosial serta diskusi soal pembangunan. Juga di 20 tahun terakhir ini Driyarkara dan Ledalero secara dekat berdialog dengan budaya.

Baca Juga:  Buah-buah Sinode III Keuskupan Sibolga Harus Menjadi Milik Seluruh Umat

Metode Berpikir Mandiri
Di kesempatan lain, Ketua STF Driyarkara (2011-2015 dan 2015-2019), Romo Simon Petrus Lili Tjahjadi menambahkan, fakta bahwa STF bukan saja masih eksis selama 50 tahun, melainkan maju-berkembang secara kuantitatif dan kualitatif dengan aneka penghargaan pada tingkat nasional dan internasional. Hal ini sendiri sudah menunjukkan mutu STF Driyarkara yang unggul pada bidangnya. Mutu itu dibangun antara lain oleh kompetensi keilmuan yang mendalam dari para dosennya, komitmen institusional yang tinggi dari para karyawannya dan kuriositas akademis yang kritis dari para mahasiswanya.

Senada dengan itu, Pater Otto menambahkan, hendaknya tidak ada kecemasan oleh penggiat filsafat, berhadapan dengan tantangan dan perkembangan zaman. Pertama, filsafat dan teologi perlu sebagai sebuah strategi budaya. Perkembangan teknologi dan ekonomi tanpa strategi budaya, akan menciptakan masyarakat yang inhuman, masyarakat barbar yang bekerja berdasarkan logika hukum rimba.

Kedua, filsafat adalah metode berpikir kritis dan mandiri. Tantangan dan perubahan zaman hanya dapat dihadapi secara kreatif oleh seorang pribadi yang mandiri, kritis, dan terbuka terhadap peluang-peluang baru. Atau dalam kata-kata David Precht, “Die Zukunkft kommt nicht! Die Zukunft wird von uns gemacht! Und die Frage ist nicht: Wie werden wir leben? Sondern: Wie wollen wir leben?” ‘Masa depan itu bukan nasib yang datang dengan sendirinya, kitalah yang merancangnya’.

Maka pertanyaannya, lanjut Pater Otto, bukan bagaimana kita akan hidup, melainkan bagaimana kita mau merancang kehidupan. “Peran filsafat sebagai sebuah metode berpikir mandiri sangat penting, agar masa depan hidup manusia dan tatanan sosial tidak diserahkan pada kekuasaan nasib, minus tanggung jawab manusia,” tutupnya.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.44 2019, 3 November 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles