HIDUPKATOLIK.com – Pesta Emas STFK Ledalero dan STF Driyarkara adalah jeda agung untuk merenungkan panggilan Allah sekaligus kesempatan untuk mengalami pertobatan.
Dua pria sedang berjingkrak-jingkrak. Seorang membawa tombak, seorang lagi membawa pedang. Sambil mengenakan pakaian khas masyarakat Sikka, Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT), keduanya terus menari. Mereka mengikuti irama musik gong waning, musik tradisional Sikka.
Di samping kiri dan kanan mereka, belasan perempuan juga ikut menari. Mereka membawa ikun (senjata seperti pisau yang terbuat dari kayu dan dihiasi buluh-buluh ekor kuda), lesu (sapu tangan), dan reng (gelang kaki yang dilengkapi klinting). Sesekali, terdengar pekikan perempuan-perempuan paruh baya itu.
Mereka terus menari mengikuti pukulan dodor (gendang), yang dibunyikan oleh delapan pria bertelanjang dada. Semakin kencang bunyi gendang, semakin cepat pula gerakan mereka. Peli (bambu kecil) terus ditabuh di atas gendang, sambil mengantar rombongan misdinar, imam, dan para uskup berarak menuju altar.
Di kalangan masyarakat Sikka, tarian ini bernama “Hegong Nian”. Tarian ini ditampilkan untuk membuka Perayaan Ekaristi 50 tahun Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Maumere, NTT, Minggu, 8/10.
Rahim Kehidupan
Mgr. Ewaldus Martinus Sedu saat memimpin Misa itu, dalam pengantarnya mengatakan, Pesta Emas STFK Ledalero ini menjadi jeda agung untuk semua orang, agar duduk bersama dan bercerita tentang panggilan Allah. “Jeda agung ini harus diisi dengan refleksi, doa, harapan, dan paling penting adalah pertobatan,” ujar Mgr. Ewal, panggilan Uskup Maumere ini.
Selain Mgr. Ewal, hadir juga Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung dan Uskup Emeritus Maumere, Mgr. Gerulfus Kherubim Pareira, SVD. Perayaan Ekaristi di pelataran tengah, depan Kapel Agung Seminari Tinggi St Paulus Ledalero ini sempat menyedot perhatian umat. Ratusan imam, biarawan-biarawati, umat, dan tamu undangan hadir dalam perayaan ini. “Menarik, karena Ekaristi ini memuat pesan misioner. Hal ini diwujudkan dalam bagian doa umat yang dibawakan dalam bahasa Mandarin, Arab, Tetun, dan bahasa Indonesia,” ungkap Mgr. Kherubim.
Usai Misa, dilepaskan beberapa burung merpati, sebagai lambang kesetiaan STFK Ledalero dalam usaha merawat filsafat sebagai dasar bernalar. Selain itu, ragam kegiatan juga dilaksanakan. Ada simposium internasional selama tiga hari, dengan keynote speaker Pater Stephen B. Bevans, SVD, seorang teolog profesor emeritus dari Catholic Theological Union, Chicago, Amerika Serikat. Pada kesempatan ini Pater Stephen berbicara tentang tema Pope Francis and Inculturation. Pembicara lain adalah Azyumardi Azra dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayahtullah, Jakarta, dengan tema “Revitalisasi Wawasan Kebangsaan, Pendekatan Pendidikan”. Terakhir, Superior General SVD, Pater Paul Budi Kleden, SVD, dengan tema “Berfilsafat dan Berteologi di Indonesia.”
“Pesta Emas ini menjadi pesan profetis di mana STFK Ledalero menjadi “rahim kehidupan” bagi calon-calon pemimpin. STFK Ledalero adalah “ibu” yang telah melahirkan ratusan pemimpin baik di Indonesia maupun dunia,” ujar Azyumardi dalam materinya.
Tempat Terhormat
Di tempat yang berbeda, Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta juga merayakan Pesta Emas. Sekolah filsafat yang terletak di daerah Rawasari Jakarta Pusat ini berdiri sejak 1 Februari 1969. Rangkaian kegiatan ini diawali dengan “kado” berupa dua piagam penghargaan dari Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah III, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Hadiah tersebut diberikan kepada STF Driyarkara atas prestasi dan keberhasilannya, sebagai Perguruan Tinggi Swasta yang mendapatkan Akreditasi Institusi A pada tahun 2018, Selain itu atas upaya meningkatkan jenjang jabatan akademik dosen Guru Besar di lingkungan LLDIKTI Wilayah III. Di tahun ini, STF Driyarkara juga menambah jajaran Guru Besarnya dalam bidang Ilmu Teologi yakni Prof. Dr. Mgr. Adrianus Sunarko, OFM.
