HIDUPKATOLIK.com – Penulis buku “Duka dari Nduga” menyebutkan korban konflik di Nduga bukan hanya orang Papua.
Sebuah rumah sederhana dengan dinding beratap seng menjadi rumah sukarelawan guru di Mapenduma, pedalaman Nduga, Papua. Dinding salah satu sisi rumah itu koyak, hanya ditutup dengan selembar tripleks. Gembok dan gerendelnya pun sudah jebol. Setiap malam, kepala sekolah duduk tak jauh dari perumahan itu, untuk memastikan keamanan para guru. Jika tak ada pertanda buruk, kepala sekolah kembali mendaki bukit pulang ke rumahnya.
Kamis, 11/10/2018, kepala sekolah pulang lebih awal dari tempat tinggal anak buahnya. Ketika para guru itu terlelap, peristiwa naas menimpa para guru. Segerombolan pria, beberapa di antaranya bersenjata, datang dan menyerang rumah yang dihuni tiga guru perempuan itu. Seorang guru pendatang diperlakukan secara tidak senonoh oleh tujuh dari antara pria tersebut. Belakangan diketahui kelompok tersebut adalah Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB).
Sang guru pendatang yang menerima perlakuan keji ini, baru pertama kali menginjakkan kakinya di Mapenduma. Sebelumnya ia telah menjadi guru sukarelawan di daerah lain di Papua, termasuk di Distrik Mugi, saat ia mengajar pimpinan KKSB, Egianus Kogoya di bangku SD. Saat itu di Mapenduma sedang dilangsungkan Konferensi Pemilihan Panglima KKBS.
Peristiwa pilu ini dikisahkan oleh Kristin Samah dalam buku Duka dari Nduga. Kisah ini juga ia angkat dalam diskusi bukunya itu di Aula Paroki Hati Kudus Kramat, Jakarta Pusat, Senin, 18/11. Guru korban pemerkosaan itu telah menerima pertolongan. Namun, kisah-kisah pahit dari Nduga membuat Kristin menyampaikan bahwa tak cukup satu orang itu saja yang harus diselamatkan. “Korban konflik di Nduga bukan hanya orang Papua, bukan hanya guru-guru dari Kabupaten Nduga, tetapi kita semua jadi korban,” ujarnya.
Kristin yang mengenakan tas dari serat kayu khas Papua atau noken, siang itu sempat menitikan air mata saat tengah berbicara dalam diskusi. Bersamanya, Pastor Paroki Kramat, Stephanus Suprobo, OFM juga turut berbicara tentang Papua. Romo Probo, sapaannya, pernah melayani Keuskupan Agats Asmat selama enam tahun. Ia mengisahkan benturan peradaban yang dialami masyarakat Papua.
Kristin mengisahkan bagaimana benturan itu terjadi. “Di sana, tidak semua orang paham bahwa kartu SIM yang dipakai pada ponsel adalah identitas seseorang,” ujarnya. Ia mengatakan ada orang yang tanpa beban menggunakan kartu SIM milik korban pembunuhan Jembatan Kali Yigi, karena tidak paham. Nomor ponsel yang dipakainya adalah salah satu pintu untuk mengungkap rahasia pembunuhan.
Kristin meminta agar semua orang memberikan perhatian kepada Papua. “Kita semua harus menyuarakan bahwa ada tragedi kemanusiaan di Papua dan kita harus membantu mereka. Tidak harus datang ke Papua, ada hal-hal yang bisa kita lakukan dari sini, mari kita lakukan untuk Papua,” ungkapnya. Meski tak menjelaskan lebih lanjut, ia mengatakan kebijakan-kebijakan pemerintah atas Papua pun mesti dikaji ulang.
Hermina Wulohering
HIDUP NO.48 2019, 1 Desember 2019