Ucapan syukur Pesta Emas ini diwujudkan dalam Perayaan Ekaristi di Paroki St Paskalis, Cempaka Putih, Jakarta, Februari 2019. Hadir dalam perayaan ini Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo selaku selebran utama, Uskup Bogor Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM, dan Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko. Hadir juga Provinsial Serikat Yesus (Societas Iesu) Provinsi Indonesia, Pastor Petrus Sunu Hardiyanta, SJ dan Provinsial Tarekat Saudara Dina (Ordo Fratum Minorum) Indonesia, Pastor Mikhael Peruhe, OFM.
Kardinal Suharyo dalam khotbahnya menegaskan, bahwa STF adalah lembaga yang terhormat dan punya peranan dalam mencerahkan hati dan budi. STF Driyarkara tampil untuk menyumbangkan pikiran dan gagasan-gagasan yang mendalam bagi perkembangan bangsa.
Merefleksikan tema Pesta Emas ini, “50 Tahun STF Driyarkara: Keterlibatan Filsafat dalam Membangun Keindonesiaan”, Kardinal Suharyo merujuk pada peran STF Driyarkara sebagai komunitas akademik yang mencerahkan budi, mengasah nurani, dan menggerakkan aksi demi terwujudnya kondisi manusia dan tata dunia yang lebih sehat. “Dalam konteks berbangsa, akademisi STF Driyarkara perlu terlibat untuk membentuk manusia yang berkepribadian kritis, berintegritas, dan bertanggungjawab,” sebut Kardinal Suharyo.
Aksi dan Refleksi
Kehadiran dua “bengkel pemikir” ini tak lepas dari sejarah panjang. Secara historis, pendirian STFK Ledalero tidak dapat dipisahkan dari pendirian Seminari Menengah di Sikka tahun 1926, yang kemudian pindah ke Mataloko tahun 1929. Pendirian Seminari Menengah ini disusul dengan Seminari Tinggi Ledalero pada 1937.
Kuliah filsafat sebagai bagian dari pendidikan calon imam sudah dimulai pada tahun 1932 di Mataloko. Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi ini adalah kelanjutan dari perkuliahan yang sudah dimulai sejak tahun 1932 tersebut. Perkuliahan itu dijalankan sesuai dengan kurikulum filsafat yang berlaku di seminari-seminari tinggi di Eropa waktu itu.
Pater Lukas Jua, SVD, Provinsial SVD Ende mengatakan, pendirian Seminari Tinggi adalah suatu keputusan yang berani dari para misionaris Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini) kala itu. Pater Lukas menyebutkan ada tiga sosok yang berperan signifikan pada pendirian STFK Ledalero, yaitu Mgr. Arnold Verstraelen, SVD (Vikaris Kepulauan Sunda Kecil), Kepala Regional SVD, Pater Stenel, SVD, dan Wakil Regional, Pater Jan Bouma, SVD. Saat itu, kebanyakan tarekat mengirimkan lulusan Seminari Menengah untuk melanjutkan pendidikan calon imam di Belanda. Namun, Serikat Sabda Allah justru mendidik calon imamnya masih di Flores. “Para misionaris SVD memutuskan bahwa pendidikan calon imam dibuat di Flores,” ujar Pater Lukas.
Maka, sambung Pater Lukas, pendirian STFK Ledalero pada tahun 1969 adalah integrasi dan formalisasi perkuliahan filsafat dan teologi yang sudah dijalankan sejak awal. Sejak awal, perkuliahan filsafat teologi di Ledalero ini, telah menyesuaikan dengan sistem pendidikan tinggi yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian, perkuliahan yang diadakan di lembaga pendidikan tinggi ini diakui oleh pemerintah.
Dalam sejarahnya yang panjang, STFK Ledalero, sudah menghasilkan 5800 alumni, dengan rincian 19 orang uskup, 1882 imam yang darinya lebih dari 500 orang menjadi misionaris di luar negeri, dan 3978 awam.
Kini, ada 1187 mahasiswa sedang kuliah di STFK Ledalero. Sebagian besar dari mereka adalah calon imam yang berasal dari 16 tarekat. Dari total jumlah mahasiswa tersebut, tercatat ada 120 mahasiswa awam.
Perkumpulan Aloysius
Pada waktu hampir bersamaan, STF Driyarkara didirikan oleh Perkumpulan Aloysius yang merupakan badan hukum di bawah Serikat Yesus. STF Driyarkara didirikan bekerjasama dengan Ordo Saudara-saudara Dina, dan Keuskupan Agung Jakarta (KAJ).
Sekolah ini didirikan sesuai cita-cita Romo Nicolaus Driyarkara, SJ. Hal ini dirajut dalam proses panjang preparasi, aksi, dan refleksi yang diawali oleh delapan mahasiswa dan tiga dosen biasa, dan dibantu beberapa dosen luar biasa.
Awalnya, perkuliahan dirintis di Biara Susteran Ursulin di Jalan Gereja Theresia. Sementara itu, Residensi Kramat VII/25 digunakan sebagai kantor direktur dan sekretariat STF Driyarkara. Tahun 1971, STF Driyarkara memperoleh status “terdaftar” dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, bersamaan dengan dibangunnya kampus yang ada dan aktif sampai sekarang di Rawasari.
Seiring perjalanan waktu, kini STF Driyarkara termasuk salah satu dari 100 Perguruan Tinggi Indonesia non Politeknik terbaik versi Kemeristekdikti. STF Driyarkara juga termasuk dalam 10 swasta terbaik di Indonesia. Hingga saat ini Driyarkara telah menyelenggarakan pendidikan tinggi melalui dua program studi yaitu Filsafat dan Filsafat Keilahian untuk program sarjana, pasca sarjana, dan doktoral.
Gereja Mandiri
Terkait kehadiran dua sekolah tinggi ini, Guru Besar Sejarah Gereja, Romo Antonius Eddy Kristiyanto, OFM menuturkan, setelah era 1940-1961 atau era Gereja misi menuju Gereja mandiri, muncul era baru yaitu dari Gereja yang mandiri menuju Gereja Indonesia.
Khususnya di era tahun 1969 salah satu peristiwa luar biasa terjadi dalam sejarah Gereja adalah ada perubahan dari ius commissionis (daerah tertentu dipercayakan kepada yurisdiksi ordo tertentu) kepada situasi baru mandatum uskup. Perubahan ini dikemudian hari dipahami sebagai buah dari Konsili Vatikan II (KV II) yang membawa angin segar bagi pembaharuan di dalam Gereja.
Dalam semangat aggiornamento (pembaharuan) ini, muncul adagium agar Gereja membuka sekat-sekat yang memungkinkan saling bekerjasama. Dalam konteks ini, Gereja Indonesia, yang saat itu masih dilayani oleh misionaris dari luar, mulai terbuka pada usaha untuk memunculkan calon-calon imam pribumi. “Salah satu poin dalam peralihan kerjasama ini dimana Gereja bisa terbuka, maka dirasakan bidang pendidikan menjadi jawaban utama. Inilah yang menghadirkan munculnya sekolah-sekolah bernuansa Kekatolikan termasuk STF Driyarkara dan STFK Ledalero,” ujar Dosen Sejarah Gereja STF Driyarkara ini.
Romo Eddy melanjutkan, sejalan dengan hawa perubahan dalam Gereja, sekaligus tanggapan atas perubahan Surat Apostolik Paus Benediktus XV yaitu Insiklik Maximum Illuds (MI, 30 November 1919), di mana Paus mengingatkan para uskup tentang tanggung jawab mereka untuk mendukung misi. Paus menggarisbawahi perlunya persiapan yang tepat sebelum menjalankan pekerjaan itu.
Paus juga meminta agar secara terus menerus merawat kesucian diri dan bertekun dalam kerasulan doa dengan mendukung panggilan para calon imam. Salah satu poin yang ditekankan di sini, para misionaris harus memiliki perhatian utama untuk menumbuhkan dan mendidik imam-imam pribumi. “Imam pribumi, dengan memiliki asal-usul, karakter, mentalitas, aspirasi yang sama dengan penduduk setempat, sangat cocok untuk menanamkan iman ke dalam hati mereka…” (MI art. 13).
Selanjutnya, kata Romo Eddy, agar bisa memperoleh buah-buah yang diharapkan, mutlak, imam pribumi hendaknya dilatih dan dididik secara memadai. Maka, tidaklah cukup suatu formasio sekadarnya dan hal-hal mendasar saja, asal bisa ditahbiskan menjadi imam. Ia menjelaskan, formasi itu haruslah lengkap dan sempurna, seperti yang diberikan kepada para imam dari negara-negara maju. “Inilah panggilan awal para misionaris dan imam-imam pribumi untuk mendirikan beberapa seminari di Indonesia termasuk Driyarkara dan Ledalero,” ujarnya.
Yusti H. Wuarmanuk
Laporan: Pastor Eman Embu, SVD
HIDUP NO.44 2019, 3 November 2019